Oleh : Yuli Mastari, S. Pd, pemerhati generasi
Ketua Kaukus Perempuan Politik Kalimantan Selatan (Kalsel) Hj Dewi Damayanti Said berpendapat, untuk memaknai perjuangan Raden Ajeng Kartini, terutama di provinsinya dengan terus mengaktualisasikan kesetaraan gender. “Karena kesetaraan gender bagian atau tidak terlepas emansipasi perempuan yang RA Kartini perjuangkan berabad silam,” ujarnya melalui WA menjawab Antara Kalsel di Banjarmasin sebelum berangkat mengikuti studi komparasi ke luar daerah, Rabu (13/4/22).
Pendapat mantan Ketua Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) Kalsel itu dalam konteks peringatan ke-143 tahun Hari Kartini pada Tahun 2022.
Di adopsinya kesetaraan gender di Indonesia, di mulai sejak perjuangan RA Kartini. Sehingga kemudian di kampanyekan terus menerus agar di terima oleh masyarakat. Para pengambil kebijakan, menjadikan ide kesetaraan gender sebagai sudut pandang untuk membuat kebijakan.
Apa kesetaraan gender itu? Ide ini adalah ingin menjadikan laki-laki dan perempuan setara dalam segala hal. Aktivis gender menginginkan agar laki-laki dan perempuan posisinya setara,tentu saja ini tentang peningkatan peran politik dan peran ekonomi perempuan.
Tidak ada perempuan yang meminta, jika laki-laki angkat angkat (beban berat) maka perempuan juga menginginkan hal yang sama. Jika memang konsekuensi laki-laki dan perempuan sama, harusnya beban yang di pikul juga sama. Aktivitas gender, biasanya mengatakan bahwa perempuan perlu duduk untuk memegang peran kunci pengambil kebijakan. Karena persoalan perempuan akan selesai jika yang menyelesaikan adalah perempuan. Karena mereka yang paling tau bagaimana cara menyelesaikan persoalan perempuan. Jadi, jika yang duduk menjadi presiden, Gubernur, Bupati, anggota Dewan, banyak perempuan, berarti pengambil kebijakan kan perempuan. Sehingga kebijakan akan berpihak pada kaum perempuan. Begitulah logika aktivis kaum gender. Sehingga ada upaya untuk semisal menjadikan kuota 30% perempuan berada di parlemen, instansi pemerintahan dan lain-lain.
Di sini endingnya adalah agar aturan aturan yang di buat pro kepada perempuan. Artinya membebaskan perempuan dengan tidak ada batasan-batasan yang di anggap diskriminatif. Kenapa dengan perempuan?
Tidak Beruntung suatu kaum(bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemimpinan kepada perempuan(wanita) (H.R Ahmad, Tirmidzi dan An-Nasa’i).
Aturan ini oleh aktivis gender di anggap sebagai aturan yang mendeskriminasi perempuan. Sehingga jika kita lihat dan cermati, seruan mereka dari dulu hingga sekarang adalah menyerang aturan islam. Jangan sampai, aturan yang di terapkan kepada kita, walaupun Indonesia mayoritas islam, adalah aturan yang datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hingga akhirnya adalah melegalkan aturan-aturan yang Pro kapitalis yaitu membebaskan perempuan dengan sebebas-bebasnya. Tidak memberikan ruang kepada aturan yang mengarah kepada legalisasi aturan yg terkait dengan syari’at islam.
Ini gerakan internasional, ada konvensi-konvensi internasional di mana negara-negara yang hadir dalam forum tersebut harus meratifikasi, harus tanda tangan. Setelah itu membuat peraturan yang senada dengan kesepakatan dunia tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang tunduk pada konvensi internasional tersebut. Sehingga program-program pengarusan kesetaraan gender terus di gencarkan di Indonesia.
Sudah sangat jelas sekali, bahwa sosok Kartini sebagai sosok emansipasi wanita sungguh maknanya sudah didistorsi oleh kaum feminis yang didukung oleh kaum kapitalis untuk memuluskan nafsu mereka menguasai peradaban dengan melemahkan peran wanita sebagai penghasil generasi-generasi pendobrak peradaban dunia dengan asas Islam yang dibawa. Islam hadir untuk memuliakan kaum wanita, Islam mendudukkan wanita sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya (al-madrasatul ula), dan sebagai manajer rumah tangga (wa rabbatul bayt). Wanita bukan dinilai dari kemandirian ekonomi dan seberapa banyak mereka berkiprah dalam dunia politik demokrasi,selayaknya kaum kapitalis menilai mereka, tapi justru wanita dinilai dari tingkat ketakwaannya kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukannya terhadap anak-anak dan keluarganya.
Jadi, Hari Kartini seharusnya menjadi ajang muhasabah kaum wanita, bahwa Kartini bukan lah yang dicitrakan ala feminisme yang mengeksiskan dirinya lebih handal dari laki-laki dalam hal materi. Wanita saat ini harus mencerdaskan dan mengembalikan fitrahnya sebagai ibu yaitu sebagai pencetak generasi-generasi shaleh dan shalehah untuk dipertanggungjawabkan nanti dihadapan Allah SWT, Wallahu’alam.