Saat ini istilah digitalisasi sangat akrab di telinga dan menjadi pemandangan yang biasa dilihat, utamanya kala pandemi masih berlangsung. Pandemi covid-19 yang membatasi interaksi antar manusia demi pencegahan meluasnya penyebaran covid-19 memerlukan suatu sistem untuk tetap dapat membuat antar manusia berkomunikasi layaknya tatap muka. Digitalisasi adalah sistem yang dapat menjawab tantangan ini. Istilah digitalisasi itu sendiri sudah ada sejak sebelum pandemi.
Mengenal Indeks Pembangunan Gender
Sejak tahun 1995 terdapat satu indikator yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) yang mengukur keberhasilan pembangunan yang mengakomodir unsur gender yaitu Indeks Pembangunan Gender atau disingkat IPG. Dasar dari penghitungan indikator ini adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang memuat tiga dimensi yaitu dimensi kesehatan, dimensi pendidikan, serta dimensi ekonomi.
Indeks Pembangunan Gender merupakan rasio antara IPM perempuan terhadap IPM laki-laki. Apabila IPG mendekati 100 maka semakin ideal atau pencapaian pembangunan terhadap laki-laki maupun perempuan sudah dapat dikatakan setara. Nilai IPG di bawah 100 mengindikasikan bahwa capaian pembangunan perempuan di bawah laki-laki. Sementara itu, IPG di atas 100 mengindikasikan bahwa capaian pembangunan perempuan di atas laki-laki. Indonesia patut berbangga bahwa hingga saat ini capaian IPG telah berada di level 91,27. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang mencapai 91,06. Capaian ini merupakan modal penting untuk perempuan Indonesia semakin berkiprah dalam aspek kehidupan, salah satunya adalah pada literasi digital.
Dilihat dari dimensi kesehatan, angka harapan hidup perempuan mencapai 73,55 tahun sedangkan laki-laki hanya mencapai 69,67 tahun. Dimensi pendidikan bicara hal sebaliknya, rata-rata lama sekolah laki-laki mencapai 8,92 tahun, di atas angka rata-rata lama sekolah yang dapat dicapai oleh perempuan yang hanya 8,17 tahun. Demikian juga dari dimensi ekonomi, pengeluaran perkapita laki-laki masih di atas pengeluaran perkapita perempuan. Pengeluaran perkapita laki-laki mencapai 15,77 juta per tahun sedangkan perempuan hanya 9,05 juta pertahun. Disparitas ini menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menjaga capaian pembangunan yang telah gemilang ini tidak bias gender.
Selain itu, masih ada juga disparitas spasial yang bertransformasi menjadi tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah. Indeks Pembangunan Gender tertinggi sebesar 99,09 di Kabupaten Ogan Ilir (Provinsi Sumatera Selatan) dan yang terendah terdapat di Kabupaten Deiyai (Provinsi Papua) 70,15. Lebarnya gap antara kedua daerah ini merupakan cerminan bahwa disparitas spasial juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemerataan pembangunan khususnya yang berbasis gender juga harus merata dan berimbang di setiap wilayah di Indonesia sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kata-kata ‘tiap warga negara’ mengamanatkan tidak adanya disparitas spasial maupun menurut jenis kelamin.
Apabila dikaitkan lagi dengan gender, menarik juga untuk dievaluasi indikator persentase penduduk yang mengakses internet menurut jenis kelamin. Pada tautan bps.go.id, dapat dilihat tabulasi angka persentase tersebut. Penduduk laki-laki yang mengakses internet mencapai 52,92 persen sedangkan sisanya 47,08 persen merupakan penduduk perempuan. Secara jumlah memang penduduk laki-laki masih lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, dengan rasio jenis kelamin sebesar 102 yang artinya terdapat 102 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.
Capaian Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Terdapat satu lagi indikator yang dapat membantu memahami sejauh mana capaian pembangunan digitalisasi di Indonesia. Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) merupakan suatu ukuran standar yang dapat menggambarkan tingkat pembangunan teknologi informasi dan komunikasi suatu wilayah, kesenjangan digital, serta potensi pengembangan TIK. Skala IP-TIK berada pada rentang 0-10, dimana semakin tinggi nilai indeks menunjukkan pembangunan TIK suatu wilayah semakin pesat, demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks menunjukkan pembangunan TIK di suatu wilayah relatif lebih lambat. Pada skala 0-10, capaian IP-TIK Indonesia adalah sebesar 5,59. Capaian IP-TIK tertinggi ada di DKI Jakarta sebesar 7,46 sedangkan yang terendah ada di Provinsi Papua yang hanya mencapai 3,35. Sekali lagi, disparitas adalah tantangan besar yang harus dijawab oleh pemerintah di tengah capaian pembangunan yang sudah relatif membaik secara umum. Hal ini disebabkan dispritas spasial kadang di translate juga ke dalam kesenjangan gender yang terjadi antar wilayah dalam variabel ini.
Mengambil Benang Merah
Senarai angka dan indikator-indikator di atas dapat dimaknai secara utuh laksana puzzle yang harus disusun secara satu kesatuan baru dapat dipahami gambar yang terbentuk. Secara umum, capaian pembangunan literasi digital di Indonesia telah relatif bagus dan menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Namun di balik ini, masih tersisa ruang yang harus dibenahi oleh pemerintah yaitu kesenjangan antar wilayah dan bias gender.
Dengan mengurangi bias gender, diharapkan kesenjangan antar wilayah setali tiga uang dapat juga semakin menyusut, termasuk dalam hal literasi digital. Literasi digital sangat penting untuk membantu menjaga pemulihan ekonomi yang ditandai dengan ekonomi yang tumbuh positif sebesar 3,69 persen di tahun 2021 setelah tumbuh negatif di tahun 2020 sebesar minus 2,07 persen. Pembalikan mesin ekonomi ini juga disumbang oleh sektor informasi dan komunikasi yang justru ketika tahun pandemi tumbuh melejit. Di tahun 2020 sektor informasi dan komunikasi tumbuh dobel digit sebesar 10,61 persen.
Kiprah perempuan sangat besar dalam hal penyuksesan digitalisasi nasional. Karena dari 270,2 juta penduduk Indonesia, sekitar 133,54 juta orang atau 49,42 persennya adalah perempuan. Angka ini merupakan modal besar bagi Indonesia untuk menyukseskan digitalisasi nasional. Agar perempuan dapat memaknai digitalisasi yang semakin massif ini secara berimbang tanpa melupakan peran utamanya sebagai perempuan, sehingga perannya dapat berarti dalam menyukseskan literasi digital di Indonesia.