
BANJARMASIN – Disahkannya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disambut baik oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Banjarmasin.
Bahkan, pihaknya merasa perlu dukungan kuat lagi dari pemerintah dalam upaya menekan angka korban kekerasan perempuan dan anak di Banjarmasin yang tergolong tinggi.
Kepala DP3A Banjarmasin, Madyan mengatakan, sejauh ini pihaknya kesulitan untuk menyiapkan tempat atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) pelayanan DP3A bagi korban kekerasan.
“Sarana dan prasarana UPT di eks rumah dinas walikota Jalan A Yani kita masih pinjam pakai, bahkan kini sudah tak layak sehingga kita pun kurang leluasa,” ujar Madyan, Jumat tadi.
Situasi ini semakin sulit karena untuk meminjam pakai Pustu dan bangunan-bangunan yang tak terpakai juga tidak bisa karena sarana yang terbatas. “Selain bangunanya yang lapuk kami tak bisa juga gunakan. Karena ini sangat kesulitan memberikan upaya pelayanan masimal, padahal ini cukup urgen untuk ditangani mengingat laporan kekerasan yang tiap bulan selalu ada,” bebernya.
Ia berencana meminta kebijakan walikota untuk memberikan fasilitas UPT dalam pelayanan kekerasan pada anak dan perempuan. “Kami khawatir jika kami diam saja, maka masyarakat yang lapor kepada kami akan berkurang. Padahal keinginan kita untuk membuka kasus kekerasan anak dan perempuan sampai tuntas,” harapnya.
Selain sarana fisik UPT, dinasnya perlu menyiapkan peningkatan atau pembangunan SDM terhadap kualitas perempuan dan Anak korban kekerasan. Dengan pembinaan dan pembentukan karakter yang baik maka akan berdampak pada karakter mereka di lingkungan.
“Sasaran kita peningkatan kualitas SDM terutama pada anak-anak sehingga dengan kualitas yang baik dapat menghargai juga hasil pembangunan kota tanpa dirusak orang tak bertanggungjawab,” jelasnya.
Sementara, Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak, DP3A Banjarmasin, dr Tabiun Huda menjelaskan, pangaduan kekerasan yang masuk ke bidangnya bermacam-macam. di antaranya, kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, trafficking, penelantaran atau kekerasan ekonomi, eksploitasi anak.
“Umumnya korban kekerasan ini adalah perempuan. Mereka di antaranya korban KDRT hingga kekerasan seksual,” ungkapnya.
Diakuinya dari tahun ke tahun, laporan atau penemuan masuk terhadap kekerasan perempuan dan anak terus meningkat. Tahun 2020, laporan yang masuk 70 orang, dan tahun 2021 yang melapor 80 orang dengan jumlah 115 kasus.
“Tahun ini sudah sebanyak 38 kasus dan 30 persennya mengalami kekerasan seksual sehingga bisa dikatakan lumayan tinggi kasus kekerasan seksual,” ujarnya.
Ia menilai, kekerasan dalam rumah tangga seperti fenomena gunung es. Kasus kekerasan yang dilaporkan baru sebagian mencuat dibanding dengan yang ditutupi oleh keluarga dengan berbagai alasan.
“Masyarakat kita menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah aib sehingga jarang dilaporkan,” jelasnya.
Ia berharap, kepedulian masyarakat terhadap masalah kekerasan rumah tangga ini semakin baik. “Kita ingin menolong korbannya, karena kalau kita biarkan si pelaku semakin merajalela dan si korban semakin menderita. Jika dibiarkan maka akan berdampak pada psikis korban,” jelas dr Tabiun.
Saat ini, pihaknya terus melakukan pemantuan di lapangan terhadap kasus KDRT yang masuk. “Selain itu kami siap menerima pengaduan kekerasan dan merahasiakan sumber informasi. Tujuan kami untuk menolong dan memberikan haknya agar tidak tersakiti terus menerus,” tukasnya. Via