Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya tidak bisa dihindari dalam konsep negara modern. Hadirnya birokrasi sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut untuk terlibat secara langsung dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services), baik dalam keadaan tertentu negara memutuskan apa yang yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyat yang disebut sebagai birokrasi.
Birokrasi merupakan alat pemerintah yang dapat mempermudah pelayanan pada sektor publik, dengan adanya birokrasi pelayanan dapat dilakukan lebih mudah sekaligus memberikan jaminan kesejahteraan pada masyarakat. Singkatnya, birokrasi merupakan sebuah lembaga yang menjadi perpanjangan tangan dari negara dalam melaksanakan kebijakan publik yang dapat menampung seluruh aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara luas. Untuk itu, dengan adanya birokrasi harus mampu melayani publik secara proposional dan profesional. Birokrasi harus terus memacu kemapuan diri dan tetap bersikap profesional, mengenyampingkan hal itu membuat birokrasi akan jatuh dalam praktek patologi sehingga akan terjemurus dalam korupsi, kolusi dan nepotisme.
Miftah Thoha (2012) mengatakan lembaga birokrasi di pemerintah Indonesia sering kali melahirkan kerajaan terhadap pejabat, nantinya akan mengarah kepada akumulasi ekonomi dan akumulasi kekuasaan, nantinya pejabat tersebut akan memamerkan kekuasaan yang disusun dari atas ke bawah berdasarkan tugas dan fungsi dari masing-masing pejabat. Birokrasi dan politik keduanya berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan, kehadiran politik dalam birokrasi tidak bisa bisa dihindari (karena hidup dalam satu atap yang sama). Oleh karena itu, perlu ada korelasi secara kelembagaan politik dalam birokrasi, maupun sebaliknya.
Dalam pemaparan seluruh ahli yang mengkaji teori birokrasi dan politik, bahwa dalam keadaan dan kondisi apapun birokrasi akan selalu berjalan beriringan dengan politik, bahkan pada kategori yang lebih rendah. Karena birokrasi menjadi bagian utama pemerintah dalam mewujudkan proses kebijakan dari hasil produk politik. Pada sisi lain, pejabat birokrasi memiliki hasrat untuk mendapatkan dan mempertahankan posisi kekuasaan dalam jabatan publik. Perjalanan panjang birokrasi pemerintah tidak bisa lepas dari proses dan kegiatan politik, jika telusuri secara mendalam bahwa pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk suatu tatanan pemerintah tidak bisa lepas dari aspek politik. Tidak akan mungkin memisahkan birokrasi dari pengaruh politik atau sistem politik di suatu negara, termasuk Indonesia.
Berkaca dari permasalahan itulah maka netralitas ASN di Indonesia memang terasa sangat sulit untuk diwujudkan. Netralitas yang baik memanglah tidak memihak diantara manapun, baik itu pada pihak yang berkuasa maupun tidak berkuasa, pro ataupun kontra. Dalam kaitannya dengan netralitas birokrasi, Indonesia menganut sistem netralitas dalam konsep birokrasi weberian. Netralitas dalam konsep birokrasi weber dikenal dengan istilah konservatif, menurut weber birokrasi dibentuk atas dasar netral dan tanpa adanya gangguan dari yang dapat merusak birokrasi dari kekuaran politik, artinya birokrasi pemerintah diposisikan sebagai kekuatan yang netral dalam sebuah negara yang bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku dalam bidangnya. Netralitas birokrasi secara esensial menjadi penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak tanpa memihak terhadap kelompok tertentu. Pada akhirnya, siapapun yang memerintah dalam sebuah pemerintahan, birokrasi tetap memberikan pelayanan pada sektor publik secara efektif dan efisien.
Peraturan yang menegaskan ASN tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis atau terlibat dengan partai dapat di lihat pada UU No, 5 Tahun 2014 Tentang ASN. Secara jelas dalam huruf f pasal 2 UU No. 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa tidak berpihak kepada segala bentuk pengaruh manapun dan tidak kepada kepentingan siapapu yang nantinya dapat menganggu proses pelayanan publik yang diakibatkan konflik kepentingan ASN. Netralitas birokrasi berdasarkan apa yang ada pada undang-undang tersebut dapat diartikan bahwa aparatur sipil negara tidak boleh berperan secara langsung maupun secara tidak langsung dalam kegiatan partai politik ataupun pada hal-hal yang berkaitan dengan politik praktis. Penekanan terhadap ASN ini menjadikan ASN fokus pada tanggung jawab yang berkaitan dengan pelayanan publik. Secara umum dapat digambarkan bahwa ciri model utama netralitas politik birokrasi ialah aparatur sipil negara independen, non ideologi partai politik ataupun berafiliasi dengan kepentingan politik, serta bebas dari intervensi dari berbagai kelompok.
Beberapa standar aturan yang telah ditetapkan untuk menjaga ASN untuk tetap mengedepakan aspek netralitas dan profesionalisme dalam jabatan publik belum sepenuhnya berimplikasi positif terhadap praktek politik yang dilakukan oleh ASN. Tentu ini menjadi paradoks dengan cita-cita luhur untuk membentuk aparatur birokrasi yang ideal dan bertintegritas.Birokrasi sesuai dengan kedudukannya dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, menguasai informasi serta dukungan sumber daya yang tidak di miliki oleh pihak lain. Birokrasi memegang peran penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagi kebijakan publik, serta dalam evaluasinya.
Dalam posisi yang strategis tersebut, adalah logis apabila ada setiap perkembangan politik selalu terdapat kemungkinan dan upaya untuk mengintervensi birokrasi dalam politik praktis serta menarik birokrasi untuk masuk dalam partai politik tertentu. Perilaku birokrasi berkembang dalam pengaruh politik seperti itu dan menjadi tidak netral, maka birokrasi seharusnya mengemban misi menegakkan “kualitas, efisiensi, dan efektivitas pelayanan secara netral dan optimal kepada masyarakat” besar kemungkinan akan berorientasi pada kepentingan partai atau kelompok tertentu yang mempunyai kesamaan pandangan politik. Sehingga terjadi pergeseran keberpihakan dari “kepentingan publik” ke pengabdian pada pihak penguasa atau partai yang berkuasa.
Pada akhirnya politisasi birokrasi terus berjalan, terlebih pada saat Pilkada berlangsung. Politisasi birokrasi adalah gejala melibatkan ASN secara langsung dan terang-terangan untuk menjadi pendukung dan anggota (kader) organisasi pemilu guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik di parlemen dan eksekutif. Bukan suatu rahasia lagi ASN yang seharusnya netral dalam demokrasi langsung tetapi berubah menjadi tempat berkompetisi untuk memberikan dukungan terhadap salah satu kandidat yang mengikuti Pilkada. Dalam setiap Pemilu atau Pilkada, suara ASN menjadi salah satu modal yang menjanjikan. Pemanfaatan suara ASN jelas sangat mudah bagi para kandidat incubembent.
Selanjutnya, ASN memberikan dukungan dikarenakan ASN sering menjadi korban sebagai dampak sistem demokrasi langsung, misalnya sebelum Pilkada, ASN mempunyai jabatan tertentu, setelah selesai Pilkada menduduki jabatan yang lebih rendah, bahkan tidak mempunyai jabatan serta dimutasikan tidak jelas, artinya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tidak disebutkan secara jelas sebagaimana tempat dimana ASN bekerja melakasanakan tugas berdasarkan job description suatu SKPD. Pada akhirnya, hal ini membuat ketidaknyamanan pada ASN itu sendiri, hingga akan menjadi dendam tersendiri bagi ASN terhadap politisi yang terpilih. Maka sangat penting diperlukan suatu aturan baru yang memiliki kekuatan hukum yang kuat agar petahana tidak dapat mengatur para ASN yang berada dibawahnya sesuai dengan kehendaknya. Penulis berharap agar pemerintah beserta DPR sebagai aktor yang berperan dalam hal proses legislasi dapat bertindak objektif dan efektif agar permasalahan politisasi yang terjadi terhadap ASN ini dapat teratasi.