
uasa sejatinya tidak sekadar membuat fisik jadi sehat, pun jiwa. Rasa haus dan lapar karena puasa merupakan latihan spiritual untuk memahami betapa sebagai hamba kita memang sangat lemah, tidak berdaya di hadapan Tuhan.
Kesadaran akan kelemahan ini memungkinkan umat Islam untuk benar-benar berserah diri pada Allah: Manunggaling kawula gusti, sebagai konsep religiusitas menyikapi hubungan intim manusia dengan Tuhan. Manunggal artinya “menyatu” sedangkan Kawula adalah “hamba” dan Gusti adalah “Tuhan”. Konsep ini merupakan nilai-nilai spiritual yang menyelaraskan kehendak dari seorang hamba dengan “penciptanya”. Sehingga dalam tiap gerak kehidupannya, manusia tidak “neko-neko”.
Dengan demikian, orang-orang yang mengejawantahkan konsep manunggaling kawula gusti dalam kehidupannya, tidak akan melakukan hal-hal di luar “keinginan Tuhan” seperti korupsi, manipulasi, iri, dengki, radikalisme, ekstrimisme, terorisme dan lain sebagainya. Coba bayangkan, makanan yang halal pun tidak kita makan saat berpuasa karena merupakan perintah Allah (Tuhan). Istri yang sah (halal) pun tidak kita gauli saat berpuasa karena merupakan perintah Allah.
Penerapan konsep ini di rumah tangga, di masyarakat maupun di birokrasi tentu akan melahirkan keluarga yang harmonis, sejahtera lahir dan batin; masyarakat yang saling hormat-menghormati, tolong-menolong dalam suka dan duka; yang selanjutnya, lahirlah negeri gemah ripah loh jinawi.
Keikhlasan
Demikianlah keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan ketentraman hidup manusia-dalam konsep ini-sangat tergantung pada pendekatan dan upaya pengabdian serta penyatuan dengan “Gusti”-nya. Makin dekat hubungan dengan Gusti-nya akan semakin terasa tenteram dan sejahtera seorang hamba dalam hidupnya. Kedekatan hubungan ini dapat dicapai melalui “keikhlasan” Kawula (hamba) dalam mengabdi kepada Gusti-nya.
Bila manusia berjuang atas nama Tuhan, bekerja atas nama Tuhan, memberi atas nama Tuhan, menerima atas nama Tuhan, bahkan bernapas atas nama Tuhan, maka apalagi yang dicemaskan dan ditakutkan? Filosofi “Manunggaling Kawula Gusti” ini seharusnya tak hanya terjadi dalam suatu masa saja, tetapi setiap waktu, dari waktu ke waktu sepanjang zaman.
“Serat Gatholoco”, gagasan yang ada di dalamnya bersumber dari penghayatan terhadap agama. Bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan. Dalam pemahaman ini untuk mencapai “penyatuan dengan Tuhannya” harus ditempuh dengan beberapa tahapan. Langkah pertama melaksanakan sembah raga, kemudian sembah cipta, sembah jiwa, dan yang terakhir sembah rasa.
Ajaran Tasawuf di dalam Islam dikatakan bahwa untuk mencapai ke hadirat Tuhan diperlukan beberapa langkah seperti, syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Dengan demikian terdapat kesetaraan dan kesamaan di dalam mencapai hadirat Tuhan.
Pemikiran dan pemahaman ini sangat didasarkan pada ajaran budi luhur. Manusia diingatkan jangan sombong, congkak, atau takabur, dan sok-sokan (paling tahu, paling mengerti, paling pintar, dan lain-lain). Tapi yang terpenting haruslah “andhap asor”. Dan di dalam sikap hidup ini diajarkan menjalani laku “nrimo” (menerima apa adanya) “nilo” (rela serta ikhlas), dan sabar (tidak gampang marah).
Tujuan Hidup
Sesungguhnya, hidup adalah sebuah “perjalanan”. Ungkapan yang sangat umum menggambarkan pandangan hidup adalah “Sangkan paraning dumadi” (dari mana dan mau ke mana kita). Hidup di dunia ini harus memahami dari mana “asal”, akan ke mana “tujuan” dan “akhir” perjalanan hidupnya dengan benar-kassampuraning dumadi (kesempurnaan tujuan hakikat)–dianggap “wikan sangkan ing paran”.
Sesungguhnya, di dalam ajaran agama apa pun yang dianut manusia mana pun, saya rasa memang bentuk pemikiran dan pemahaman seperti ini-bukan merupakan hal baru. Bahwa manusia hidup haruslah menganut agama apa pun yang diyakininya agar ketentraman dan kedamaian, kesejahteraan serta kebahagiaan bagi seluruh isi alam semesta ini terwujud.
Puasa sebagai salah satu perintah Allah kiranya dapat mengantarkan kita (umat Islam) semakin dekat bahkan menyatu–secara spiritual–dengan Tuhan. Alangkah indahnya ketika setiap manusia dapat mencapai akhir kehidupannya seperti yang dilakukan “Pandawa” (anak-anak Pandu Dewanata) dalam cerita wayang “Pandawa Mukso”.
Terakhir, semoga dengan puasa kita mampu memupuk dahaga dan lapar agar sampai ke ufuk. Dengan puasa pula, semoga kita mampu menista dan melemahkan ego hingga hina dina agar sampai ke puncak rido-Nya. Lalu kita lengkapkan semuanya di hari lebaran dengan saling memberi dan meminta maaf, kembali fitri: suci seperti bayi.