Oleh : Nurmini K (Aktivis Muslimah)
Baru-baru ini, Kalimantan Selatan menjadi tuan rumah Women 20 (W20) Indonesia 2022 yang digelar di Banjarmasin pada 23 hingga 25 Maret 2022 . Gelaran ini mengangkat tema Promoting Health Response to Recover Together Equally. Women20 (W20), merupakan grup keterlibatan G20 yang membentuk jaringan pemberdayaan perempuan untuk mendorong pengadopsian komitmen G20 dalam isu perempuan. Event W20 di Kalimantan Selatan diharapkan dapat menjadi ajang promosi keunggulan sumberdaya di Kalsel, baik untuk produk UMKM maupun tempat wisata, selain menghasilkan solusi untuk permasalahan perempuan. (Banjarmasin Post, Selasa 15 Maret 2022)
Gubernur Kalsel, H Sahbirin Noor, berharap dari pertemuan W20 ini dapat terjalin sinergi dan terhimpun masukan bagi para pemimpin dunia untuk mewujudkan kesetaraan gender, tidak terkecuali dalam upaya respons kesehatan yang setara. Dalam dua tahun terakhir masa pandemi Covid-19, peningkatan kematian ibu dan tingginya angka stunting cukup menjadi perhatian.”Kesehatan perempuan dalam hal reproduksi dan pemenuhan gizi juga membutuhkan perhatian yang spesifik, sebab akan berpengaruh pada generasi yang akan datang,” ucap Sahbirin. Beliau juga mengatakan, Pemerintah Provinsi Kalsel berkomitmen menjadikan pengarustamaan gender sebagai prioritas pembangunan, yang tidak hanya tertuang dalam dokumen, namun dalam bentuk partisipasi aktif (Republika, 23 Maret 2022).
Sudah sejak lama faktor kemiskinan menjadi permasalahan negeri ini. Terlebih sejak adanya pandemi Covid-19. Banyak perempuan kehilangan nafkah karena suaminya di-PHK, usahanya gulung tikar, atau meninggal menjadi korban pandemi. Akhirnya sebagian para istri ikut terjun mencari nafkah untuk mempertahankan ekonomi keluarga. Munculnya arus kesetaraan gender yang memperjuangkan perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki membuat perempuan memiliki partisipasi ekonomi yang diperhitungkan. Mereka dianggap menjadi jawaban dari persoalan kemiskinan. Maka, upaya pemberdayaan perempuan diarahkan untuk membuat mereka bisa bekerja, memiliki usaha, dan menghasilkan uang. Namun, apakah upaya ini mampu menyelesaikan persoalan perempuan?
Pada 1 Desember 2021, Indonesia resmi menjadi Presidensi G20. Dalam agenda KTT Presiden Jokowi mengatakan negara-negara G20 harus terus mendorong penguatan peran UMKM dan perempuan melalui sejumlah aksi nyata. Seperti yang dilansir Antaranews.com (31/10/21), “(Aksi nyata) Pertama, meningkatkan inklusi keuangan UMKM dan perempuan. Inklusi keuangan adalah prioritas Indonesia. Indeks keuangan inklusif kami telah mencapai 81 persen dan kami targetkan mencapai 90 persen di tahun 2024,” jelas Presiden Joko Widodo.
Di saat yang sama, terdapat 65,4 juta UMKM dan 64 persen pelaku UMKM Indonesia adalah perempuan sehingga bagi Indonesia, memberdayakan UMKM berarti juga memberdayakan perempuan. Keikutsertaan perempuan dalam UMKM juga menunjukkan ketangguhan yang cukup tinggi di tengah pandemi. Selain itu, Indonesia juga meluncurkan dana sebesar USD1,1 miliar bagi Program Produktif Usaha Mikro dan 63,5 persen di antaranya diterima pengusaha perempuan. Khusus untuk pengusaha perempuan mikro dan ultra-mikro, Indonesia mengembangkan skema pemodalan khusus yang disebut program Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera). (Viva.co.id, 31/10/21).
Presiden Jokowi memaparkan bahwa hingga saat ini, terdapat lebih dari 10,4 juta nasabah dengan total pembiayan USD1,48 miliar dan nonperforming loan yang sangat rendah, hanya 0,1 persen. Hal tersebut membuktikan kemampuan para pengusaha perempuan yang mumpuni dalam mengelola dana.Dorongan untuk meningkatkan UMKM oleh negara ini menjadi hal yang dikhawatirkan, karena hal ini bisa jadi untuk mengalihkan kebijakan negara yang seharusnya lebih mendorong kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan aset negara BUMN, bukan dengan memaksa para perempuan untuk terus meningkatkan UMKM demi meningkatnya perekonomian Indonesia.
Dalam sistem kapitalis, segala sesuatu diukur dengan materi. Siapapun dianggap sebagai sumber daya ekonomi yang harus bisa mendatangkan manfaat secara materi. Demikian pula perempuan dipandang sebagai bagian dari sumber daya untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Dari sisi lain, pada saat nafkah keluarga dijadikan tanggung jawab dan kewajiban bersama suami dan istri. Beban yang ditanggung istri setidaknya akan berpengaruh terhadap perannya sebagai pendidik anak-anaknya dan pengaturan dalam rumah tangga.
Terlebih mereka yang bekerja seharian, dari pagi sampai sore. Tidak jarang mereka sampai di rumah malam hari atau harus tugas keluar kota berhari-hari. Akibatnya, ia kehilangan kesempatan untuk mengasuh dan merawat anak-anak dengan baik. Tentu saja hal ini akan berdampak pada keharmonisan keluarga. Di samping itu, tidak jarang istri yang bekerja dan gajinya lebih tinggi dari gaji suami, menjadikan suami kurang percaya diri memimpin keluarga. Banyak istri yang gajinya lebih tinggi merasa lebih berhak mengatur keluarganya dan merasa berat diatur dan menaati suaminya. Jika kondisi ini berlangsung lama, akan makin keruh, sehingga menyebabkan rumah tangga tidak harmonis dan tidak sedikit yang berujung pada perceraian.
Hal ini diperparah dengan pengangguran laki-laki yang makin meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada masa pandemi jumlah pengangguran naik 2,67 juta orang menjadi 9,77 juta orang hingga kuartal III-2020. Menurut jenis kelamin, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) laki-laki sebesar 7,46% lebih tinggi dari TPT perempuan (6,46%). Terlebih perempuan makin banyak yang bekerja saat pandemi Covid-19.
Dalam kapitalisme, dampak buruk perempuan ikut bekerja mencari nafkah, tidak diperhitungkan sama sekali karena sifatnya yang nonmateri. Sehingga, bukannya menghentikan partisipasi perempuan, mereka justru berusaha membuka peluang besar bagi perempuan untuk menjadi pion ekonomi. Inilah solusi yang tidak memecahkan masalah, tetapi justru melahirkan permasalahan cabang yang lebih besar. Selayaknya pemikiran kapitalistik ini kita tinggalkan dan kembali kepada solusi yang berasal dari Sang Pencipta manusia, yakni solusi Islam.
Sangat berbeda dengan sistem kapitalis, sistem Islam justru memberikan solusi yang sangat tuntas terkait permasalahan ekonomi dan peran perempuan. Dalam rumah tangga, Allah memberikan peran bagi suami sebagai pemimpin rumah tangga yang wajib memimpin, melindungi, dan memberi nafkah kepada anggota keluarganya. Sedangkan peran istri sebagai ibu dan pengurus rumah, bertanggung jawab mengatur rumahnya di bawah kepemimpinan suami. Bagaimana dengan kondisi laki-laki yang belum memiliki pekerjaan untuk dapat menafkahi keluarganya? Negara akan menjamin semua laki-laki akan mendapatkan perkerjaan yang layak dan dengan upah yang sesuai. Dengan begitu perempuan tidak lagi dipaksa untuk ikut serta dalam menafkahi rumah tangga.
Dalam Islam, perempuan tidak diwajibkan bekerja untuk mencari nafkah. Bahkan harus dinafkahi seumur hidup dengan mekanisme perwalian, dan yang terakhir bertanggung jawab adalah negara untuk memenuhi kebutuhannya. Adapun hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh), baik di sektor yang membutuhkan intelektualitas dan profesionalisme, hingga yang hanya membutuhkan tenaganya saja.
Hasil kerja perempuan adalah milik perempuan itu sendiri, bukan milik keluarga, dan hanyalah sunah untuk disedekahkan kepada keluarga. Akan tetapi, Islam memberi tanggung jawab menjaga kehamilan, menyusui, mengasuh, dan mendidik anak, serta mengatur rumah suaminya pada seorang ibu. Dari sini terlihat bagaimana indahnya hukum Islam. Inilah hukum yang akan memperkuat ekonomi dan ketahanan keluarga.
Dengan demikian, untuk memuliakan perempuan dan melindungi perempuan dari diskriminasi dan kekerasan, bukanlah dengan menjadikan perempuan sebagai kepala keluarga, menjadikan partisipasi perempuan yang kuat dalam sektor ekonomi, dan menjadikannya sebagai pimpinan dalam bisnis-bisnis dan perusahaan. Akan tetapi, dengan mengembalikan perempuan kepada fungsi utamanya sebagai ibu pendidik generasi dan pengurus rumah.
Sudah seharusnya negara mendidik dan membekali perempuan agar kompeten dalam melaksanakan kewajibannya. Negara juga harus menjamin para perempuan memperoleh haknya dan menikmati kesejahteraan, termasuk hak untuk dinafkahi secara layak. Bukan malah diberi tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan wajib nafkah. Tentu saja, hukum Islam yang berkaitan dengan keluarga ini tidak akan membawa maslahat kecuali seluruh hukum Islam diterapkan secara sempurna (kaffah).
Waallahu a’lam bishawwab.