Oleh: Rif’ah Radhiyati, S.Pd. (Pendidik di Martapura)
Habis jatuh tertimpa tangga, setelah berkutat selama 2 tahun berperang melawan pandemi covid-19, kemarin 1 April 2022 rakyat dikejutkan dengan kenaikan harga BBM jenis pertamax dari Rp. 9.000/liter menjadi Rp. 12.500 – Rp. 13.000 per liter. Tak hanya pertamax, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, memberikan sinyal bahwa harga pertalite dan LPG 3 Kg juga akan mengalami kenaikan harga. Yang akan diumumkan secara bertahap.
Menurut pemerintah, jika harga BBM tidak dinaikkan, hal itu akan memberatkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disebabkan harga minyak dunia terus meningkat. Dimana minyak dunia saat ini dibandrol 119 dolar AS per barel, sedangkan dalam anggaran APBN harga minyak dunia hanya 65 dolar AS per barel (Tirto, 1/4/2022). Harga barang memang tidak otomatis naik dengan naiknya harga pertamax, tetapi melonjaknya harga Pertamax dikhawatirkan akan membuat masyarakat beralih menggunakan bensin jenis Pertalite, yang direncanakan akan disubsidi penuh oleh pemerintah. Pada akhirnya dampak beban untuk menanggung subsidi tersebut dari APBN akan bengkak (cnbcindonesia, 1/4/2022).
Disinilah efek domino akan terjadi, ketika permintaan terhadap pertalite terus meningkat, maka akan berpotensi menjadikan pertalite menjadi langka karena persediannya yang terbatas. Yang akan berefek rakyat akan “terpaksa” pertamax yang persediaannya ada. Hal inilah yang rentan menurunkan daya beli masyarakat dan inflasi. Karena kenaikan pertamax ini, akan berakibat sama skenarionya seperti premium, yaitu hilang dari pasaran akibat negara tak sanggup lagi mensubsidi dan tak mampu membayar hutangnya kepada pertamina.
Fakta kenaikan BBM ini menunjukkan bahwa pemerintah tunduk pada mekanisme harga global, yaitu mengikuti kepentingan kapitalis globar. Dimana negara hanya sebagai regulator, semua kebutuhan rakyat dan publik diatur dan dikelola dengan mekanisme pasar bebas.Sudah tak menjadi rahasia lagi, bahwa pengelolaan BBM dari hulu ke hilir diserahkan pada swasta. Yang berakibat pengelolaan BBM yang harusnya dikelola penuh oleh negara menjadi tergadai. Jadi, akar masalah mahalnya BBM adalah paradigma dan visi misi tata kelola minya yang kapitalistik, bukan karena negeri ini miskin dan tidak memiliki minyak. Karena yang paling diuntungkan dari kenaikan BBM adalah swasta dan asing.
Dalam Islam, karena BBM jumlahnya melimpah dan menjadi kebutuhan primer dari masyarakat, maka ia termasuk salah satu sumber daya milik umum. Karenanya Islam melarang dan mengharamkan pengelolaannya diserahkan kepada swasta/asing. Rasulullah bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam 3 perkara, yaitu padang rumput, air dan api” (HR Ahmad dan Abu Dawud). Bukan karena zatnya manusia berserikat dengan 3 hal itu, akan tetapi karena sifatnya yang dbutuhkan oleh orang banyak. Karena apabila tidak ada, masyarakat akan berselisih atau menjadi masalah ketika mencarinya. Dengan demikian, dengan sifatnya yang merupakan kebutuhan komunal dimana masyarakat memanfaatkannya secara bersama dan sangat membutuhkannya, pengelolaannya tidak boleh dikuasai individu, swasta apalagi asing. Yang bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan harta milik umum tersebut haruslah negara.
Dalam perkara minyak bumi yang notabene adalah harta milik umum, maka negara wajib mengelola dan mendistribusikan kepada seluruh masyarakat dengan adil dan merata. Tidak memperjualbelikan, dan tidak pula mengambil keuntungan dari masyarakat secara komersil. Kalau pun mengambil untung, hal ini dalam rangka mengganti biaya produksi saja dan nanti hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk yang lain. Dengan tata kelola sesuai Islam ini, negara akan mampu memberikan harga murah bahkan gratis untuk BBM. Kebutuhan BBM dalam negeri akan tercapai. Karena segala pengelolaan dan pengaturannya dikembalikan kepada negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.