Dalam masa ke masa Ilmu Pengetahuan merupakan faktor utama yang harus dimiliki oleh setiap bangsa demi mewujudkan kemajuan dan meningkatkan daya tawar di mata dunia. Sebagai generasi milenial yang hidup di zaman transisi dengan ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi seyogianya untuk sadar dengan cita-cita dalam mewujudkan Generasi Emas 2045 yang diwacanakan oleh negara Indonesia perlu untuk dipenuhi.
Sederhananya jika wacana ini tidak ditindaklanjuti dengan menambah wawasan seluas-luasnya maka harapan besar bangsa akan menjadi omong kosong belaka. Sama seperti omong kosong yang diuatarkan seekor pungguk ketika merindukan bulan.
Pun juga dapat dilihat bahwa kreativitas para pelaku literasi saat ini banyak melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan minat baca generasi bangsa Indonesia. seperti mulai banyaknya café-café sebagai tempat tongkorongan nan populer saat ini telah meletakkan beberapa pojok baca atau perpustakaan mini di setiap sudutnya.
Dalam survei Program For International Student Assessment (PISA) yang dirilis pada 2019, Indonesia menempati ranking ke-62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi. Dan total jumlah bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0,09. Artinya satu buku di tunggu oleh 90 orang setiap tahun. Dari data tersebut tergolong kepada penggambaran terhadap tingkat literasi yang rendah.
Ya, saat ini di kala perkembangan teknologi yang semakin pesat atau nama populernya dikenal sebagai disrupsi. Dimana seluruh ummat manusia tengah dicekoki oleh kebanjiran informasi. Maka membaca informasi yang tidak memiliki batas memungkinkan untuk diakses dengan mudah. Kita tidak perlu untuk beranjak dari tempat tidur menuju gedung perpustakaan nun jauh di kampus. Karena melalui telepon pintar dan sedikit bantuan paket data dari kartu prabayar ataupun dengan tumpangan hostpot atau wifi telah mampu untuk mengetahui segala macam isi dunia. mulai dari terbentuknya hingga kepada rencana-rencana berakhirnya dunia.
Pun dewasa ini seolah-olah semuanya menjadi sangat simpel dan sederhana. Bahkan ketika ingin mendapatkan pengakuan atau komentar dari orang lain tidak perlu untuk keluar rumah karena hanya butuh untuk berbaring di atas sofa empuk dan berselancar di media sosial akan bisa mendapatkan eksperesi berupa senyum-senyum sendiri atau merasa kesal entah kenapa.
Sehingga tingkat literasi saat ini beralih kepada literasi berbasis digital. Dimana menjadikan teknologi informasi sebagai sumber dari ilmu pengetahuan. Namun, bagaimanapun adanya perkembangan teknologi yang dianggap telah memberikan dampak kemajuan terhadap perkembangan “otak bangsa”. Yang hingga saat ini dunia literasi setidaknya menghasilkan tiga kelompok yang berbeda.
Adapun tiga kelompok pembaca saat ini yaitu penikmat pdf dan buku bajakan, pembaca buku cetak dan original, dan penikmat media sosial. Pertama, kelompok penikmat pdf dan buku bajakan, biasanya adalah kelompok yang berasal dari pembaca pemula, yang dimana mulai tertarik dengan dunia literasi namun belum memiliki keseriusan dalam membeli buku cetak. Adapun alasan yang digunakan oleh kelompok ini adalah karena membaca dalam bentuk pdf dan buku bajakan tidak membutuhkan biaya yang besar. Walaupun terkadang dalam situasi ketika sulit mendapatkan buku cetak dari beberapa buku yang memiliki akses yang sulit juga menjadi alasan dari kelompok ini.
Selanjutnya, kelompok pembaca buku cetak dan original, biasanya kelompok ini adalah pembaca yang sudah mulai akrab dengan dunia literasi dan sudah mulai muncul kesadaran terhadap penghargaan terhadap karya seseorang. Karena dengan membaca dengan buku cetak dan original dianggap sebagai salah satu bentuk apresiasi untuk memberikan apresiasi moral terhadap seluruh pihak yang terkait dalam menghasilkan karya tersebut baik itu penulis, editor, layouter dan pihak penerbit.
Terakhir adalah kelompok penikmat media sosial. Kelompok ini sebagian besarnya adalah kelompok yang berada dalam dua kelompok diatas. Namun perbedaan mendasarnya terletak pada kelompok ini hanya menggunakan aktivitas membaca sebagai wadah untuk menambah eksistensi melalui unggahan story dan postingan di media sosial. Juga kelompok ini termasuk kepada penikmat tulisan-tulisan atau informasi yang berasal dari media sosial. Kelompok inilah yang termasuk kepada kelompok yang rentan menjadi konsumen dari kebanjiran informasi saat ini.
Memang diakui bahwa ketiga kelompok di atas merupakan hipotesis dari penulis belaka. Namun Harus disepakati diluar kondisi hipotesis yang bisa saja benar bahwa ketiga kelompok tersebut merupakan kelompok yang output-nya adalah kegiatan atau aktivitas yang bertujuan untuk menambah wawasan melalui berbagai sumber informasi yang berbeda. Dan jika masih diperbolehkan untuk berhipotesis sekali lagi bahwa penulis berpendapat bahwa generasi milenial saat ini sebagian besar berada pada kelompok ketiga. Sehingga dengan keadaan yang demikian menurunkan eksistensi perpustakaan sebagai gudang ilmu.
Lalu, perpustakaan saat ini dianggap kurang menarik dan tidak terlalu disukai oleh generasi milenial. Namun disisi lain juga terdapat kealpaan terhadap pengaruh media sosial yang membuat perpustakaan menjadi sebagai tempat yang membosankan.
Selanjutnya, di sisi lain diluar dari wadah dalam mendapatkan informasi saat ini juga perlu diakui bahwa adab terhadap orang-orang pelaku penghasil karya sangat perlu untuk diperhatikan. Karena bisa saja jika mendapatkan ilmu pengetahuan tetapi ilmunya tidak berkah yang disebabkan oleh kurangnya adab terhadap buku yang kita baca.
Lalu, muncullah sebuah pilihan dalam dunia literasi bagi generasi milenial yaitu mengutamakan untuk hanya memilih menambah wawasan tanpa mempertimbangkan bagaimana dan dalam bentuk apa mendapatnya atau menyandingkan menambah wawasan dengan tetap mengutamakan adab terhadap ilmu pengetahuan yang kita dapatkan. Ya, dianjurkan dalam menetapkan sebuah pilihan harusnya tidak menggunakan akal saja tapi juga menyanding pertimbangan hati di dalamnya. Karena hal tersebut juga termasuk kepada bagian upaya untuk memanusiakan manusia yang sering dikampanyekan di kalangan generasi milenial saat ini.