BANJARMASIN – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan aliran fee proyek ke Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) non-aktif, Abdul Wahid, mencapai Rp 31,7 miliar.
Hal itu terungkap dari fakta di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK saat membacakan dakwaan terhadap Wahid, yang mulai menjalani persidangan, Senin (11/4).
Di hadapan Ketua Majelis Hakim Yusriansyah, Wahid yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, didakwa JPU
menerima dana bernilai fantastis melalui sejumlah pejabat di lingkungan Dinas PUPRP HSU sejak kurun waktu 2015 hingga 2021.
Pada dakwaannya, JPU mengatakan ada dua kategori aliran dana yang diterima Wahid. Pertama berupa fee terkait penunjukan kontraktor proyek di lingkungan Dinas PUPRP HSU baik yang diterimanya langsung maupun melalui ajudan.
Di antaranya Plt Kadis sekaligus Kabid Sumber Daya Air PUPRP HSU Rp2,8 miliar sejak tahun 2017 hingga 2021. Dari Kabid Binamarga Dinas PUPRP HSU sebesar Rp 8,1 miliar sejak tahun 2015 hingga 2018.
Dari Kasi Jembatan Dinas PUPR HSU sebesar Rp 18,5 miliar sejak tahun 2019 hingga 2021 d dari Kabid Cipta Karya sebesar Rp 1,7 miliar sejak 2019 hingga 2021.
Kedua berupa aliran dana terkait penunjukkan ASN sebagai pejabat strategis di lingkungan Pemkab HSU sebesar Rp 510 juta sejak tahun 2018 hingga 2020.
Dana-dana itu tidak dilaporkan Abdul Wahid dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya kepada KPK selaku Bupati HSU.
“Dalam LHKPN terdakwa pada Desember 2020 sebagai bupati harta kekayaan Rp5,3 miliar,” ujar Tim JPU KPK yang terdiri dari Fahmi Ari Yoga, Hendra Eka Saputra, Rony Yusuf dan Titto Jaelani.
Terkait dakwaan tindak pidana pencucian uang, terdakwa disebut telah menempatkan, membelanjakan atau menggunakan dana tersebut dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaaan melalui sejumlah transaksi.
JPU menyebut, Wahid telah membeli belasan aset berupa tanah dan bangunan di kawasan Amuntai Tengah dan Amuntai Selatan, Kabupaten HSU, Provinsi Kalsel diduga menggunakan dana tersebut dengan nilai total sekira Rp 10,9 miliar. Termasuk pembelian lahan dan pembangunan kompleks gedung Klinik Barata di Amuntai.
Selain itu, Wahid juga disebut melakukan pembelian kendaraan roda empat senilai Rp 539 juta.
Wahid menjalani sidang perdana sebagai terdakwa dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU KPK. Selain perkara pokok tindak pidana korupsi, dia juga dijerat tindak pidana pencucian uang. ant