Oleh : Nurma Junia, S. Pd
Akhir-akhir ini masyarakat terus dibuat panik dengan harga kebutuhan hidup yang terus melonjak naik. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengemukakan jika harga kebutuhan pangan seperti ayam, bawang putih, cabai, gula, minyak goreng, daging sapi, telur dan tepung terigu sedang naik. Kondisi ini diperparah dengan naiknya PPN 11% dan BBM jenis Pertamax menjadi Rp12.000. Selain itu, momen kenaikan ini juga bertepatan dengan datangnya bulan Ramadan. (Kompas, 2/4/22).
Dengan naiknya harga BBM tentu akan berdampak pula pada kenaikan harga barang-barang kebutuhan lainnya. Dan ini dianggap hal yang wajar mengingat biaya transport untuk distribusi memang menjadi salah satu faktor penentuan harga barang di pasar. Seperti inilah kehidupan yang harus dihadapi masyarakat terlepas dari suka atau tidak suka. Seakan tidak bisa lari dari kenyataan yang terus mengkhawatirkan. Apalagi jika dihadapkan pada berbagai kebutuhan di bulan Ramadhan yang harus ditunaikan, tentu semakin menjadi momok yang menakutkan. Masyarakat yang sebelumnya sudah susah karena terdampak wabah tentunya akan semakin bertambah susah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terlebih lagi bagi masyarakat yang tingkat ekonominya menengah kebawah.
Kenaikan harga pangan yang terus terjadi berulang tentunya tidak lepas dari adanya peran pemerintah sebagai pengatur kebijakan. Karena sesungguhnya, segala kebijakan yang ada saat ini belum mampu menjadi solusi untuk memperbaiki segala kondisi.Seakan tidak ada keseriusan untuk mengurai apa yang menjadi akar masalahnya.
Secara garis besar,jika diperhatikan harga kebutuhan pangan di pasar dipengaruhi tiga faktor, yaitu tingkat permintaan (demand-side), ketersediaan stok produksi (domestik maupun impor) dan kelancaran distribusi. Inilah akar problem yang seharusnya menjadi fokus kebijakan pemerintah. Yakni bagaimana membangun secara serius kedaulatan pangan,menyelesaikan hambatan distribusi hingga semua wilayah bisa tercukupi kebutuhannya, sekaligus bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa terjamin sepenuhnya.
Pola pikir mekanisme pasar serta supply dan demand merupakan watak Kapitalis yang menjadi asas kebijakan pemerintah. Sehingga, keberadaan penguasa juga sekaligus menjadi pengusaha yang berbisnis untuk mencari keuntungan dalam setiap kebijakannya. Jelaslah, kebijakan praktis pragmatis tidak bisa mengurai problem karena jauh dari akar persoalan yang ada.
Pada dasarnya, harga pangan yang meroket sehingga sulit dijangkau rakyat berpangkal dari lemahnya fungsi negara dalam mengatur urusan rakyatnya. Sistem kapitalis-sekuler ini telah nyata memandulkan peran pemerintah tidak lebih dari sekadar regulator dan fasilitator, bukan sebagai penanggung jawab urusan rakyat. Pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan rakyat justru diserahkan kepada korporasi, sehingga menjadi proyek bancakan untuk mengejar keuntungan. Berbagai aturan yang dibuat pemerintah malah memfasilitasi masuknya para pemodal dalam bisnis hajat asasi ini. Jadi, tak heran jika dalam sistem ini, negara kadang tak mau peduli jika kebijakannya akan membuat rakyatnya tersakiti.
Sangat berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berlandaskan kepada syari’at Allah dan prinsip utamanya adalah pemenuhan kebutuhan hajat hidup masyarakat tanpa membedakan status sosialnya. Dalam Islam negara diperintahkan untuk memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan pelindung yang termanifestasi dalam bentuk jaminan kesejahteraan baik pemenuhan akan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan), maupun jaminan pemenuhan kebutuhan komunal seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Stabilitas harga pangan juga menjadi perhatian penting negara, baik selama bulan Ramadan ataupun di luar Ramadan. Ini merupakan salah satu fakta yang menunjukkan tanggung jawab penguasa dalam menjamin tersedianya makanan bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau. Untuk menjalanakan peran ini, negara memiliki struktur yang dinamakan Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang berfungsi untuk mengawasi aktivitas di pasar, termasuk pengawasan harga dan peredaran bahan makanan yang haram dan membahayakan rakyat. Islam juga mengatur kepemilikan SDA sebagai milik umum yang pengelolaannya dilakukan negara dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya.
Negara juga memiliki tanggungjawab dalam mengelola pasar sesuai dengan syariat Allah Negara menjamin terlaksanya mekanisme pasar yang baik dan tidak membiarkan adanya transaksi ribawi, penipuan, monopoli dan penimbunan yang nantinya dapat menguntungkan segelincir orang serta memberlakukan hukum-hukum sanksi yang tegas atas tindak pelanggaran.
Bahkan, negara sebagai pelindung rakyat terdepan tidak akan membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan sepihak sehingga keberadaan korporasi-korporasi raksasa dapat dihindari.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Bila naiknya harga disebabkan oleh masalah distribusi, maka harus dilihat penyebabnya yakni apakah disebabkan oleh faktor fisik seperti rusaknya jalan dan tiadanya sarana transportasi yang memadai ataukah karena permainan spekulan yang menimbun barang. Bila penyebabnya adalah masalah pertama maka yang harus dilakukan pemerintah adalah segera memperbaiki jalan dan sarana transportasi yang rusak tersebut. Bila penyebabnya karena penimbunan barang, maka pemerintah secepatnya mengembalikan barang yang ditimbun oleh pedagang spekulan tersebut dan memberikan hukuman setimpal terhadap para pelakunya. Perbuatan menimbun beras hukumnya mutlak haram.
Inilah akar problem yang seharusnya menjadi fokus pemerintah saat ini. Yakni membangun secara serius kedaulatan pangan, sembari menyelesaikan semua hambatan distribusi, hingga semua wilayah bisa tercukupi kebutuhannya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sekaligus bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa kecuali. Karena seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya ada yang terabaikan.
Rasulullah SAW bersabda : “Seorang imam (khalifah) memelihara dan mengatur urusannya terhadap rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seperti itulah indahnya konsep dan nilai-nilai syariah Islam yang terstruktur dalam segala aspek kehidupan. Khususnya kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Dan jika dicermati, begitu banyak praktik Rasulullah Saw para Khalifah setelahnya sebagai kepala negara, yang menunjukkan bagaimana keseriusan negara memfungsikan dirinya sebagai penjamin atas kebutuhan dasar rakyatnya sekaligus pelindung mereka dari kebinasaan. Hingga catatan sejarah peradaban Islam dipenuhi kisah-kisah menakjubkan soal tingginya level kesejahteraan yang tidak bisa diungguli oleh peradaban manapun, termasuk peradaban yang sekarang dipaksakan. Oleh karenanya, sangat naif jika umat ini mau tetap mempertahankan sistem kapitalis neoliberal yang sudah terbukti gagal total mewujudkan kesejahteraan.
Sehingga tidak ada cara lain untuk menggapai kesejahteraan hakiki kecuali dengan meninggalkan kepercayaan pada kebijakan ekonomi kapitalis yang dzalim yang telah terbukti menjadi sumber kerusakan kehidupan ini. Saatnya kita kembali kepada syariat Allah dengan penerapan islam kaffah. Wallahu ’alam