Harus diakui, selalu terjadi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok setiap datang bulan Ramadhan dan masuk di bulan Ramadan dan bahkan disinyalir hingga berakhirnya bulan Ramadan nanti seolah menjadi ritual wajib tahunan yang tidak dapat dielakkan di negeri ini. Harga barang-barang kebutuhan pokok melonjak disebabkan permintaan konsumen meningkat. Maka, berlakulah hukum permintaan: meningkatnya permintaan atas barang-barang oleh konsumen akan berbanding lurus dengan kenaikan harga yang ditawarkan oleh produsen atau pedagang.
Berdasarkan pengamatan menyebutkan bahwa harga yang naik selama memasuki bulan April diantaranya, BBM Pertamax, pulsa dan kuota, minyak goreng, dan beberapa bahan kebutuhan pokok lainya seperti daging sapi, ayam kampung, tepung terigu, cabe merah, gula pasir, telur ayam kampung, dan kacang-kacangan, dan mungkin juga yang lain.
Beberapa kebutuhan pokok yang telah penulis sebutkan di atas, Khusus untuk minyak goreng, harga terus bertahan tinggi hingga lagi-lagi menjadi penyumbang inflasi terbesar. Badan Pusat Statistik melaporkan laju inflasi nasional sepanjang Maret 2022 tercatat 0,66%. Angka inflasi itu tercatat yang tertinggi sejak Mei 2019 yang sempat mencapai 0,68%. (Media Indonesia, 2 April 2022)
Terlepas masalah minya goreng di atas. Timbul pertanyaan di benak kita semua: apakah kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut akan mempercepat gerak perekonomian karena adanya multiplier effect yang terjadi di masyarakat? Atau malah sebaliknya, kenaikan tersebut akan mengerek perekonomian Indonesia ke tubir inflasi.
Inflasi Positif
Menarik rasanya ketika kita hendak membahas inflasi. Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang memiliki teka-teki sulit ditebak. Bahkan kadang masyarakat menjadikan inflasi sebagai momok yang menakutkan dalam kehidupan sehari-hari.
Inflasi merupakan kenaikan dalam harga barang dan jasa, yang terjadi karena permintaan bertambah lebih besar dibandingkan penawaran barang di pasar. Dengan kata lain, terlalu banyak uang yang memburu barang yang terlalu sedikit.
Apabila dikaitkan dengan fenomena bulan Ramadhan, apakah kenaikan yang terjadi setiap jelang dan masuk bulan Ramadan bisa dikatagorikan sebagai inflasi? Semua harga barang kebutuhan pokok, mulai dari sandang, pangan, papan mengalami kenaikan yang sangat drastis. Seolah harga yang terjadi di pasar tidak dapat dikendalikan lagi, dan pemerintah kehilangan kendali untuk mengontrol harga-harga yang terjadi di pasar.
Akan tetapi, yang sangat mengherankan adalah kenaikan harga-harga di pasar tidak menurunkan daya beli masyarakat terhadap barang-barang yang tersedia. Seolah kenaikan harga yang terjadi di pasar menjadi pemicu daya beli masyarakat, dan masyarakat pun berlomba-lomba mendapatkan barang-barang tersebut.
Menyitir pendapat Kwik Kian Gie yang masih sangat relevan, bahwa apabila dikaitkan dengan fenomena kenaikan harga setiap kali jelang Ramadhan, yang berujung pada inflasi. Ia berpendapat bahwa inflasi yang terkendali dianggap baik selama pendapatan riil meningkat. Artinya, kalau pendapatan nominal meningkat melebihi tingkat inflasi, inflasi dianggap baik-baik saja. Hal ini terjadi karena kegairahan ekonomi memberi sifat pemanasan terhadap ekonomi, yang salah satu gejalanya adalah naiknya harga-harga.
Jika demikian, kenaikan harga barang setiap jelang dan masuk bulan Ramadan ini bisa dikatakan baik selama di-manage dengan baik dan benar. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat agar inflasi memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi setiap menjelang bulan Ramadhan.
Pertama, pengendalian pasar terhadap aksi spekulan yang mengambil keuntungan di atas rata-rata harga pasar. Dalam arti, pemerintah dan masyarakat harus aktif terhadap ulah spekulan yang hendak mengambil keuntungan dengan cara menimbun barang yang melebihi stok kapasitas, lalu dijual dengan harga lebih mahal di kemudian hari ketika barang tersebut langka.
Jika hal ini terjadi, maka inflasi yang semula baik seperti dikatakan Kwik Kian Gie akan menjadi bumerang bagi kita semua. Yang seharusnya inflasi bisa merangsang pertumbuhan ekonomi, malah menjadi racun yang akan melesukan perekonomian Indonesia. Maka itu, pemerintah dan masyarakat harus aktif terhadap ulah spekulan yang menumpuk barang-barang melebihi stok persediaan. Jika perlu, ulah spekulan seperti ini harus diberi dengan “ganjaran‘ yang sangat berat.
Kedua, mendorong produktivitas produsen untuk menambah produksinya selama jelang atau pun sebelum Ramadan tiba. Dengan cara memberikan kredit penambahan modal usaha kepada produsen, melalui instruksi BI (Bank Indonesia) kepada seluruh perbankan yang ada di Indonesia, diharapkan uang yang mengendap di perbankan mengalami perputaran signifikan di sektor riil. Sehingga, kenaikan harga barang di bulan Ramadan akan berimplikasi pada multiplier effect di sektor riil. Yang pada akhirnya berkah bulan suci Ramadan bisa dirasakan oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia.
Peluang Pasar
Berkah bulan suci Ramadan seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan dan penguatan ekonomi masyarakat. Karena bulan suci Ramadan merupakan peluang ekonomi sangat besar apabila di-manage dengan baik dan benar, seperti telah penulis sampaikan di awal tulisan ini di mana sektor riil mengalami pertumbuhan sangat signifikan.
Hal ini tercermin pada daya beli masyarakat yang sangat besar, sehingga terjadi multiplier effect di segala lini sektor riil ekonomi di dalam negeri. Hal tersebut akan saling menguatkan antara yang satu dengan yang lain. Alquran menyebutnya: yasyuddu ba‘duhu al-ba‘da (saling bersinergi).
Apabila hal ini terjadi, maka berkah bulan suci Ramadan akan tercermin dalam bentuk transaksi yang berkah pula. Sehingga, berkah tersebut akan berimplikasi pada kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak, dan kita pun akan menjadi negara seperti yang terdapat di dalam Al Quran: baldatul toyyibatun waa rabbun ghofur.