BANJARMASIN – Mantan Kepala Dinas ESDM Tanah Bumbu (Tanbu) Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo didakwa menerima suap yang disamarkan dalam bentuk utang, hingga terjerat perkara korupsi izin usaha pertambangan (IUP) yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Senin (4/4).
Dalam fakta persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Yusriansyah terungkap, terdakwa Raden menerima suap yang disamarkan dalam bentuk utang dari mantan Dirut PT PCN almarhum Henry Soetio.
Sementara tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan enam orang saksi. Dua di antaranya Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) Kalsel H Nafarin serta Kabid Perizinan Ekonomi dan Sumber Daya Alam Dinas PM-PTSP Kalsel Miftahul Chair.
Keduanya digali kesaksiannya terkait perkara dugaan suap atau gratifikasi dari PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) kepada terdakwa pada tahun 2015.
Dugaan suap itu terkait dengan pelimpahan IUP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT PCN di Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2011 lalu.
Kepada saksi Nafarin, JPU menanyakan terkait keberlanjutan IUP milik PT PCN saat saksi Nafarin menjabat sebagai Kepala Dinas PM-PTSP Provinsi Kalsel sejak tahun 2017.
Dalam kesaksiannya, Nafarin membenarkan Dinas PM-PTSP pernah memproses permohonan perpanjangan IUP produksi PT PCN pada tahun 2017.
Nafarin menyebut, dalam pengajuan perpanjangan IUP produksi tersebut sudah disertai sejumlah dokumen persyaratan termasuk SK Kepala Daerah, syarat kelayakan, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan dokumen persyaratan lainnya.
“Kami periksa syarat-syarat jika memenuhi baru dimulai proses perpanjangan perizinan,” katanya.
Saat ditanya JPU apakah dalam pengajuan IUP produksi tersebut PT PCN sudah memiliki IUP eksplorasi, Nafarin mengaku saat itu tidak ada pengajuan IUP eksplorasi dari PT PCN.
Menurut majelis hakim yang dipimpin Yusriansyah SH MH, karena sudah melanggar ketentuan, tentunya baik persetujuan PTSP maupun rekomendasi tersebut melanggar hukum dan harus batal demi hukum.
“Menyeleksi izin itu tugasnya saudara, jangan membawa pimpinan,” tegas Yusriansyah.
Menurut dakwaan, kasus ini bermula ketika Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) yang dipimpin almarhum Henry Soetio tahun 2010 berencana melakukan kegiatan usaha pertambangan Batubara di Tanah Bumbu. Henry berencana memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Pada awal 2010, Henry bertemu dengan Mardani H Maming selaku Bupati Tanah Bumbu. Kemudian, pada pertengahan Tahun 2010, Mardani memperkenalkan Henry Soetio dengan terdakwa Raden Dwidjono.
Sebagai tindak lanjut pertemuan tersebut, Kadis ESDM bertemu kembali dengan Henry untuk memproses pengurusan IUP dengan cara mengalihkan IUP milik PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) menjadi IUP PCN.
Dengan dalih melakukan pinjaman, Raden Dwidjono meminjam uang kepada Henry Soetio guna keperluan modal kerja usaha pertambangan sebagai bekal penghasilan pada saat Pensiun di tahun 2016.
Pada awal tahun 2021, pinjaman yang dilakukan oleh Raden Dwidjono kepada Henry Soetio dilaporkan ke Kejaksaan Agung RI, karena diduga sebagai penyamaran suap dan gratifikasi.
Sementara, saksi Miftahul menjelaskan terkait teknis penerbitan IUP, Dinas PM-PTSP hanya memeriksa kelengkapan administratif dalam pengajuan. Sedangkan kesesuaian antara kondisi riil dan dokumen persyaratan menurutnya merupakan kewenangan dinas teknis.
Selain Nafarin dan Miftahul, empat saksi lainnya yang dihadirkan merupakan pihak wiraswasta yaitu Deri Salim, Martinus, Sumaryanto dan Sugianti yang juga merupakan isteri terdakwa.
Terdakwa dihadapkan dengan sejumlah dakwaan alternatif, di antaranya Pasal 12 huruf a jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ant/ris