Mata Banua Online
Rabu, Desember 24, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Pelanggaran HAM dalam Duka Sumatera

by Mata Banua
23 Desember 2025
in Opini
0
G:\2025\Desember 2025\24 Desember 2025\8\Opini Rabu\Wira Dika Orizha Piliang.jpg
Wira Dika Orizha Piliang (Peneliti Imparsial)

Turut berduka bagi seluruh korban dan keluarga yang terdampak banjir besar di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Tragedi Sumatera bukan sekadar bencana hidro-meteorologis, tetapi juga sebuah peringatan keras tentang rapuhnya sistem perlindungan negara terhadap warganya. Berdasarkan laporan yang dihimpun dalam beberapa media massa (20/12), sebanyak 1.090 orang dilaporkan meninggal dunia, sementara ratusan lainnya masih dinyatakan hilang. Jumlah ini menjadikan banjir di Sumatera sebagai salah satu bencana paling mematikan dalam dua dekade terakhir.

Ribuan rumah hancur, ratusan ribu warga mengungsi, rusaknya pelbagai fasilitas umum, dan korban jiwa yang hampir mencapai angka seribu orang bukan sekadar statistik, melainkan sebagai luka kolektif bangsa yang menuntut pertanggungjawaban oleh negara.Di tengah duka yang belum mereda, muncul pertanyaan kritis, bahwa sejauh mana negara telah menjalankan kewajibannya dalam melindungi hak-hak warga? Bencana ini menuntut kita untuk melihat persoalan bukan hanya pada dampaknya, tetapi pada serangkaian kelalaian kebijakan yang ikut membentuk skala tragedi.

Berita Lainnya

Berburu Wajib Pajak: Beban Rakyat di Tengah Krisis Anggaran

Generasi Muslim, Pelopor Perubahan dan Tantangan di Era Digital

23 Desember 2025
Berburu Wajib Pajak: Beban Rakyat di Tengah Krisis Anggaran

Generasi Muslim, Pelopor Perubahan dan Tantangan di Era Digital

23 Desember 2025

Lebih jauh, kerusakan lingkungan akibat alih fungsi hutan, pembiaran praktik ekstraktif, lemahnya penegakan hukum tata ruang, serta minimnya sistem peringatan mitigasi bencana menunjukkan bahwa risiko telah diketahui, namun tidak ditangani secara serius. Ketika kebijakan pembangunan lebih mengutamakan kepentingan ekonomi jangka pendek dan mengabaikan daya dukung lingkungan, maka bencana seperti banjir besar di Sumatera tidak lagi dapat dipandang sebagai peristiwa alam semata, melainkan sebagai hasil dari pilihan-pilihan politik dan kebijakan yang menempatkan keselamatan warga negara bukan sebagai prioritas utama.

Genosida Ekologi

Dalam membaca tragedi banjir besar di Sumatera, penting untuk mengingat perihal konsepsi dari genosida ekologis (ecological genocide). Konsep ekosida muncul pada abad ke-21, beriringan dengan tumbuhnya kesadaran untuk menjaga lingkungan, dan kekhawatiran terhadap praktik genosida ekologi yang semakin masif terjadi. Ekosida lahir ketika kerusakan lingkungan yang sistematis dan terstruktur, baik melalui kebijakan negara maupun pembiaran atas aktivitas destruktif, yang kemudian menghasilkan kehancuran ekosistem yang mengancam keberlangsungan hidup suatu kelompok masyarakat.

Dalam tragedi Sumatera, aktivitas penggundulan hutan, perubahan drastis pada tutupan lahan, serta pemberian konsesi besar-besaran yang mengabaikan daya dukung lingkungan, menunjukkan pola kebijakan yang berlangsung dalam waktu panjang. Ketika negara mengizinkan, atau gagal menghentikan praktik-praktik yang merusak ruang hidup rakyat, maka negara ikut membentuk kondisi yang menyebabkan bencana berskala masif seperti banjir Sumatera. Dalam perspektif genosida ekologis, kerusakan tersebut bukan sekadar degradasi lingkungan, melainkan bentuk kekerasan struktural yang secara perlahan menghancurkan ruang hidup masyarakat.

Dengan demikian, memahami tragedi ini melalui kerangka genosida ekologis dapat membantu kita untuk menggarisbawahi satu hal penting; bahwa bencana Sumatera bukan datang begitu saja, melainkan lahir dari relasi kekuasaan, pilihan kebijakan yang salah arah, dan pembiaran negara yang telah lama menggerus keselamatan warga. Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), ini memperkuat argumentasi bahwa negara bukan sekadar gagal, tetapi telah turut andil dalam membentuk kondisi yang menyebabkan hilangnya nyawa dalam jumlah besar.

Pelanggaran HAM

Tragedi banjir besar di Sumatera tidak bisa hanya dibaca sebagai rangkaian peristiwa alam. Ketika 969 warga meninggal dan ratusan lainnya hilang, maka skala dampak ini menuntut analisis yang lebih mendalam, yaitu apakah negara telah menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi hak hidup setiap warga negara?Terdapat tiga indikator kuat yang menunjukkan adanya potensi pelanggaran HAM dalam penanganan bencana ini, yakni kelalaian arah kebijakan ekologis, absennya status bencana nasional, dan lambannya respons negara.

Sejatinya hak atas lingkungan hidup yang baik adalah bagian dari HAM, dan dijamin oleh UUD NRI 1945 Pasal 28H dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam konteks ini, negara tidak hanya wajib merespons bencana, tetapi juga mencegah terjadinya kondisi yang membahayakan masyarakatnya. Ketika negara membuka izin eksploitasi lingkungan, namun tidak membuka mekanisme perlindungan, maka negara sedang membiarkan kerusakan ekologis terjadi. Apabila kerusakan lingkungan ini kemudian menghasilkan bencana yang mematikan, maka negara tidak bisa menghindar dari tanggung jawab HAM.

Dalam perspektif kekerasan struktural, pembiaran terhadap genosida ekologis adalah bentuk kekerasan tidak langsung yang dampaknya jatuh kepada warga paling rentan. Negara mungkin tidak memicu banjir secara langsung, tetapi kebijakan yang abai pada keberlanjutan telah menghasilkan kondisi yang mematikan. Pada titik inilah, bencana Sumatera masuk dalam kerangka pelanggaran HAM karena kelalaian, yakni ketika negara gagal mencegah sesuatu yang secara rasional seharusnya dapat diprediksi.

Terlebih lagi dengan tidak ditetapkannya status bencana nasional, negara harus bergerak dalam kapasitas terbatas. Padahal ketika nyawa warga dipertaruhkan, semestinya negara wajib menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Adanya kesengajaan dengan tidak ditetapkannya status bencana nasional pada tragedi banjir Sumatera, dapat dipahami sebagai bentuk pengabaian terhadap hak atas perlindungan. Selain itu, negara juga melanggar prinsip-prinsip penanggulangan bencana yang telah diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Dalam hukum HAM internasional, kegagalan kebijakan yang mengarah pada kematian atau penderitaan warga negaranya, dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak hidup yang bersifat struktural. Negara bukan hanya dilarang melakukan pembunuhan secara langsung, tetapi juga wajib mencegah kematian yang dapat diprediksi dan dicegah. Ketika pemerintah memiliki data risiko bencana, laporan cuaca ekstrem, informasi kerentanan infrastruktur, serta meningkatnya angka korban di wilayah terdampak, tetapi tetap tidak menaikkan status bencana nasional, maka terdapat bukti kuat bahwa negara mengabaikan kewajiban pencegahan.

Setiap menit dalam situasi darurat adalah nyawa. Waktu menjadi penentu antara hidup dan mati, dan karena itu negara dituntut untuk bergerak cepat dan terukur. Ketika negara lamban bertindak, kelambanan itu bukan sekadar kekurangan teknis dalam birokrasi atau masalah koordinasi antar-instansi. Namun kelambanan tersebut merupakan bagian dari kegagalan fundamental negara dalam menghormati, melindungi, serta memenuhi hak atas hidup serta hak atas rasa aman warga negaranya. Dalam konteks ini, lambannya respon pemerintah bukan hanya kegagalan administratif semata, tetapi dapat dikualifikasikan sebagaikerugian yang disebabkan oleh kebijakan itu sendiri.

Negara sudah lalai dalam upaya menjaga lingkungan, gagal memutuskan status kebencanaan yang tepat, dan lamban dalam merespons keadaan darurat. Maka dari itu, dalam perspektif HAM, tragedi di Sumatera tidak dapat lagi dipandang sebagai musibah, melainkan serangkaian kegagalan struktural yang memperbesar jumlah korban.Pada akhirnya, bencana harus menjadi alasan bagi negara untuk melakukan evaluasi menyeluruh, dan bukan sekadar menata puing-puing yang tersisa, tetapi menata ulang cara negara dalam menghargai kehidupan.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper