
Dalam beberapa tahun terakhir, program penguatan kewirausahaan mahasiswa menjadi salah satu agenda penting kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia. Melalui skema Wirausaha Merdeka yang berada di bawah payung Kampus Merdeka, pemerintah mendorong perguruan tinggi untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa agar belajar berwirausaha secara langsung di luar kelas. Program ini digadang-gadang sebagai solusi atas tingginya angka pengangguran terdidik sekaligus upaya mencetak generasi muda yang mandiri, kreatif, dan adaptif terhadap dinamika pasar kerja.
Berbagai perguruan tinggi di Indonesia berlomba menjadi pelaksana program tersebut. Tidak sedikit yang menggelar pembukaan secara meriah, mengusung tema inovasi, kreativitas digital, dan semangat kewirausahaan generasi muda. Dari sudut pandang kebijakan, langkah ini tampak progresif. Mahasiswa tidak lagi diposisikan semata sebagai pencari kerja, tetapi juga sebagai pencipta lapangan kerja. Namun, di balik narasi optimistis itu, muncul pertanyaan mendasar yang patut direnungkan bersama: apakah arah ini benar-benar memerdekakan kampus, atau justru menyempitkan makna pendidikan tinggi itu sendiri?
Secara konseptual, Wirausaha Merdeka dirancang untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa mengasah jiwa kewirausahaan, meningkatkan pengalaman praktik usaha, serta memperkuat daya saing lulusan. Program ini dilaksanakan melalui kolaborasi antara kementerian dan perguruan tinggi, dengan pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan pengalaman langsung. Tujuannya jelas: lulusan perguruan tinggi diharapkan tidak gagap menghadapi realitas ekonomi dan mampu bertahan di tengah ketatnya persaingan dunia kerja.
Namun persoalan muncul ketika fungsi kampus perlahan bergeser. Kurikulum yang semakin pragmatis berpotensi menjadikan perguruan tinggi sebatas “mesin produksi” tenaga kerja dan pelaku usaha yang patuh pada logika pasar. Mahasiswa diarahkan untuk berpikir dalam kerangka efisiensi, profit, dan keberlanjutan usaha, tetapi sering kali kurang diajak untuk mengkritisi struktur sosial, ketimpangan ekonomi, serta problem kemanusiaan yang nyata di sekeliling mereka. Dalam konteks ini, kampus berisiko kehilangan ruhnya sebagai ruang intelektual yang kritis dan transformatif.
Peningkatan jumlah lulusan perguruan tinggi, baik sarjana, magister, maupun doktor, selama ini memang belum sepenuhnya berbanding lurus dengan penyelesaian persoalan masyarakat. Kemiskinan, ketimpangan akses kesehatan, krisis lingkungan, degradasi moral, hingga gangguan kesehatan mental terus menjadi persoalan serius. Ironisnya, di tengah kondisi tersebut, kampus yang sejatinya dihuni oleh kaum intelektual justru kerap terjebak dalam euforia program, akreditasi, dan serapan pasar kerja, sementara kepekaan sosial semakin menipis.
Program kewirausahaan di kampus, jika tidak diletakkan dalam kerangka yang utuh, berpotensi menjadikan mahasiswa sekadar roda kecil dalam mekanisme produksi ekonomi. Cara berpikir pun diarahkan mengikuti arus kapitalisme: berapa keuntungan yang diperoleh, seberapa cepat usaha tumbuh, dan seberapa besar nilai pasar yang bisa diraih. Orientasi material menjadi dominan, sementara dimensi etik, sosial, dan kemanusiaan sering kali terpinggirkan. Di titik inilah paradoks itu terasa nyata.
Padahal, fungsi kampus jauh melampaui sekadar mencetak pekerja atau pengusaha. Perguruan tinggi memiliki mandat historis dan moral untuk melahirkan sumber daya manusia unggul yang mampu membaca realitas, menawarkan solusi, dan berpihak pada kepentingan publik. Tri Dharma Perguruan Tinggi, pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, menjadi fondasi yang tidak boleh tereduksi oleh satu kepentingan pragmatis semata.
Pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi seharusnya membentuk lulusan yang tidak hanya terampil, tetapi juga matang secara intelektual dan moral. Mereka diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, mengamalkannya untuk kemaslahatan masyarakat, serta berkontribusi dalam menyelesaikan problem sosial secara berkelanjutan. Jika kewirausahaan ditempatkan sebagai satu-satunya orientasi utama, maka pertanyaan besar pun muncul: di mana posisi kampus sebagai penjaga nurani dan penggerak perubahan sosial?
Dalam perspektif Islam, pendidikan tinggi tidak diarahkan semata-mata untuk menyiapkan individu yang sukses secara ekonomi. Pendidikan justru bertujuan melahirkan insan berilmu yang siap mengabdi kepada masyarakat, menjalankan amanah keilmuan, dan menghadirkan kemaslahatan sesuai dengan nilai-nilai Ilahi. Intelektual dalam tradisi Islam bukan hanya piawai dalam keterampilan praktis, tetapi juga memiliki kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah) yang menyatu antara ilmu, iman, dan amal.
Sejarah mencatat, kejayaan pendidikan Islam melahirkan ilmuwan dan pemikir besar yang kontribusinya melampaui zamannya. Mereka tidak hanya unggul dalam sains dan teknologi, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual dan tanggung jawab sosial. Al-Jazari dengan temuan mekaniknya, Al-Khawarizmi dalam matematika dan aljabar, Al-Idrisi dalam kartografi, Ibnu Khaldun dalam ilmu sosial dan sejarah, hingga Ibnu Rusyd dalam kedokteran dan filsafat, semuanya lahir dari sistem pendidikan yang memandang ilmu sebagai jalan pengabdian, bukan semata alat ekonomi.
Pelajaran penting dari sejarah tersebut adalah bahwa pendidikan bermutu hanya dapat tumbuh dalam sistem yang utuh. Kewirausahaan bisa menjadi bagian dari proses pendidikan, tetapi tidak boleh berdiri sendiri dan mendominasi arah kampus. Ia harus ditempatkan sebagai sarana, bukan tujuan akhir. Tanpa kerangka nilai yang kuat, program sebaik apa pun berpotensi menjauhkan kampus dari hakikatnya.
Maka, refleksi atas program Wirausaha Merdeka menjadi penting. Bukan untuk menolak secara mentah, tetapi untuk menempatkannya secara proporsional. Kampus perlu kembali menegaskan jati dirinya sebagai ruang pembentukan manusia seutuhnya, manusia yang cerdas, beretika, peka terhadap penderitaan sosial, dan siap mengabdi. Jika tidak, pendidikan tinggi berisiko kehilangan makna pembebasannya dan terjebak dalam paradoks yang terus berulang. Wallahu a‘lam.

