Mata Banua Online
Jumat, Desember 19, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Mahabbah: Mencintai Tanpa Kehilangan Arah

by Mata Banua
17 Desember 2025
in Opini
0
G:\2025\Desember 2025\18 Desember 2025\8\8\Nanang Qosim.jpg
Nanang Qosim, S.Pd.I.,M.Pd (Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang, Peneliti dan Penulis Buku)

“Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga”. Begitulah lirik lagu Rhoma Irama yang masih populer sampai sekarang. Jika saya tafsirkan, hidup tanpa cinta ibarat tanah yang lama tak tersentuh hujan. Kering, retak, dan kehilangan daya tumbuh. Cinta memberi makna pada kehidupan, menghidupkan jiwa, dan menggerakkan manusia untuk bertahan, berjuang, serta berharap. Tanpa cinta, manusia mungkin masih bernapas, tetapi sejatinya telah kehilangan denyut kemanusiaannya. Ia hidup secara biologis, namun mati secara ruhani.

Semakin dalam kualitas cinta yang dimiliki seseorang, maka semakin kuat pula energi hidup yang terpancar darinya. Cinta membentuk cara pandang, memengaruhi keputusan, bahkan menentukan arah hidup. Namun pertanyaan mendasarnya bukan sekadar “seberapa besar cinta itu”, melainkan “kepada siapa dan kepada apa cinta tersebut ditambatkan”.

Berita Lainnya

G:\2025\Desember 2025\19 Desember 2025\8\Opini Jumat\Fikril Musthofa.jpg

Kampus, Wirausaha, dan Amanah Pendidikan dalam Perspektif Islam

18 Desember 2025
G:\2025\Desember 2025\19 Desember 2025\8\Opini Jumat\Irmanita Wiradona.jpg

Kesehatan Gigi dan Mulut sebagai Tanggung Jawab Bersama

18 Desember 2025

Secara fitrah, manusia diciptakan dengan kemampuan dan kecenderungan untuk mencintai. Ia mencintai pasangan hidupnya, anak-anaknya, keluarganya, harta yang diusahakan dengan susah payah, serta posisi dan jabatan yang diperjuangkan. Semua itu adalah bagian dari realitas kehidupan dunia yang tidak bisa dihindari. Bahkan, dalam batas tertentu, mencintai semua itu adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi.

Namun, persoalan mendasarnya muncul ketika manusia mulai menggantungkan makna hidupnya sepenuhnya pada hal-hal yang bersifat sementara (fana’). Apa yang kita cintai hari ini, belum tentu bertahan esok hari. Apa yang kita banggakan sekarang, bisa saja menjadi sumber luka di kemudian hari. Pada titik inilah manusia perlu jujur bertanya pada dirinya sendiri, apakah yang kita cintai itu benar-benar menjaga kita, atau justru suatu saat akan meninggalkan dan melukai kita?

Sejarah kehidupan manusia menunjukkan dua kemungkinan yang tak terelakkan. Kita bisa saja lebih dahulu meninggalkan apa yang kita cintai, karena usia, keadaan, atau pilihan hidup. Atau sebaliknya, apa yang kita cintai itu yang lebih dulu pergi meninggalkan kita. Al-Qur’an telah mengingatkan realitas ini dengan sangat tegas dalam QS. At-Taubah ayat 24, bahwa kecintaan berlebihan pada keluarga, harta, jabatan, dan kenyamanan hidup dapat menjadi penghalang jika melampaui cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam terjemah Kemenag diartikan “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”.

Ayat tersebut, bukanlah larangan untuk mencintai dunia, melainkan peringatan tentang skala prioritas cinta. Dalam Islam, cinta memiliki hirarki. Cinta yang tertinggi adalah cinta kepada Allah, sementara cinta kepada selain-Nya harus berada dalam koridor dan kendali cinta Ilahi. Inilah yang menjadi kunci manisnya iman, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi bahwa salah satu ciri orang beriman adalah mencintai seseorang karena Allah dan membenci kembali kepada kekufuran.

Al-Qur’an dalam QS. Al-Baqarah ayat 165 menggambarkan setidaknya tiga tipologi manusia dalam hal mencintai. Pertama, mereka yang menempatkan cinta kepada Allah sejajar dengan cinta kepada dunia. Kedua, mereka yang justru lebih mencintai dunia daripada Allah. Ketiga, mereka yang menjadikan cinta kepada Allah sebagai yang tertinggi, melampaui segala bentuk kecintaan lainnya. Golongan terakhir inilah yang disebut sebagai orang-orang beriman sejati.

Lalu bagaimana cara mengetahui di mana posisi kita berada? Jawabannya tidak terletak pada pengakuan lisan, melainkan pada sikap, cara pandang, langkah dan keputusan hidup. Cara kita memperlakukan harta, jabatan, pasangan, dan keluarga mencerminkan orientasi cinta kita. Karena itu, Islam tidak mengajarkan untuk meninggalkan dunia, tetapi mengajarkan bagaimana menempatkan dunia di tangan, bukan di hati.

Kisah Rabiah al-Adawiyah sering dijadikan contoh yang mendunia tentang mahabbah, cinta murni kepada Allah. Diman Rabiah memilih untuk tidak menikah bukan karena tidak ada yang menyukainya dan menginginkannya, tetapi karena kekhawatirannya bahwa cintanya akan terbagi. Pilihan Rabiah tersebut adalah pilihan spiritual yang lahir dari kesadaran sufistik yang mendalam. Namun, jalan hidup Rabiah bukan satu-satunya jalan menuju kedekatan dengan Tuhan.

Memiliki keluarga, harta, dan jabatan tidak otomatis menjauhkan seseorang dari Allah. Justru, semua itu bisa menjadi ujian keimanan. Al-Qur’an menyebut harta dan anak sebagai fitnah, bukan dalam makna negatif, tetapi sebagai ujian: apakah semua itu mendekatkan atau menjauhkan manusia dari Tuhan.

Cinta yang Sehat

Cinta yang sehat adalah cinta yang tertata. Mencintai pasangan sebagai teman halal dalam suka dan duka. Mencintai keluarga dengan membimbing mereka pada nilai-nilai kebaikan. Mencintai harta dengan cara mencarinya secara halal dan menunaikan hak sosialnya. Mencintai jabatan dengan menjadikannya alat pelayanan, bukan sarana keserakahan. Inilah mahabbah yang matang, cinta yang tidak liar, tetapi tunduk pada nilai ilahi.

Dalam konteks kehidupan modern atau juga di era post-truth, pelajaran ini menjadi semakin relevan. Kita hidup di era ketika cinta sering dipertontonkan, diperlihatkan atau dipamerkan, tetapi komitmen dan bahtera labuhan hati selalu diuji secara diam-diam. Rumah tangga yang tampak harmonis di ruang publik, tidak selalu sekuat itu di ruang privat. Hal tersebut bisa kita ambil iktibar yang baru-baru ini mengemuka di berbagai platform media, dan berbagai media cetak, dimana publik dikejutkan oleh kabar gugatan cerai Atalia Praratya terhadap Ridwan Kamil setelah 29 tahun membangun pernikahan. Sidang perdana dijadwalkan berlangsung pada 17 Desember 2025 di Pengadilan Agama Bandung. Pertanyaanya siapa yang tidak mengenal dua orang tersebut?

Atalia Praratya, sebagai pasangan yang sangat romantis dan serasi. Mereka sering berbagi momen kebersamaan di media sosial, menunjukkan dukungan satu sama lain dalam karier dan kehidupan pribadi. Bahkan Atalia juga pernah menyebut sang suami sebagai pribadi melankolis yang mengekspresikan cinta lewat cara-cara sederhana namun bermakna.

Berita diatas tentu bukan dalam rangka menghakimi dan menilai seseorang yang memantaskan atau membuat keputusanya yang dilatarbelakangi dengan pertimbangan yang matang, tetapi mengingatkan kita bahwa lamanya waktu bersama tidak selalu menjamin keteguhan ikatan, jika cinta tidak terus dirawat dan diruwat dalam kesadaran dan nilai. Pernikahan bukan sekadar romantisme awal yang selalu disenangi bagi siapapun yang melangsungkanya, tetapi perjalanan panjang yang menuntut kematangan cinta, keikhlasan, dan kemampuan menundukkan ego. Bahkan figur publik dengan pencitraan keluarga ideal pun tetap manusia, yang tak luput dari ujian cinta.

Dari peristiwa tersebut, kita belajar bahwa cinta manusiawi, betapapun indahnya, tetap rapuh jika tidak disandarkan pada cinta yang lebih tinggi. Mahabbah kepada Allah tidak menjamin hidup tanpa masalah, tetapi memberi kekuatan untuk menghadapi kenyataan tanpa kehilangan arah. Puasa, ibadah dengan benar dan istiqomah, serta pengendalian diri sejatinya adalah latihan spiritual agar manusia mampu mencintai dunia secukupnya, dan mencintai Tuhan sepenuhnya.

Pada akhirnya, cinta sejati bukanlah tentang siapa yang kita miliki, tetapi siapa yang mengendalikan hati kita. Jika cinta kepada Allah menjadi poros, maka kehilangan tidak akan menghancurkan, dan memiliki tidak akan membutakan. Inilah mahabbah yang membebaskan, cinta yang menenangkan, bukan mengikat; menguatkan, bukan melukai.

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper