Mata Banua Online
Rabu, Desember 17, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Menggalakkan Kesehatan Gigi dan Mulut Masyarakat Indonesia

by Mata Banua
16 Desember 2025
in Opini
0
G:\2025\Desember 2025\17 Desember 2025\8\8\Kharismana Umia Wulandari.jpg
Kharismana Umia Wulandari, S.Tr.Kes (Pegawai Poltekkes Kemenkes Semarang, Praktisi Kesehatan)

Kesehatan gigi dan mulut sering kali luput dari perhatian masyarakat, seakan hanya bagian kecil dari kesehatan manusia. Padahal, berbagai riset telah menunjukkan bahwa kondisi gigi dan rongga mulut adalah indikator penting dari kesehatan tubuh secara menyeluruh. Nyeri gigi yang tampak sepele bisa menghentikan produktivitas, mengganggu proses belajar anak, bahkan memicu penyakit lain yang jauh lebih serius. Tetapi realitas hari ini memperlihatkan tantangan yang belum berubah: sebagian besar masyarakat masih memperlakukan kesehatan gigi sebagai urusan terakhir, sesuatu yang hanya diingat ketika rasa sakit datang menghantam tanpa kompromi.

Data nasional terkini menggambarkan situasi yang memprihatinkan. Penyakit gusi masih dialami sekitar 60–80 persen warga, dan karies gigi menjangkiti 60–90 persen populasi. Angka ini seolah menjadi cermin perilaku kesehatan yang belum berubah dari generasi ke generasi. Ketika datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, sebagian besar masyarakat meminta pencabutan gigi karena sudah tidak tertahankan lagi. Kunjungan ke dokter gigi atau terapis gigi dan mulut untuk pencegahan hanya sekitar 5,5 persen, sebuah angka yang menandai betapa rendahnya kesadaran untuk merawat sebelum terlambat. Menyikat gigi dengan cara dan waktu yang benar pun masih belum menjadi budaya. Sekitar 61 persen masyarakat belum menyikat gigi dengan tepat, bahkan tidak sedikit yang masih melakukannya sebelum mandi, bukan setelah sarapan, sehingga efektivitasnya pun berkurang.

Berita Lainnya

G:\2025\Desember 2025\17 Desember 2025\8\8\M Patria.jpg

Senioritas dan Nepotisme Berlebihan Dalam Lingkungan Organisasi Mahasiswa

16 Desember 2025
G:\2025\Desember 2025\16 Desember 2025\8\8\Erwin Prastyo.jpg

Quo Vadis Tes Kemampuan Akademik (TKA)?

15 Desember 2025

Dalam kondisi ini, peran tenaga kesehatan gigi menjadi sangat krusial. Dokter gigi tak bisa bekerja sendirian. Terapis gigi dan mulut serta perawat gigi merupakan ujung tombak edukasi, terutama di Puskesmas, sekolah, dan komunitas. Mereka adalah tenaga kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat, yang setiap hari berhadapan dengan realitas bahwa perilaku sehat tidak bisa dibentuk hanya melalui imbauan. Butuh teladan, pendampingan, interaksi terus-menerus, dan suasana belajar yang menyenangkan. Ketiganya adalah garda terdepan dalam mengubah persepsi masyarakat bahwa menjaga kesehatan gigi bukan hal mewah, melainkan kebutuhan dasar.

Selama beberapa dekade, pemerintah telah berupaya memperkuat perilaku sehat melalui program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS). Sasaran utamanya adalah anak usia sekolah dasar yang berada pada masa penting pertumbuhan gigi. Pada rentang usia 6–12 tahun, gigi susu berganti dengan gigi tetap. Inilah masa emas yang menentukan kondisi gigi seseorang hingga dewasa. Jika pada periode ini gigi anak dirawat dengan baik, peluang mereka memiliki gigi kuat hingga usia lanjut akan meningkat signifikan.

Melalui UKGS, anak-anak dikenalkan pada kebiasaan menyikat gigi bersama, diperiksa secara berkala, dan diberikan edukasi yang dekat dengan keseharian mereka. Dokter gigi puskesmas, didukung terapis dan perawat gigi, melakukan pemeriksaan rutin, penambalan dini, hingga merujuk kasus tertentu ke fasilitas layanan yang lebih lengkap. Ketika program ini berjalan baik, dampaknya luar biasa: gigi tetap anak tidak perlu dicabut akibat karies, kasus gigi berlubang menurun drastis, dan masalah gusi dapat ditekan hingga separuhnya.

Upaya ini kemudian diperkuat dengan program Fit for School yang kini digencarkan Kementerian Kesehatan. Program ini memasukkan tiga kebiasaan sederhana namun berdampak besar: cuci tangan pakai sabun, menyikat gigi dengan pasta berfluoride, dan minum obat cacing dua kali setahun. Ketiganya dilakukan bersama-sama, rutin, dan di tempat yang sama: sekolah. Dampaknya telah terbukti dalam berbagai penelitian, yaitu mampu menurunkan kasus karies hingga 40–56 persen. Namun keberhasilan program tidak hanya bergantung pada kebijakan. Yang jauh lebih menentukan adalah kedisiplinan pelaksanaan di lapangan, keterlibatan guru, dan dukungan keluarga. Banyak sekolah masih menghadapi kendala sarana, sementara sebagian guru menganggap kesehatan gigi berada di luar tanggung jawab utama mereka. Padahal, budaya sehat hanya dapat tumbuh jika seluruh pihak merasa menjadi bagian dari proses.

Kita perlu mengakui bahwa masalah kesehatan gigi bukan hanya persoalan medis, tetapi persoalan sosial dan budaya. Di banyak keluarga, anak-anak tumbuh tanpa melihat orang tuanya rajin menyikat gigi malam hari. Ketika rasa sakit datang, mereka dibiarkan menahan hingga tidak kuat, barulah dibawa ke dokter. Pada akhirnya, pencabutan menjadi pilihan paling cepat dan murah. Siklus ini terus berulang dan diwariskan ke generasi berikutnya. Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang menganggap kunjungan ke dokter gigi sebagai hal menakutkan atau mahal. Padahal, merawat gigi secara rutin justru jauh lebih murah daripada menunggu hingga terjadi infeksi.

Inilah sebabnya tenaga kesehatan gigi perlu hadir tidak hanya sebagai pemberi layanan, tetapi juga sebagai pendidik masyarakat. Dokter gigi, terapis gigi dan mulut, serta perawat gigi harus terus mengedepankan prinsip pencegahan. Mereka perlu mendekat ke komunitas, hadir dalam kegiatan sekolah, keluarga, hingga lingkup kerja informal. Pelayanan kesehatan gigi tidak boleh hanya menunggu pasien datang; ia harus bergerak menjangkau warga, terutama kelompok rentan seperti anak sekolah, ibu hamil, dan masyarakat dengan akses terbatas. Dengan pola sentuh langsung kepada masyarakat, perubahan perilaku dapat terbentuk lebih cepat.

Pada akhirnya, menjaga kesehatan gigi bukan hanya tentang menghilangkan rasa sakit, tetapi tentang membangun kualitas hidup. Senyum yang sehat bukan sekadar simbol estetika; ia membawa kepercayaan diri, kenyamanan sosial, dan produktivitas. Ketika anak tidak terganggu nyeri gigi, mereka belajar dengan lebih baik. Ketika orang tua memiliki gigi kuat, mereka bekerja dengan lebih optimal. Ketika masyarakat memahami pentingnya gigi sebagai investasi jangka panjang, maka kesehatan bangsa pun meningkat.

Indonesia membutuhkan budaya baru, yakni budaya yang memandang kesehatan gigi sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Budaya yang tumbuh dari rumah, diperkuat di sekolah, dan dijaga oleh tenaga kesehatan. Budaya yang membuat kita tidak hanya rajin menyikat gigi, tetapi juga memahami mengapa hal itu penting. Dan jika dokter gigi, terapis gigi dan mulut, perawat gigi, guru, orang tua, pemerintah, serta media bergerak searah, maka membangun budaya sehat gigi-mulut bukanlah mimpi panjang.

Pada akhirnya, senyum bukan hanya soal bibir yang melengkung, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini merawat dirinya. Menjadikan senyum sehat sebagai budaya adalah langkah kecil yang membawa dampak besar, sebuah investasi masa depan yang berharga untuk Indonesia.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper