Mata Banua Online
Rabu, Desember 17, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Senioritas dan Nepotisme Berlebihan Dalam Lingkungan Organisasi Mahasiswa

by Mata Banua
16 Desember 2025
in Opini
0
G:\2025\Desember 2025\17 Desember 2025\8\8\M Patria.jpg
M. Patria Al – Mujahid (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Pemerintahan ULM dan Ketua Umum UKM TAEKWONDO ULM)

Ormawa atau organisasi mahasiswa adalah suatu instrumen penting dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, khususnya dalam membentuk karakter, kepemimpinan, dan budaya demokrasi mahasiswa. Melalui organisasi, mahasiswa tidak hanya dilatih untuk berpikir kritis, tetapi juga belajar mengenai pengambilan keputusan, tanggung jawab serta pengelolaan kepentingan bersama. John Dewey, tokoh filsafat pendidikan, menegaskan bahwa pendidikan sejatinya sebuah proses pembelajaran demokrasi melalui pengalaman. Dalam konteks ini, ormawa atau organisasi mahasiswa semestinya menjadi ruang praktik nilai – nilai demokrasi tersebut. Namun dalam kenyataannya, dinamika dalam organisasi masih kerap dihadapkan pada persoalan senioritas yang berlebihan dan praktik nepotisme yang menghambat terciptanya iklim organisasi yang sehat dan berkeadilan.

Fenomena senioritas dan nepotisme berlebihan di lingkungan organisai kampus muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari dominasi senior dalam forum pengambilan keputusan, pembatasan partisipasi bagi anggota biasa, hingga penunjukan pengurus atau kepanitiaan yang lebih didasarkan pada kedekatan personal daripada kapasitas dan kompetensi. Kondisi ini menunjukan bahwa organisasi kampus belum sepenuhnya berfungsi sebagai ruang pendidikan demokrasi, justru malah mereproduksi pola kekuasan yang tidak sejalan dengan nilai – nilai akademik.

Berita Lainnya

G:\2025\Desember 2025\17 Desember 2025\8\8\Kharismana Umia Wulandari.jpg

Menggalakkan Kesehatan Gigi dan Mulut Masyarakat Indonesia

16 Desember 2025
G:\2025\Desember 2025\16 Desember 2025\8\8\Erwin Prastyo.jpg

Quo Vadis Tes Kemampuan Akademik (TKA)?

15 Desember 2025

Mengapa Budaya Senioritas dan Nepotisme yang berlebihan masih bertahan?

Senioritas pada dasarnya dipahami sebagai bentuk penghargaan terhadap pengalaman dan proses kaderisasi. Dalam konteks ideal, peran senior sebagai pembimbing dan teladan bagi junior. Paulo Freire dalam pemikirannya tentang pendidikan kritis menekankan bahwa relasi pendidikan harus bersifat dialogis, bukan relasi dominasi. Ketika senioritas dipraktekan secara berlebihan, relasi dialogis tersebut berubah menjadi relasi kuasa yang menutup ruang kritik dan partisipasi.

Dalam banyak organisasi kampus, pendapat senior sering kali dianggap lebih benar hanya karena statusnya, bukan karena kualitas gagasannya. Junior ditempatkan sebagai pelaksana tanpa ruang kritik, dengan dalih menjaga tradisi dan stabilitas organisasi. Praktik ini pun diperkuat oleh nepotisme, yang dimana posisi strategis diberikan kepada individu tertentu berdasar relasi pertemanan, atau kedekatan emosional, bukan atas dasar kinerja. Robert Michels melalui teori iron law of oligarchy menjelaskan bahwa organisasi cenderung dikuasai oleh kelompok elite kecil jika tidak diawasi secara demokratis, sebuah kondisi yang relevan dengan dinamika organisasi kampus saat ini. Kondisi tersebut menggambarkan lemahnya sistem tata kelola organisasi yang transparan dan akuntabel.

Tanggung Jawab Organisasi Mahasiswa dalam Perspektif Pendidikan Tinggi

Dalam konteks pendidikan tinggi, organisasi kemahasiswaan merupakan bagian dari proses pembelajaran nonformal yang melekat pada fungsi perguruan tinggi. Undang – undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa pendidikan tinggi bertujuan dalam pengembangan potensi mahasiswa/mahasiswi agar menjadi manusia yang beriman, berilmu, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Tujuan tersebut dijalankan melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, organisasi kemahasiswaan berperan sebagai wahana pendukung Tri Dharma, khususnya dalam penguatan pendidikan karakter, kepemimpinan, serta pengabdian sosial mahasiswa, sehingga organisasi mahasiswa menjadi salah satu sarana dalam pencapaian tujuan pendidikan tinggi

Pakar pendidikan karakter menekankan bahwa pembentukan integritas dan kepemimpinan tidak cukup melalui pembelajaran teoritis di kelas, tetapi juga melalui praktik nyata dalam organisasi. Oleh karena itu organisasi mahasiswa memiliki tanggung jawab moral dan edukatif dalam menerapkan prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan sebagaimana tertuaang dalam statuta perguruan tinggi.

Ketika praktik senioritas dan nepotisme berlebihan dibiarkan, organisasi mahasiswa justru gagal menjalankan fungsi pendidikannya dan tidak sejalan dengan nilai – nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam perspektif Ilmu Pemerintahan, kondisi ini dapat dipahami sebagai bentuk maladministrasi internal, karena organisasi tidak dikelola sesuai prinsip tata kelola yang baik dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Dampak Terhadap Pembentukan Karakter Mahasiswa

Budaya organisasi yang sarat senioritas dan Nepotisme yang berlebihan berpengaruh terhadap pembentukan karakter mahasiswa/mahasiswi. Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar mereka tumbuh merdeka sebagai manusia. Namun, budaya organisasi yang represif justru menghambat kebebasan berpikir dan keberanian berpendapat mahasiswa.

Mahasiswa berpotensi menginternalisasi nilai – nilai kekuasaan yang tidak sehat, seperti pragmatisme, eksklutivitas, dan ketergantungan pada relasi personal. Hal ini bertentangan dengan nilai meritokrasi, integritasi, dan keadilan yang seharusnya ditanamkan dalam proses pendidikan tinggi.

Harapan Tata Kelola Organisasi Mahasiswa di Masa Depan

Perbaikan budaya organisasi kampus membutuhkan komitmen bersama. Senior perlu menempatkan diri sebagai mentor dan fasilitator pembelajaran, bukan sebagai pemegang kuasa yang dominan. Junior harus diberikan ruang yang setara untuk berpendapat, berproses, dan mengembangkan kapasitas diri.

Organisasi mahasiswa perlu memperkuat sistem kaderisasi dan rekrutmen yang transparan, berbasis kompetensi, serta terbuka terhadap evalusiasi. Alangkah baiknya pihak kampus melalui unit kemahasiswaan memiliki peran dalam pembinaan dan pengawasan agar organisasi mahasiwa tetap berjalan sesuai dengan nilai – nilai pendidikan tinggi dan demokrasi.

Penutup

Penulis berpandangan bahwa persoalan senioritas dan nepotisme di linggkungan organisasi mahasiswa bukan sekedar konflik internal mahasiswa, tetapi menjadi persoalan tata kelola organisasi yang berkaitan erat dengan fungsi pendidikan tinggi. Sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya bidang ilmu pemerintahan, penulis melihat bahwa ormawa seharusnya mencerminkan prinsip good governance, seperti keadilan, partisispasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Organisasi mahasiswa bukan hanya wadah aktivitas, namun juga ruang pembelajaran etika kepemimpinan dan demokrasi. Dengan membangun tata kelola organisasi yang sehat dan inklusif, kampus dapat mencetak lulusan yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki integritas dan kesadaran demokratis sebagai bekal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper