Mata Banua Online
Senin, Desember 8, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Drama Tumbler: Hiperrealitas di EraPost-Truth

by Mata Banua
4 Desember 2025
in Opini
0

Najamuddin Khairur Rijal (Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, mahasiswa S3 Ilmu Sosial Universitas Airlangga

Setiap kali ada kasus yang terlihat receh menjadi viral di linimasa media sosial, publik tampak tidak sedang mencari kebenaran melainkan sedang membangun kebenarannya sendiri. Unggahan tentangsebuah tumbler yang hilang dari cooler-bag yang tertinggal di kereta lalu berubah menjadi drama seorang petugas keamanan dipecatadalah contoh laboratorium kecil dari bagaimana masyarakat post-truthbekerja dalam kehidupan sehari-hari kita.

Berita Lainnya

D:\2025\Desember 2025\8 Desember 2025\8\8\Togi Leonardo Situmorang.jpg

Pos Bantuan Hukum Desa/Kelurahan “Jembatan” Aksesibilitas Bantuan Hukum

7 Desember 2025
D:\2025\Desember 2025\8 Desember 2025\8\8\Ruben Cornelius Siagian.jpg

Apakah Pancasila Masih Ada atau Hanya Menjadi Ornamen Kekuasaan?

7 Desember 2025

Perkaranya sebenarnya sederhana. Seseorang ketinggalan tasnya di kereta, ada petugas yang mengamankan, tapi ketika tas dikembalikan tumbler biru yang ada di dalamnya hilang. Pemilik tidak terima, petugas diminta bertanggung jawab. Tapi begitu masuk ke ruang digital, cerita ini berevolusi, di-like, dikomentari, dan di-share lalu menjadi viral. Narasi begitu cepat beredar, begitu mudah menyulut kemarahan publik, hingga si pengunggah cerita, yang juga pemilik tumbler, dihujat netizen karena dianggap melimpahkan kesalahan pada orang lain hingga petugas kereta, katanya, dipecat. Belakangan keduanya telah berdamai dan saling memaafkan.

Simulakra

Fakta-fakta yang sebenarnya belum tersaji utuh, tapi netizen buru-buru bereaksi. Publik mengutuk pemilik tumbler, simpati mengalir ke petugas, dan sebelum siapa pun sempat bertanya apa yang benar-benar terjadi, berbagainarasi liar semakin menggelinding.Situasi ini mengingatkan kita pada gagasan filsuf Jean Baudrillard tentang simulakra, yakni representasi yang tidak lagi merujuk pada realitas tetapi pada representasi lain, yang kemudian melahirkan generasi baru kenyataan.

Sederhananya, simulakra adalah dunia tiruan yang tidak lagi merujuk pada realitas. Simulakra bukan kebohongan, bukan pula fiksi, tetapi representasi yang berdiri sendiri, terlepas dari realitas yang seharusnya menjadi sumbernya. Ketika representasi ini beranak-pinak, saling mengisi dan saling menguatkan, kita masuk ke apa yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas, yakni sebuah kondisi ketika tanda, citra, dan narasi terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.Tetapi siapa yang peduli. Dalam ekosistem digital kita, kebenaran selalu datang terlambat. Narasi lahir dulu, emosi meledak dulu, lalu fakta mengejar tertinggal di belakang.

Dalam ruang digital, yang menentukan validitas sebuah kebenaran bukanlah kebenaran yang sesungguhnya, tapi apakah narasi itu terasa benar dan dibenarkan oleh netizen. Netizen tidak butuh mencari data, mereka mencari story coherence. Narasi tentang seorang petugas yang, katanya, dipecat karena sebuah tumbler nyatanya memuaskan sensitivitas moral publik.

Dalam hiperrealitas tumbler, petugas dipecat, bukan karena itu faktual, tetapi karena narasi itu hidup begitu kuat di pikiran kolektif publik. Ia adalah simulacrum, yaitu tiruan kenyataan yang lebih meyakinkan daripada kenyataan itu sendiri.

Ironisnya, klarifikasi formal dari perusahaan tidak mampu melawannya, karena klarifikasi tidak punya nilai dramaturgis yang sama. Realitas itu kalah atraktif.Zizi Papacharissi menyebut momen ini sebagai munculnyaaffective publics, publik yang dibentuk bukan oleh argumen, tetapi oleh afektif. Di tengah derasnya arus informasi, emosi memiliki daya kohesi yang jauh lebih kuat daripada logika. Emosi adalah bensin utama dalam mesin sirkulasi informasi.

Sementara itu, Leah Lievrouw di sisi lain melihat fenomena ini sebagai produk dari alternative and activist new media, yaitu media nonformal yang memproduksi kebenarannya sendiri, terkadang dengan tujuan mulia, namun lebih sering dengan logika algoritma sebagai kompasnya. Viralitas menjadi semacam otoritas epistemik baru.Jika sesuatu cukup sering muncul di beranda kita, maka ia bisa dianggap benar, atau setidaknya layak dipercaya sampai terbukti kenyataan yang sebaliknya.

Logika Post-Truth

Dalam kondisi semacam itu, kita harus mengakui bahwa publik sesungguhnya tidak sedang dibohongi, tetapi membangun kebohongan bersama-sama. Hiperrealitas digital tidak lahir dari satu akun, tetapi dari jejaring emosi publik yang bekerja seperti organisme hidup lewat apa yang kita sebut sebagai algoritma. Setiap komentar, setiap unggahan ulang, setiap ekspresi emosi di kolom komentar, semuanya menjadi bata yang menyusun dinding kenyataan baru. Tumbler itu akhirnya menjadi lebih besar dari dirinya sendiri.

Tumbler menjadi bukan lagi sekadar wadah minum, tapi berubah menjadi simbol ketidakadilan, simbol kekejaman korporasi, simbol kesengsaraan pekerja kecil, simbol keganasan media sosial, dan simbol-simbol yang sebenarnya tidak pernah ada dalam realitas awal, tetapi diciptakan melalui proses simbolik yang kolektif. Tumbler menjadi artefak hiperrealitas, sebuah benda kecil yang menanggung beban makna yang tidak pernah ia minta.

Episode ini sejatinya bukan soal siapa benar dan siapa salah. Tetapi betapa kita, sebagai masyarakat maya, tampaknya semakin nyaman hidup dalam dunia di mana kebenaran tidak harus benar, yang penting viral dulu. Kita hidup dalam ekosistem digital yang lebih menghargai kecepatan daripada ketepatan, emosi daripada verifikasi, viralitas daripada keadilan. Semuanya bekerja dalam logika yang sama, logika post-truth.

Karena itu, kita perlu mengakui bahwa saat ini literasi digital saja tidak cukup. Kita semua juga membutuhkan literasi emosi dalam dunia maya. Kemampuan menahan diri sebelum bereaksi, kemampuan menyadari bahwa perasaan kitatidak selalu merupakan kompas moral yang akurat. Kemampuan untuk menunda putusan, dan membiarkan fakta datang tanpa harus bersaing dengan ledakan reaksi publik.Sebab, di era post-truth, musuh kebenaran bukanlah hoaks, bukan bot, bukan pula propaganda. Tetapi musuh kebenaran adalah emosi kita sendiri yang begitu ingin segera merespons segala sesuatu sebelum kebenaran yang sebenarnya belum benar-benar, benar. Bagaimana menurut Anda?

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper