Mata Banua Online
Selasa, Desember 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Membangun Literasi, Teladan Bukan Paksaan!

by Mata Banua
2 Desember 2025
in Opini
0
D:\2025\Desember 2025\3 Desember 2025\8\opini Rabu\Erwin Prastyo.jpg
Erwin Prastyo (Guru SD N 1 Curugsewu Kabupaten Kendal Jawa Tengah & Fasilitator ProgramNumerasi Tanoto Foundation)

Program peningkatan literasi yang tengah didorong oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah—yang mewajibkan murid membaca buku dan menulis resensi—secara konsep merupakan langkah baik yang patut diapresiasi.Indonesia memang membutuhkan budaya membaca yang mengakar kuat untuk menghadapi tantangan abad ini. Namun kebijakan, betapapun idealnya, akan selalu berbenturan dengan kenyataan di lapangan. Pertanyaannya: apakah ekosistem pendidikan kita sudah siap?Dan apakah mewajibkan resensi otomatis menjadikan murid lebih literat?

Kondisi pendidikan kita masih jauh dari harapan. Kualitas guruyang memegang peran sentral dalam orkestrasi pembelajaran harus diakui secara umum masih rendah. Memang tidak semua guru, tetapi berbagai evaluasi pendidikan menunjukkan masalah mendasar terletak pada kompetensi pedagogik dan kemampuan literasiguru.Guru sebagai teladan sekaligus role model seharusnya menjadi pembaca yang aktif. Kebiasaan membaca di kalangan guru sendiri masih memprihatinkan. Ironis karena banyak guru yang tidak menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari laku keseharian, sehingga praktik literasi sering berhenti pada instruksi,bukan keteladanan.

Berita Lainnya

D:\2025\Desember 2025\3 Desember 2025\8\opini Rabu\nanang qosim.jpg

Belajar dari Bencana

2 Desember 2025
D:\2025\Desember 2025\3 Desember 2025\8\opini Rabu\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg

Mandat Rakyat yang Terhenti di Meja MK

2 Desember 2025

Keluarga, sebagai salah satu tripusat pendidikan, juga belum sepenuhnya siap menjadi penopang literasi. Orang tua memiliki beban pekerjaan dan tantangan zaman yang membuat budaya membaca sulit bertumbuh.Banyak rumah yang penuh gawai, tetapi ‘miskin’ buku. Padahal minat baca anak hampir selalu berbanding lurus dengan kebiasaan membaca di rumah.

Di sisi lain, pemerintah menggencarkan pemanfaatan kecerdasan artifisial atau artificialintelligence(AI), bahkan memasukkannya ke dalam kurikulum nasional. Tujuannya tentu untuk menyiapkan murid menghadapi masa depan digital. Tetapi ada kontradiksi yang tak bisa diabaikan: bagaimana memastikan murid benar-benar membaca dan menulis resensi, jika teknologi seperti AI justru mempermudah tugas dikerjakan bahkan meniadakan proses berpikir?Jangan sampai upaya meningkatkan literasi justru dirusak oleh penggunaan AI yang tidak bijak. Tugas selesai, tetapi pikiran tidak berkembang. Murid kehilangan orisinalitas, sementara guru kehilangan kemampuan mengenali proses belajar murid secara autentik.

Kondisiliterasi Indonesia memang masih memprihatinkan. Berbagai survei internasional, misalnya PISA 2022 yang menunjukkan kemampuan membaca murid Indonesia berada pada kelompok negara dengan skor rendah. Data dari sejumlah riset nasional pun mengonfirmasi bahwa budaya membaca belum menjadi kebiasaan. Ini menunjukkan bahwa persoalan literasi jauh lebih kompleks dari sekadar menyuruh membaca dan meresensi buku.

Lantas apa yang bisa diperbaiki?

Pertama, literasi harus dimulai dari guru. Tidak ada pendidikan literasi tanpa guru yang literat. Guru perlu menjadi pembaca aktif, memberi teladan, menceritakan buku yang dibaca, serta menciptakan lingkungan kelas yang kaya bacaan. Bukan sekadar memberi tugas, melainkan menumbuhkan rasa ingin tahu. Anak lebih percaya pada teladan dibanding ‘seribu instruksi’. Guru yang menjadi contoh tentulah lebih utama dari pada guru yang sekadar memberikan contoh.

Kedua, keluarga harus ikut menjadi pusat pertumbuhan literasi. Ada banyak program yang bisa dilakukan di rumah: membaca bersama 10 menit sebelum tidur, satu rak buku keluarga, “weekend tanpa gawai”, atau sesi bercerita di ruang keluarga. Kegiatan sederhana ini jauh lebih efektif daripada sekadar mewajibkan anak menyelesaikan resensi.

Ketiga, para pemimpin, dari lurah hingga menteri dan presiden & wakil presiden harus menjadi model budaya membaca. Kita tidak bisa berharap bangsa ini menjadi bangsa pembaca jika para pemimpinnya saja tidak menunjukkan kebiasaan literasi. Penelitian menunjukkan bahwa membaca buku memiliki dampak berbeda dengan mengonsumsi informasi lewat video. Lewat membaca akan memperkuat fokus, kemampuan analitis, dan daya tahan mental terhadap distraksi. Sementara itu, Tiktok dan Youtube mungkin memberi informasi cepat, tetapi tidak menggantikan kedalaman pemikiran yang dibangun lewat membaca buku.

Pada akhirnya, kita perlu bertanya: apakah benar jika murid sudah membaca dan menulis resensi, mereka otomatis menjadi literat? Jawabannya belum tentu. Literasi bukanlah produk instan, bukan hasil paksaan, dan bukan sekadar tumpukan tugas. Literasi adalah kebiasaan, habit, yang tumbuh melalui teladan, lingkungan, dan pengalaman yang menyenangkan. Jika strategi salah, maka literasi justru menjadi beban, bukan kebutuhan.

Indonesia membutuhkan budaya membaca, tetapi tidak dengan cara yang terburu-buru dan tidak terintegrasi. Literasi yang rendah tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan yang salah arah. Pemerintah perlu memastikan bahwa strategi literasi bertumpu pada tiga pilar: sekolah yang kuat dengan guru teladan, keluarga yang mendukung, dan masyarakat yang peduli. Tanpa sinergi tripusat pendidikan, literasi hanya akan menjadi slogan.

Jika kita ingin Indonesia benar-benar literat, maka tugas kita bukan hanya memerintahkan murid membaca, tetapi menciptakan ekosistem yang membuat membaca menjadi bagian alami dari kehidupan. Hanya dengan cara itu kita bisa membangun bangsa pembelajar yang sesungguhnya.Terakhir, saya sebagai guru sangat berharap guru-guru Indonesia bisa menjadi teladan bagi murid, bagi keluarga, dan bagi masyarakat sosialnya dalam hal membaca dan literasi. Semoga. []

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper