Mata Banua Online
Selasa, Desember 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Refleksi Demokrasi Kita: Menelusuri Kesenjangan antara Kotak Suara dan Kebebasan Sejati

by Mata Banua
1 Desember 2025
in Opini
0

Muhammad Gagah Dirgantara, S.IP., M.H.I.(Dosen S1 Ilmu Pemerintahan, Universitas Lambung Mangkurat)

Patut sekiranya kita menyempatkan diri sejenak. Ambil jarak, ambil napas panjang lalu amati dengan jujur bagaimana rupa sejati demokrasi kita hari ini.Setelah melalui episode yang panjang dan melelahkan yaitu ketika bangsa ini berhasil meloloskan diri dari bayang-bayang otoritarianisme pada tahun 1998 Indonesia kini berdiri di sebuah persimpangan yang sunyi, meskipun kita telah mencatat sejarah emas.Kita adalah sebuah republik yang teramat patuh pada ritual.Kotak suara selalu dibuka, pemilu bergulir rutin, dan pergantian kekuasaan berlangsung damai.

Berita Lainnya

Berburu Wajib Pajak: Beban Rakyat di Tengah Krisis Anggaran

Membaca Pidato Prabowo di Hari Guru 2025 Melalui Filsafat Pancasila dan Konstitusi

1 Desember 2025
D:\2025\1 Desember 2025\8\master opini.jpg

Gaza Dikepung dan Dibungkam Kembali, Tentara Islam Sangat Dinanti

30 November 2025

Sebuah capaian besar tentunya. Tak heran jika dunia luar lantas mengklaim kita sebagai ‘Kisah Sukses Transisi,’ karena kita berhasil menjauhi dua kutub distopia: aturan militeristik atau otokrasi pemilu belaka.Namun, di balik semua kemeriahan pesta politik yang terasa superfisial itu, ada sebuah kegelisahan fundamental yang terus menggelayuti. Pertanyaan tersebut sungguh menusuk:Apakah hak memilih semata, sudah cukup untuk mendefinisikan dan mengesahkan status kita sebagai warga negara yang benar-benar bebas secara substantif?

Sungguh, ada perasaan hampa yang kian hari kian membayangi diri.Sebuah jurang lebar terasa menganga antara hiruk pikuk ritual politik yang kita agungkan dengan esensi kebebasan sejati yang seharusnya kita rasakan.Inilah inti persoalan yang kini kita hadapi, dan yang kerap dirujuk oleh para intelektual sebagai ‘demokrasi iliberal.’ Sebuah paradoks yang menjaga cangkang luar sebuah republik bahwa kita punya hak memilih tetapi secara perlahan menggerogoti isinya: substansi kebebasan dan kepatuhan pada aturan main.Artinya, kita memang punya hak berharga untuk memberikan suara, namun hak kita untuk mengkritik, bersuara dengan lantang, atau bahkan berbeda pendapat justru kerap diancam, ditekan, atau dipersulit.

Ironisnya, para pemimpin yang terpilih secara sah oleh mandat rakyat justru tergoda menggunakan legitimasi elektoral itu sebagai benteng pertahanan untuk membungkam kritik, mengendalikan arus informasi, dan, lebih parahnya, menyesuaikan aturan demi kenyamanan lingkaran kekuasaan mereka.Kesenjangan sinis inilah yang membuat kita terasa asing di rumah demokrasi kita sendiri.Kita ini laksana tamu undangan yang diizinkan hadir di pesta, namun dilarang bicara jujur soal menu hidangan yang terasa tak sedap di lidah.

Jika kita melihat sedikit ke belakang, kita pernah melalui fase Demokrasi Liberal di era 50-an. Masa itu, meskipun kaya idealisme, harus kandas karena ketidakstabilan eksekutif yang akut; kabinet silih berganti jatuh bangun akibat friksi kepentingan antarpartai. Pelajaran historisnya jelas: stabilitas politik adalah prasyarat mutlak yang harus ditegakkan.Dan memang, demokrasi kita hari ini jauh lebih stabil.Tetapi, stabilitas pasca-Reformasi yang kita raih ini ironisnya, terasa seperti sebuah jebakan senyap.Ini adalah hasil dari konsensus diam-diam yang terbentuk di antara para elit kita.

Mereka, sebagai kelas politik, setuju untuk mempertahankan ritual pemilu agar citra kita tetap baik di mata dunia. Namun, di saat yang sama, mereka membiarkan atau bahkan merancang penyesuaian struktural yang menjadikan akuntabilitas publik sebagai barang langka. Strategi licik ini, yang disebut sebagai “inovasi otoritarian,” adalah manuver cerdik untuk mengkonsolidasikan kekuasaan tanpa perlu repot-repot membatalkan pemilu.Maka, wajar jika dunia luar, melalui Freedom House, menilai kita hanya sebagai negara “Partly Free”, “Flawed Democarcy” dengan skor 56/100, bukan ‘bebas seutuhnya.’ Itu adalah cerminan yang menyakitkan: fondasi kebebasan kita sedang dicabut secara perlahan di bawah payung stabilitas..

Faktor kunci di balik kerentanan struktural yang memilukan ini tak lain adalah kemampuan adaptasi dominasi kepentingan elit yang kita kenal dengan istilah oligarki terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Transisi politik kita yang terlalu ‘ramah’ terhadap unsur-unsur elit lama justru membuka pintu lebar bagi terjadinya elite capture; di mana roh demokrasi seolah ditangkap dan diatur oleh mereka yang sudah lama memegang tuas kendali kekuasaan. Oligarki, sebagai sebuah struktur yang amat kuat, kini menemukan cara paling efektif untuk mengokohkan cengkeramannya. Dan ironisnya, strategi ini selalu dimulai dari hulu, di tempat kedaulatan rakyat seharusnya bersemayam: melalui politik uang sebuah transaksi yang secara sistematis membeli hak suara rakyat.

Penyakit politik uang ini tak lagi menjadi isu yang ‘jauh’ di tingkat nasional semata.Kita harus mengakui, patogen ini sudah menjalar hingga ke kampung-kampung, merusak integritas elektoral dan akuntabilitas publik di tingkat akar rumput.Ambil contoh Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), yang seharusnya menjadi puncak pembuktian kedaulatan rakyat di wilayah terkecil. Di sana, yang menjadi penentu kemenangan bukanlah adu gagasan atau kualitas program kerja. Yang marak justru pembelian suara yang terang-terangan.Praktik memalukan ini melibatkan pemberian uang tunai, sembako, atau berbagai bantuan lainnya biasanya dilakukan secara masif menjelang hari pencoblosan.Fenomena yang sudah menjadi hal lumrah di banyak desa ini menunjukkan betapa politik uang bukan lagi aib, melainkan telah bertransformasi menjadi bagian dari budaya politik lokal yang mematikan.

Mengapa praktik memalukan ini begitu mudah terjadi dan sulit sekali diberantas?Jawabannya, harus kita akui, menyentuh inti dari kerentanan sosial bangsa kita.Pertama, ada kombinasi antara kondisi ekonomi yang amat rendah dan tingkat pendidikan politik yang tidak memadai di banyak komunitas.Bagi sebagian masyarakat, uang atau sembako yang disodorkan oleh calon terasa sangat krusial untuk menyambung hidup.Hal inilah yang membuat praktik tersebut menjadi sesuatu yang ditoleransi, bahkan diterima sebagai bentuk ‘terima kasih’ atas partisipasi menggunakan hak suara.Kedua, kita berhadapan dengan faktor keterikatan sosial yang begitu tinggi.Menolak pemberian dari calon yang notabene adalah tetangga atau kerabat dekat, seringkali berisiko memicu konflik atau permusuhan sosial yang tidak diinginkan.Sisi absurd dari praktik ini terletak pada kenyataan bahwa ia seolah-olah dilegitimasi oleh kebutuhan dasar masyarakat, bukan oleh kesadaran politik yang matang. Sebuah tragedi yang sangat-sangat terstruktur.

Konsekuensi dari semua ini terhadap kualitas demokrasi kita sungguh fatal dan tidak terhindarkan.Pemimpin yang terpilih melalui jalur komersial ini secara logis akan merasa lebih bertanggung jawab kepada modal yang menjamin kemenangannya, bukan lagi kepada idealisme pelayanan publik yang tulus.Jika seorang kepala desa menghabiskan modal besar untuk membeli suara, maka naluri alamiahnya akan bergeser dari fokus pembangunan desa yang jujur ke upaya pengembalian modal itu secepatnya. Akibatnya, alih-alih mendahulukan kepentingan masyarakat luas, perhatiannya beralih pada kelompok-kelompok pendukung dana atau proyek-proyek yang menguntungkan lingkaran elitnya.Ini adalah pukulan telak yang merusak integritas demokrasi dari akar rumputnya sendiri.Suara rakyat di Pilkades menjadi tawar, hanya dihargai sesaat di hari pemilihan, dan akuntabilitas sejati terhapus selama bertahun-tahun masa jabatan.Tragisnya, kita kehilangan hak kita untuk menuntut, karena kita sudah “menjualnya” di bilik suara desa.

Jika kita bergeser ke isu kebebasan sipil, di sinilah gejala iliberalisme terasa paling dingin menusuk.Dampaknya nyata menyentuh kehidupan sehari-hari, terutama bagi masyarakat yang memilih untuk hidup berbeda atau bersikap kritis.Pluralisme bukan lagi hanya isu teoretis; ia mewujud dalam tekanan sosial yang mencekik di tingkat lokal. Kita melihat betapa isu kebebasan beragama seringkali menjadi polemik yang menyakitkan. Meskipun kita memiliki aturan bersama yang jelas mengenai pendirian rumah ibadah seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, aturan di tingkat pusat ini kerap tak berdaya menghadapi tekanan sosial di tingkat komunitas.Ironisnya, kasus penolakan atau penutupan paksa rumah ibadah seperti polemik pendirian gereja di wilayah Barat atau masjid di wilayah Timur adalah bukti nyata bahwa aturan bersama gagal berfungsi melindungi hak minoritas di daerah.Bahkan, FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di beberapa tempat justru dinilai menghambat pembangunan rumah ibadah minoritas.

Fenomena ini diperparah oleh keberadaan hukum yang kaku, seperti Undang-Undang Penodaan Agama 1965, yang bersamaan dengan mobilisasi berbasis sentimen keagamaan, menciptakan tekanan nyata yang mencekik kelompok minoritas. Aturan kaku ini secara implisit menuntut warga negara untuk mengidentifikasi diri hanya sebagai bagian dari enam agama yang diakui sebuah batasan yang jelas-jelas melanggar kebebasan keyakinan.Yang paling mengkhawatirkan adalah sikap aparat penegak hukum.Mereka seringkali terkesan membiarkan, atau bahkan terlibat dalam aksi-aksi kekerasan maupun pembatasan terhadap minoritas.

Ini adalah gambaran pahit illiberalisme: negara hadir dengan aturan, tetapi gagal hadir dengan perlindungan. Rasa aman untuk beribadah dan menjadi diri sendiri, yang merupakan hak mendasar dalam demokrasi liberal, tiba-tiba menjadi barang mewah.Kerentanan ini diperburuk oleh kebijakan desentralisasi, yang memberikan otonomi kepada daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) berbasis sentimen keagamaan, yang pada akhirnya memperkuat karakter illiberal di tingkat lokal.

Ancaman lain muncul di ruang seni dan berekspresi, yang merupakan barometer vital bagi kesehatan kebebasan sipil kita. Pelarangan acara musik terbuka (misalnya kasus di Pandeglang) dengan dalih mengganggu ketertiban, atau pembubaran pameran seni di kampus (seperti kasus mural di IAIN Ambon) karena dianggap terlalu vulgar atau mengkritisi isu sensitif, adalah contoh nyata kegagalan ini.

Gejala ini menunjukkan kurangnya pemahaman yang akut dari aparat penegak hukum, pemerintah daerah, bahkan masyarakat umum, terhadap hakikat kebebasan berkesenian.Kondisi ini menciptakan iklim ketakutan yang mencekik. Ironisnya, di lingkungan kampus pun institusi pendidikan itu sendiri pernah menjadi pihak yang melarang seni secara sepihak, membubarkan pameran, dan mengambil paksa karya.Hal ini menempatkan seniman, pekerja seni, atau promotor acara pada posisi yang sangat rentan, di mana mereka justru dicap sebagai pelaku pelanggaran.Padahal, seni adalah katup pengaman kritik dalam masyarakat demokratis. Ketika katup itu ditutup rapat, tekanan sosial hanya akan menumpuk dan mencari jalan keluar yang lebih destruktif.Lalu, coba kita geser pandangan ke ruang digital, yang mulanya kita harapkan jadi medan kebebasan baru. Siapa coba yang tidak was-was ketika jari ini gatal ingin melayangkan kritik tajam soal layanan publik yang buruk, entah itu jalan rusak, pelayanan kantor kelurahan yang lambat, atau kebijakan lokal yang dirasa merugikan?

Kita semua tahu, di luar sana ada hukum yang elastisnya kebangetan undang-undang difamasi yang siap menjerat warga sipil hanya karena mengkritik pejabat daerah melalui media sosial. Kasus-kasus di daerah menunjukkan betapa mudahnya warga negara dijerat pidana hanya gara-gara mengkritik jalan rusak atau lurah yang lambat.Situasi ini menciptakan ketakutan yang meluas di masyarakat, membuat banyak orang memilih mundur dari diskusi kritis.Meskipun sudah ada revisi undang-undang, implementasinya di lapangan seringkali masih multitafsir, tergantung pada interpretasi aparat penegak hukum.Dampaknya? Bukan sekadar ancaman penjara, tapi juga psikologis: diskusi publik yang sehat terbatasi hanya karena kita terlalu khawatir disanksi, dan ini merusak ekosistem demokrasi kita di ruang maya.Inilah cerminan paling pahit dari iliberalisme: ketika suara kritik rakyat, yang seharusnya dibalas dengan perbaikan pelayanan, justru dibalas dengan gugatan dan tindakan hukum..

Semua fenomena ini, dari Pilkades yang dikomersialkan hingga ketakutan berekspresi di media sosial, saling terhubung.Mereka adalah manifestasi dari kegagalan sistem elektoral kita untuk menghasilkan akuntabilitas substantif.Demokrasi kita telah menciptakan elit yang kuat secara elektoral tetapi lemah secara moral dan etis. Ketika kepentingan sempit berkuasa, mereka secara alami akan mencoba untuk mengecilkan ruang kompetisi politik dan memobilisasi politik identitas untuk memecah belah perhatian publik .Ini adalah lingkaran setan yang harus kita putus.

Meskipun gambaran ini menunjukkan adanya tantangan yang terasa begitu dekat dengan kehidupan kita, kita tidak boleh kehilangan harapan.Indonesia masih memiliki sumber daya elektoral yang kuat, yang sejauh ini berhasil menghindarkan negara dari kejatuhan total.Masyarakat sipil adalah salah satu benteng pertahanan yang vital.Jumlah organisasi non-pemerintah (NGO) meningkat pesat pasca-Reformasi.Namun, kita juga harus jujur mengakui kelemahan internal mereka banyak yang terdaftar, namun kekurangan sumber daya dan profesionalisme. Oleh karena itu, konsolidasi demokrasi di masa depan menuntut adanya peningkatan kualifikasi profesional NGO, diiringi dengan upaya yang lebih luas untuk menumbuhkan pendidikan politik dan literasi media di kalangan publik. Inilah kunci untuk membangun otonomi politik masyarakatyaitu kesadaran bahwa kedaulatan tidak boleh dijual di bilik suara desa, dan kritik adalah bagian dari kedaulatan itu sendiri.

Selain itu, kita perlu memikirkan solusi kelembagaan yang lebih kreatif yang melampaui pemilihan umum lima tahunan. Jika masalahnya adalah kegagalan keterwakilan, maka kita harus mencari jalan untuk menyuntikkan suara sektor non-teritorial ke dalam proses pengambilan keputusan strategis. Salah satu usulan yang layak dipertimbangkan adalah menghidupkan kembali Utusan Golongan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).Tujuannya bukan untuk kembali ke masa lalu, tetapi untuk menciptakan keterwakilan fungsional yang lebih utuh.Sebagai contoh, ketika ada pembahasan kebijakan yang menyangkut nasib buruh, unsur Utusan Golongan dari serikat buruh dapat secara langsung terlibat. Langkah ini akan membantu memastikan bahwa kebijakan vital tidak hanya diputuskan oleh elit yang sibuk dengan perebutan kekuasaan elektoral, tetapi juga melibatkan suara profesional dan fungsional yang selama ini sering terabaikan. Ini adalah upaya untuk menjamin bahwa demokrasi kita berfungsi secara substansial, bukan hanya secara prosedural.

Pada akhirnya, perjuangan untuk demokrasi yang substantif adalah panggilan yang tak pernah usai.Ini adalah perjuangan yang harus melampaui hari pencoblosan.Kita perlu secara tegas mempertahankan prinsip-prinsip yang menolak kebebasan berpendapat yang dibungkam, hak asasi manusia yang dilanggar, dan hukum yang dipermainkan.Melawan illiberalisme berarti memastikan bahwa Pancasila benar-benar menjadi dasar konsolidasi demokrasi yang inklusif.Kita tidak boleh berpuas diri hanya karena kita rutin memilih.Kita harus menuntut kualitas keterwakilan, transparansi, dan akuntabilitas sejati, mulai dari Pilkades hingga ke panggung nasional. Jika tidak, kita akan selamanya terjebak dalam kondisi “flawed democracy”, di mana rakyat memiliki hak memilih, tetapi kerangka kebebasan sipil terus-menerus menghadapi erosi. Kita harus memilih untuk menjadi warga negara yang aktif, bukan sekadar penonton yang pasif.Demokrasi kita, pada akhirnya, adalah cerminan dari kesadaran kolektif kita sendiri.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper