
Pemilihan umum (pemilu) merupakan pilar utama dari sistem politik demokrasi. Ia menjadi mekanisme utama di mana rakyat menyalurkan aspirasi mereka dan menentukan arah kekuasaan negara. Pemilu 2024 di Indonesia bukan hanya ritual politik setiap lima tahun, melainkan refleksi nyata dari bagaimana sistem politik indonesia bekerja, serta sejauh mana sistem politik indonesia mampu berfungsi secara sehat di era disrupsi digital dan polarisasi sosial ini.
Fenomena seperti politik identitas, penyebaran disinformasi, dan lemahnya netralitas birokrasi menunjukan bahwa demokrasi indonesia belum sepenuhnya matang.
Dengan “mengulik kembali” momentum politik pada pemilu 2024 silam, kita akan menilai bagaimana sistem politik bekerja, baik dari sisi kelembagaan, aktor, dinamika sosial yang meliputi, legitimasinya, hingga implikasi terhadap sistem politik Indonesia.
Konteks danHasil Pemilu 2024
Pemilu Serentak 2024 dilaksanakan pada 14 Februari 2024 dengan agenda pemilihan presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dengan 96.214.691 suara atau 58,6%, mengalahkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (24,9%) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (16,5%)(KPU.go.id, Hasil Pemilu 2024).
Tingkat partisipasi pemilih mencapai 82,4%, menunjukkan bahwa publik masih menaruh kepercayaan terhadap mekanisme elektoral nasional (KPU, Laporan Statistik Partisipasi Pemilu 2024). Namun, pelaksanaan pemilu tidak lepas dari dinamika. Badan Pengawas Pemilu mencatat lebih dari 700 laporan pelanggaran, termasuk dugaan politik uang, kampanye hitam, dan ketidaknetralan aparat (Bawaslu RI, Laporan Pengawasan Nasional Pemilu 2024).
Data tersebut menunjukkan bahwa secara prosedural, demokrasi Indonesia masih berjalan. Tetapi substansinya, yakni keadilan, transparansi, dan kesetaraan politik, masih perlu diperkuat.
Peran danInteraksi Aktor Politik
Dalam sistem politik Indonesia, berbagai aktor memainkan peran penting. Partai politik berfungsi sebagai penghubung antara rakyat dan negara melalui proses rekrutmen politik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, mekanisme internal partai masih didominasi oleh elite dengan kekuatan finansial dan jaringan patronase yang kuat. Akibatnya, demokrasi internal partai kerap lemah, dan proses pencalonan lebih bersifat top-down daripada aspiratif.
Di sisi lain, KPU berperan sebagai penyelenggara utama, sedangkan Bawaslu berfungsi mengawasi proses pemilu agar berjalan jujur dan adil. Namun, kedua lembaga ini tidak luput dari sorotan publik, mulai dari isu transparansi data rekapitulasi hingga dugaan tekanan politik.
Selain itu, media massa dan organisasi masyarakat sipil (OMS) menjadi bagian penting dari sistem politik sebagai pengawas eksternal. LSM seperti Perludem dan Netgrit berperan aktif dalam memantau pelanggaran serta mengedukasi publik. Sayangnya, akses informasi yang tidak merata dan keterbatasan literasi digital masyarakat membuat peran media dalam menjaga rasionalitas publik belum sepenuhnya optimal (Katadata Insight Center, 2024).
Terdapat pula ISU SENTRAL DALAM PEMILU 2024
1. Politik Identitas
Pemilu 2024 kembali diwarnai oleh penggunaan isu agama, etnis, dan kesukuan untuk menarik dukungan massa. tercatat 38% konten kampanye di media sosial menggunakan simbol keagamaan untuk membangun loyalitas politik.Polarisasi berbasis identitas ini berisiko tinggi karena memecah kohesi sosial dan menggeser demokrasi dari rasionalitas menuju emosionalitas politik. (ISEAS-Yusuf Ishak Institute, 2024)
2. Politik Uang dan Netralitas Aparatur
Bawaslu mencatat ratusan laporan pelanggaran yang terkait politik uang dan sikap tidak netral oleh aparatur sipil negara, khususnya ditingkat daerah (Bawaslu, Laporan Pengawasan 2024). Praktik seperti ini tidak hanya melanggar etika politik, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
3. Disinformasi dan Propaganda Digital
Fenomena paling menonjol di Pemilu 2024 adalah disinformasi digital. Penelitian UGM menemukan bahwa menjelang masa kampanye, terjadi peningkatan tajam penyebaran hoaks politik di platform seperti TikTok dan X, terutama terkait isu agama dan afiliasi kandidat (UGM Repository, 2024).
Penelitian lain oleh UPN Veteran Jakarta mengungkap bahwa narasi hoaks sering dikemas secara emosional untuk menarik simpati dan memperkuat bias kelompok (UPNVJ Researchplace, 2024).Kondisi ini memperlihatkan lemahnya fungsi komunikasi politik dalam sistem politik modern, ketika arus informasi lebih didominasi oleh emosi dan propaganda ketimbang rasionalitas dan dialog.
Peran media massa dalam sistem politik menjadi salah satu faktor yang berpengaruh cukup besar, Sehingga media sosial telah mengubah wajah politik Indonesia. Data terkait pemilu 2024, Platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) kini menjadi arena utama kampanye politik. Menurut laporan Reuters Institute (2024), lebih dari 65% pemilih muda Indonesia mengaku mendapatkan informasi politik dari media sosial, bukan dari media arus utama.Namun, ruang digital yang terbuka ini menciptakan fenomena “echo chamber” di mana pengguna hanya terpapar informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri. Akibatnya, komunikasi politik menjadi terfragmentasi, dan ruang publik kehilangan fungsi deliberatifnya.
KPU mencatat ada ribuan troll accounts dan bot politik yang secara sistematis memperkuat narasi tertentu untuk membentuk opini publik. (KPU, Laporan Sibernetika Pemilu 2024).
Hal ini memperlihatkan bahwa sistem politik kini tidak hanya berhadapan dengan elite konvensional, tetapi juga dengan kekuatan algoritmik yang membentuk persepsi politik masyarakat.
Dampak terhadap Legitimasi dan KepercayaanPublik
Secara kuantitatif, tingkat partisipasi tinggi. Namun secara kualitatif, legitimasi sistem politik menghadapi ujian berat. Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2024) menunjukkan bahwa hanya 56% responden percaya hasil pemilu benar-benar mencerminkan pilihan rakyat. Sebagian besar skeptisisme muncul akibat paparan disinformasi dan persepsi negatif terhadap elite politik.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori sistem politik David Easton: legitimasi merupakan “output” dari sistem politik yang bergantung pada “input” berupa kepercayaan dan tuntutan publik. Ketika input tersebut terganggu oleh disinformasi dan praktik tidak adil, maka output berupa kepercayaan terhadap hasil politik menjadi lemah dan kehilangan stabilitasnya (Easton, A Framework for Political Analysis, 1965).
Akibatnya, meskipun secara prosedural pemilu berjalan, sistem politik menghadapi erosi legitimasi. Hal ini menjadi tantangan serius bagi demokrasi yang sedang berusaha konsolidasi.
Kalau pemilu 2024 silam kita bedah berdasarkan teori Gabriel Almond, akan terlihat jelas sistem politik yang dapat dikatakan “demokrasi prosedural tanpa substansi”. Dengan bukti:
1. Sosialisasi politik berlangsung luas tapi belum mendalam karna literasi politik rendah.
2. Komunikasi politik terdistorsi oleh media sosial dan framing partisan.
3. Artikulasi dan agregasi kepentingan masih didominasi elite partai.
4. Rekrutmen politik belum berbasis kualitas, tetapi kedekatan dan popularitas.
Kita ulik kembali salah satu dinamika paling kontroversial dalam Pemilu 2024 sebagai bukti nyata dari artikulasi yang di dominasi oleh elite partai. Yakni, pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden meski belum memenuhi syarat usia minimal sebelum adanya perubahan aturan. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang secara tiba-tiba mengakomodasi pengecualian usia, proses pencalonan tersebut akhirnya dinyatakan sah secara prosedural. Namun, legalitas ini justru memperlihatkan paradoks demokrasi Indonesia “prosedur dapat diubah melalui mekanisme formal” sehingga substansi keadilan politik justru tergerus.
Perubahan aturan yang beririsan dengan konflik kepentingan internal lembaga hukum memperlihatkan bagaimana elite dapat memodifikasi prosedur demi kepentingan politik tertentu. Secara formal, demokrasi berjalan, tetapi secara substansial, prinsip fairness, etika politik, dan integritas institusi justru melemah. Kasus ini menunjukan bahwa Pemilu 2024 bukan sekadar kontestasi elektoral, melainkan cermin bagaimana sistem politik Indonesia masih rentan terhadap praktik “procedural manipulation” ketika legitimasi hukum digunakan untuk menutupi kegagalan menjaga nilai inti demokrasi.
Lalu langkah apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki dan memperkuat sistem politik di Indonesia ini?? Khususnya dalam konteks Pemilu 2024.
1. Perkuat pendidikan politik dan literasi digital agar pemilih mampu menilai informasi secara rasional.
2. Reformasi pendanaan partai politik untuk mencegah ketergantungan pada oligarki ekonomi.
3. Transparansi digital dan pengawasan siber harus menjadi prioritas bersama antara KPU, Bawaslu, dan platform media sosial.
4. Bangun ruang dialog antaridentitas agar masyarakat tidak terjebak dalam polarisasi politik.
Pemilu 2024 memperlihatkan wajah ganda demokrasi Indonesia “proseduralnya berjalan, tetapi substansinya masih goyah”.Sistem politik bekerja, mulai dari partai, lembaga, dan interaksi rakyat. Namun fungsi-fungsi politik belum sepenuhnya berjalan seimbang, kualitas komunikasi buruk, rekrutmen tidak berdasar pada kualitas, kepercayaan publik rapuh.
Sebagaimana teori Easton dan Almond menegaskan, stabilitas politik hanya lahir dari legitimasi yang kuat dan fungsi sistem yang efisien.
Tantangan kita adalah menjadikan pemilu bermakna, bukan hanya sekedar menggelar pemilu. Jangan sampai demokrasi berhenti dibilik suara, masyarakat harus terus mengawasi dan memperbaiki sistem.

