
Kerusakan jalan masih menjadi persoalan yang masih terjadi diProvinsi Kalimantan Selatan, berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kalsel, tercatat sekitar 50,24 kilometer jalan rusak yang terbagi dalam berbagai kondisi, seperti rusak berat sekitar 6,03 persen dari total ruas jalan provinsi dan 105,17 kilometer, dalam kondisi rusak ringan sekitar 12,63 persen. Meski pemerintah provinsi telah melakukan perbaikan bertahap, seperti program rehabilitasi dan pembangunan pada lebih dari sepuluh ruas jalan lintas kabupaten di tahun 2024, kondisi di lapangan masih menunjukkan banyak titik rawan kerusakan. Bahkan saat musim mudik 2025, sisampaikan baru sekitar 79 persen jalan provinsi yang dinyatakan layak dilalui, sedangkan 21 persen sisanya masih tergolong kurang ideal atau berpotensi membahayakan pengguna jalan.
Kondisi tersebut bukan sekadar angka statistik, laporan masyarakat dan menyampaikan kerusakan jalan, baik dalam bentuk marka jalan yang pudar, serta minimnya penerangan jalan umum (PJU), yang memiliki hubungan nyata dengan potensi kecelakaan lalu lintas. Data dari PUPR Kalsel menyebut hanya sekitar 17 sampai 20 persen jalan provinsi yang memiliki fasilitas keselamatan seperti penerangan dan marka memadai. Masyarakat Transportasi Indonesia mencatat kecelakaan lalu lintas sepanjang 2023 mencapai 116.000 kasus, meningkat 6,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Korlantas Polri menunjukkan jumlah kecelakaan tahun 2025 tercatat 70.749 kasus. Dan kecelakaan tersebut menyebabkan baik kerusakan kendaraan, luka-luka, hingga kematian bagi korban kecelakaan.
Mengapa Kecelakaan Masih Terjadi?
Penyebab kecelakaan di jalan raya tidak bisa kita simpulkan dengan satu faktor. Selain kondisi jalan yang rusak seperti lubang, permukaan bergelombang, serta minim penerangan jalan pada malam hari, namun faktor human error seperti kelalaian pengendara, kecepatan berlebih, serta pelanggaran rambu lalu lintas juga menjadi peran besar. Awal Januari 2025di Kabupaten Balangan, sejumlah ruas di Jalan Ahmad Yani mengalami kerusakan yang cukup parah hingga relawan setempat terpaksa memasang tanda jalan rusak secara mandiri agar menghindari kecelakaan. Kondisi yang serupa juga ditemukan di Kota Banjarmasin.
Banyak ruas jalan yang sudah rusak dibiarkan tanpa ada perbaikan yang cepat, sementara fasilitas keselamatan seperti marka jalan, rambu, dan penerangan umum masih cukup terbatas. Pemerintah sering berfokus kepada pembangunan baru, namun masih kurang dalam aspek pemeliharaan dan pengawasan secara berkala. Padahal, jalan dan jembatan yang tidak dirawat dengan baik akan menjadi sumber bahaya yang nyata bagi masyarakat yag setiap hari bergantung pada insfrastruktur tersebut dalam beraktivitas.
Tanggung Jawab Pemerintah pada Layanan Infrastruktur
Dalam konteks administrasi negara, penyelenggaraan jalan dan jembatan termasuk dalam kategori pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik). UU Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik sebagai “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.” Lebih lanjut Pasal 5 menjelskan bahwa pelayanan publik terdiri dari tiga jenis, yakni, pelayanan administratif, pelayanan barang publik, dan pelayanan jasa publik.Penyelenggaraan jalan dan jembatan termasuk dalam kategori pelayanan barang publik, karena bersifat strategis, digunakan bersama oleh masyarakat, serta diselenggarakan oleh pemerintah untuk kepentingan umum tanpa diskriminasi. Dengan demikian, jalan bukan hanya sarana transportasi, tetapi juga bentuk nyata dari kehadiran negara dalam menjamin hak warga untuk memperoleh akses publik yang aman, nyaman, dan selamat.
Secara hukum, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan masyarakat dalam berlalu lintas. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa penyelenggara jalan wajib segera memperbaiki jalan yang rusak apabila dapat menimbulkan kecelakaan. Pasal 25 ayat (1) huruf a juga mewajibkan pemerintah untuk menyediakan perlengkapan jalan seperti rambu, marka, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta penerangan jalan umum. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa kelalaian dalam menjaga kondisi jalan tidak hanya berdampak pada administrasi pemerintahan, tetapi juga menyangkut keselamatan publik.
Kewajiban tersebut diperkuat dalam berbagai regulasi lain yang saling berkaitan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Jalan menegaskan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan, pembangunan, serta pemeliharaan jalan agar aman digunakan masyarakat. Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah terkait pemeliharaan infrastruktur jalan dan jembatan. Di sisi lain, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2014 bersama Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 menegaskan pentingnya standar keselamatan seperti rambu, marka, dan penerangan jalan sebagai bagian dari sistem lalu lintas yang tertib dan aman. Dasar hukum tersebut, menjelaskan bahwa tanggung jawab atas keselamatan jalan bukan hanya bersifat moral, tetapi juga legal dan konstitusional. Ketika pemerintah lalai memperhatikan perawatan infrastruktur atau membiarkan jalan rusak tanpa tindak lanjut, tindakan itu dapat dikategorikan sebagai bentuk maladministrasi, karena mencerminkan kegagalan negara dalam memberikan pelayanan publik yang layak dan melindungi keselamatan warganya.
Harapan Infrastruktur Jalan di Masa Depan
Masyarakat memiliki peran penting dalam memastikan infrastruktur publik tetap aman. Ketika menemukan jalan rusak atau jembatan yang membahayakan, warga dapat melapor ke pemerintah daerah, Dinas PUPR, atau Ombudsman Republik Indonesia. Tindakan ini bukan hanya hak, tetapi juga wujud kepedulian warga terhadap keselamatan bersama.Namun, setelah perbaikan dilakukan, masyarakat juga perlu ikut menjaga fasilitas umum, tidak membuang sampah di drainase, dan melapor kembali bila terjadi kerusakan. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat akan menjamin infrastruktur yang tidak hanya megah, tetapi juga aman dan berumur panjang.
Penulis memandang bahwa persoalan tentang jalan rusak di Kalimantan Selatan bukan hanya berkaitan dengan aspek teknis pembangunan, namun juga menyangkut kedalam tata kelola pemerintahan yang efektif serta berorientasi pada pelayanan publik. Dalam perspektif Ilmu Pemerintahan, pembangunan insfrastruktur yang baik dapat mencerminkan prinsip good governance, yaitu harus adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, serta efektivitas kebijakan publik. Maka dari itu penulis berharap agar pemerintah daerah tidak hanya sekedar menunggu laporan kerusakan dari masyarakat, namun juga mampu melaksanakan pemantauan serta pengelolaan jalan yang berbasis data dan observasi ke warga yang berkelanjutan.
Keselamatan di jalan bukanlah hadiah, melainkan hak setiap warga negara. Negara memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menjamin bahwa setiap jalan dan jembatan aman dilalui. Ketika pemerintah hadir bukan hanya sebagai pembangun, tetapi juga sebagai penjaga, maka di sanalah makna kehadiran negara benar-benar dirasakan oleh rakyatnya.

