
Oleh: Sumiati, ST (Pemerhati Sosial dan Masyarakat)
Suara mesin yang tersendat di sebuah bengkel kecil di Jalan Malkon Temon, Banjarmasin, Kamis (30/10), mengungkap keluhan warga terkait dugaan kualitas bahan bakar Pertalite yang tercampur air. Sejumlah motor, termasuk milik Arga staf tata usaha di SMK Unggulan Husada mengalami mogok setelah sebelumnya mengisi Pertalite di SPBU Jalan Ahmad Yani. Setelah diperiksa, tangki motornya ditemukan mengandung air dan bahan bakar beraroma tidak biasa, lebih menyengat seperti bensin lama, sehingga menimbulkan dugaan adanya campuran air dalam bahan bakar yang dijual di SPBU tersebut. (banjarmasin.tribunnews.com, 30/11/2025)
Kasus dugaan Pertalite tercampur air yang mencuat di Banjarmasin dan beberapa daerah lain akhir-akhir ini kembali memantik kegelisahan publik terhadap kualitas bahan bakar bersubsidi. Beberapa pengendara mengeluhkan kendaraan mereka tiba-tiba brebet dan mogok setelah mengisi Pertalite di SPBU tertentu. Saat diperiksa di bengkel, ditemukan adanya kandungan air dalam tangki bahan bakar serta aroma bensin yang berbeda dari biasanya. Meski pihak Pertamina telah melakukan pengecekan dan menyatakan hasil uji laboratorium tidak menunjukkan adanya kontaminasi air, kenyataan di lapangan menunjukkan keresahan masyarakat yang nyata.
Kasus ini mungkin tampak sederhana sekadar masalah teknis distribusi bahan bakar. Namun jika ditelaah lebih dalam, fenomena motor brebet ini sesungguhnya menggambarkan persoalan struktural dalam tata kelola pelayanan publik di bawah sistem sekuler-kapitalis yang diterapkan saat ini. Dalam sistem tersebut, negara memposisikan diri bukan sebagai pelayan dan pengurus rakyat, melainkan sebagai pengelola pasar yang menyeimbangkan antara subsidi, anggaran fiskal, dan keuntungan korporasi negara atau swasta.
Logika ekonomi yang digunakan dalam sistem sekuler kapitalis memandang energi dan sumber daya alam sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai kebutuhan publik yang bersifat vital. Akibatnya, kebijakan energi nasional sering kali bergantung pada mekanisme pasar global dan tekanan fiskal. Ketika harga minyak dunia naik, pemerintah menekan subsidi; ketika anggaran menipis, kualitas pelayanan pun dapat terabaikan. Dalam logika seperti ini, rakyat diposisikan sebagai konsumen, bukan pihak yang wajib dilayani dengan tanggung jawab.
Fenomena rusaknya kendaraan akibat kualitas bahan bakar yang menurun menjadi potret nyata dari rapuhnya sistem pengawasan dan lemahnya tanggung jawab negara. Negara hanya berperan administratif mengatur, mengawasi secara terbatas, dan menyerahkan operasional kepada badan usaha yang tetap berorientasi laba. Padahal, bahan bakar adalah kebutuhan dasar yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi rakyat kecil. Ketika tanggung jawab pelayanan diserahkan pada mekanisme pasar, yang muncul bukan efisiensi, melainkan ketidakpastian dan potensi penyimpangan.
Islam memandang persoalan ini dari sudut pandang yang sangat berbeda. Dalam sistem Islam, pengelolaan sumber daya alam dan pelayanan publik tidak tunduk pada logika pasar, tetapi diatur berdasarkan prinsip amanah dan kemaslahatan umat. Negara dalam sistem Islam yang disebut Khilafah berfungsi sebagai pengurus dan pelayan umat (ra’in), bukan sekadar regulator. Sumber daya alam strategis seperti minyak dan gas termasuk kategori milkiyyah ‘ammah (milik umum), sehingga haram dikuasai individu atau korporasi yang mencari keuntungan pribadi. Negara wajib mengelolanya secara langsung dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat dalam bentuk layanan publik yang murah atau bahkan gratis.
Dengan paradigma ini, negara memiliki kewajiban untuk memastikan kualitas, ketersediaan, dan distribusi bahan bakar secara merata dan adil. Pengawasan mutu menjadi tanggung jawab langsung pemerintah, bukan diserahkan kepada pihak ketiga. Setiap kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi rakyat harus segera diselesaikan secara cepat dan adil. Keuntungan dari pengelolaan energi bukan untuk memperkaya elite politik atau korporasi, tetapi untuk memperkuat layanan dasar seperti transportasi publik, pendidikan, dan kesehatan.
Sistem Islam juga menolak ketergantungan pada impor bahan baku dan teknologi yang menjadikan kedaulatan energi rapuh. Negara harus memastikan kemandirian produksi, distribusi, dan teknologi agar kebutuhan energi tidak tergantung pada pasar global. Dengan demikian, tidak akan muncul kasus seperti “motor brebet karena Pertalite tercampur air”, sebab negara memiliki mekanisme pengawasan, distribusi, dan akuntabilitas yang menyeluruh.
Dalam kerangka sistem Islam, pengelolaan energi merupakan bagian dari ibadah dan tanggung jawab negara di hadapan Allah SWT. Prinsip amanah dan mas’uliyyah (pertanggungjawaban) menjadi dasar bagi setiap kebijakan publik. Pemerintah bukan hanya dituntut profesional secara teknis, tetapi juga bermoral secara spiritual. Maka, setiap kegagalan dalam pelayanan publik bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan pelanggaran terhadap amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Kasus Pertalite yang mencuat saat ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua bahwa persoalan pelayanan publik tidak bisa diselesaikan dengan tambal sulam kebijakan. Perlu perubahan paradigma yang mendasar: dari sistem sekuler yang menjadikan rakyat sebagai konsumen, menuju sistem Islam yang menjadikan rakyat sebagai pihak yang harus dilayani dengan penuh tanggung jawab.
Dengan sistem Islam, pelayanan publik akan berdiri di atas prinsip keadilan, amanah, dan kemaslahatan. Negara akan benar-benar hadir sebagai pelayan rakyat, bukan pedagang. Dalam sistem seperti ini, kepercayaan publik bukan dibangun dengan pencitraan, melainkan dengan kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab sejati terhadap kesejahteraan umat. Wallahu’alam bishawwab

