
A. Pendahuluan
Viralnya reportase negatif tentang pesantren oleh media nasional baru-baru ini, menimbulkan gejolak persepsi publik yang beragam. komentar-komentar kritis yang tidak berdasar dalam pemahaman mendalam mengenai landasan filosofis dari tradisi pesantren sering kali muncul atas reaksi berita tersebut. pada akhirnya komentar-komentar tersebut hanya bersifat celaan dan hinaan tanpa mempelajari dari dalam sebuah makna pendidikan pondok pesantren yang sudah ada dan mengakar dalam tradisi masyarakat tradisional muslim di negeri ini.
Setiap tradisi memiliki modal nalar dan bentuk argumentasinya sendiri-cara khas untuk membayangkan apa itu kebaikan, keadilan, dan kewajiban. namun tradisi bukanlah sesuatu yang beku. ia terus menafsirkan dirinya sendiri, tumbuh melalui perdebatan, perjumpaan, dan bahkan pertentangan tradisi lain. kritik dan evaluasi tentu perlu. tapi menilai, perlu untuk ada standar penilaian. dan standar itu tidak pernah netral-ia selalu lahir dari suatu tradisi berpikir dan hidup.
Seperti yang telah lama terjadi di pesantren-dimana hukum, kebijakan, bahkan pandangan negara sekalipun selalu diperdebatkan, diuji, dan disaring oleh nalar dan prosedur keilmuan yang tumbuh disana, sampai muncul kesepakatan, penerimaan, atau penolakan. Tradisi pesantren telah berkali-kali menunjukkan kemampuannya menjawab tantangan zaman, bukan tunduk pada tekanan luar, tetapi karena ia memiliki kekuatan menafsirkan dan menimbang dari dalam. karena itu, yang dibutuhkan bukan tekanan, cemooh, atau ejekan, tetapi keterbukaan untuk mempelajari yang liyan dan dialog sejajar-yang menghormati kemampuan tiap tradisi untuk menilai dan memperbarui dirinya sendiri.
salah satu tradisi yang menjadi perbincangan dalam pendidikan pesantren adalah relasi “Kiai dan Santri”. apakah relasi Kiai dan santri hanya sebatas pendidikan pedagogis semata? atau didalamnya memiliki perbedaan dengam pendidikan modern pada umumnya?. tentu dalam memahami kerumitan tradisi tersebut penulis akan membahasnya dalam bahasan kali ini.
Memahami Strukturalisme Transendental
Gagasan tentang strukturalisme trasendental pertama kali dikenalkan dalam kajian pemikiran Islam oleh Kuntowijoyo, sejatinya ia jadikan sebagai basis epistemologi dalam membacaproblematika tradisi Islam ke depan. Pendekatan ini dapat dibagi menjadi duaaspek pengkajian. Pertama adalah strukturalisme, Pengertian strukturalisme tidak lain adalahmerujuk pada arti tentang suatu bangunan ataupun susunan suatu bangunan.Artinya bahwa konsep strukturalisme sendiri adalah sebuah sistematika dalamdimensi abstrak, seperti misalnya struktur bangunan sosial dan lain sebagainya.
Sedangkan term transendental sendiri, berarti sesuatu yang teramat penting, hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia biasa untuk memahaminya. Aspek transendental sendiri adalah sebuah kajian dalam aspek
ketuhanan yang memiliki dasar tentang dimensi yang mengarah ke langit atau khususnya pada masalah-masalah hukum dan ketetapan tuhan.
Gagasan strukturalismetransendental Kuntowijoyo berangkat dari pemikiran bahwa Islam dengan nilai-nilaiyang terkandung dalam teks (Al-Qur’an dan al-Hadits) dimaknai secara general dan terstrukturkarenasesuai dengan konteks kemanusiaan, baik di jaman lampau, dan dapat diterapkan ke dalam konteks kehidupan saat ini dan di mana saja meski nilai-nilai tersebut telah melewati masa berabad-abad.3 pada dasarnya pendekatan ini menggabungkan pendekatan strukturalisme (menganalisis sistem hubungan antarbagian dalam suatu teks atau fenomena) dan transendental (berakar pada nilai-nilai spiritual atau ketuhanan).
Strukturalisme Transendental Hubungan Kiai dan Santri Dalam Pendidikan Pesantren
Pendidikan pesantren merupakan institusi pendidikan tradisional Islam yang telah lama menjadi pusat pembelajaran keagamaan di Indonesia. Salah satu dinamika utama dalam pesantren adalah interaksi antara kiai sebagai pemimpin dan guru spiritual dengan para santri sebagai peserta didik. Hubungan ini tidak sekadar bersifat hierarkis atau administratif, melainkan juga memuat dimensi struktural yang mendalam dan transendental sebagai pondasi pembentukan karakter dan ilmu keislaman.
Dalam pendekatan ini, Hubungan kiai dan santri dalam tradisi pesantren bukan sekadar relasi pedagogis antara pengajar dan peserta didik. Ia merupakan struktur sosial–keagamaan yang bekerja dengan pola makna laten yang berulang-ulang dalam sejarah Nusantara, sehingga bagi banyak kalangan sebenarnya lebih tepat dibaca dalam bingkai strukturalisme transendental: yaitu pemahaman bahwa struktur makna dalam relasi kiai–santri tidak dibentuk semata oleh konstruksi sosial empiris (struktur manusiawi), tetapi justru ditransendensikan oleh iman — oleh horizon nilai trans-empirik yang diyakini bersumber dari otoritas wahyu dan sanad ilmu.4
Di pesantren, proses pendidikan berlangsung melalui talqin, riyadhah, mujahadah, pembacaan kitab kuning, dan disiplin hidup kolektif. Semua itu berjalan melalui satu sistem struktur yang mapan:kiai sebagai pusat legitimasi kebenaran moral dan epistemik, sedangkan santri sebagai subjek pencarian adab, keberkahan (barakah), dan ilmu. Struktur ini tidak lahir semata melalui konstruksi sosial seperti dalam relasi dosen–mahasiswa di sistem modern. Ia muncul dari pemahaman bahwa ilmu agama bersifat nûrî (bersifat cahaya) — dan cahaya itu diterima dengan adab dan suluk, bukan semata memakai prosedur akademik.
Dengan demikian, posisi kiai bukan sekedar “pakar teks”, tetapi mediator transendensi. Ia adalah figur yang menjadi simpul penyeberangan makna antara wahyu,fikih, kitab, tradisi, dan realitas. Di sini strukturalisme transendental bekerja: struktur yang mendefinisikan hubungan ini adalah invisible dan karismatik — sebuah struktur yang tidak sepenuhnya rasional, tetapi tetap teratur dan terinternalisasi dalam tata hidup santri.
Sebaliknya, santri bukan objek pasif. Dalam perspektif strukturalis, santri adalah representan struktur penerima — yaitu peran sosial yang menginternalisasi keilmuan, adab, dan sistem otoritas lalu mereproduksikan struktur tersebut ke dalam masa depan. Ketika santri kelak menjadi kiai atau guru agama, ia sedang memproduksi ulang struktur transenden itu dalam medan sosial baru. Di sinilah pendidikan pesantren berbeda dari sistem modern: yang dilestarikan bukan semata pengetahuan, tetapi struktur sakral pengetahuan itu.
Hubungan Transendental Kiai dan Santri Juga pernah di kemukakan oleh Hadratussyaikh Hasyim ‘Asy’ary dalam kitab beliau yang berjudul “Adab al-Âlimwaal-Muta’allim”, beliau berpendapat bahwa relasi pendidikan antara Kiai dan Santri adalah adanya keterikatan secara intens dan erat tidak hanya dalam artian secara lahir, akan tetapi juga secara batin (alaqahbatiniyah) yang dilandasi religios-etich(akhlaq yang luhur) untuk keberhasilan proses belajar mengajar.
Kesimpulan
Relasi kiai–santri dalam pendidikan pesantren pada dasarnya tidak lahir dari proses pedagogik sekuler yang berdiri pada kerangka akademik modern, tetapi tumbuh dari struktur makna yang bersifat sakral dan diyakini bersumber dari wahyu, sanad, dan tradisi keilmuan Islam yang berkelanjutan. Melalui konsep strukturalisme transendental, dapat ditegaskan bahwa hubungan antara kiai dan santri bukan hanya relasi sosial-edukatif, melainkan mekanisme reproduksi struktur nilai transendental yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Kiai berfungsi sebagai pusat legitimasi epistemik dan moral — bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai mediator cahaya ilmu (nûral-‘ilm), sementara santri berperan sebagai subjek penerima sekaligus penjaga keberlanjutan struktur tersebut untuk masa mendatang. Karena itu, pendidikan pesantren tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi mewariskan habitus spiritual dan etos adab sebagai medium masuknya nilai transenden ke dalam kehidupan sosial.
Dengan demikian, pesantren bertahan bukan karena tradisinya statis, tetapi karena ia memiliki struktur suci yang terus direproduksi melalui hubungan kiai–santri yang bersifat transhistoris. Struktur itu mendahului individu, membentuk individu, kemudian diproduksi kembali oleh individu generasi berikutnya. Inilah alasan mengapa pesantren tetap relevan dari masa ke masa, meski perubahan zaman semakin cepat: karena ia berdiri pada struktur makna yang tidak hanya sosial — tetapi juga transendental.

