Oleh: Mahrita, S.Pd
Dalam sepekan terakhir, dua anak ditemukan meninggal diduga akibat bunuh diri di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Fenomena ini menjadi alarm serius bagi semua pihak, terutama orangtua, sekolah, dan masyarakat untuk lebih peka terhadap kondisi psikologis anak.
Peristiwa pertama terjadi di Kampung Cihaur, Desa Gunungsari, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Rabu (22/10/2025) sore. Warga digegerkan meninggalnya anak laki-laki berusia 10 tahun berinisial MAA. Dia siswa kelas V salah satu SD negeri di wilayah tersebut. (kompas.com)
Hal yang sama terjadi di daerah Sumatera. Dua siswa sekolah menengah pertama di Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, ditemukan bunuh diri di sekolah selama Oktober 2025 ini. Berdasarkan hasil penyelidikan sementara oleh kepolisian, tidak ada dugaan tindakan bullying dalam kedua kasus ini. Siswa korban Bagindo ditemukan tergantung di ruang kelas, Selasa (28/10/2025) siang, sedangkan Arif ditemukan tergantung di ruang OSIS, Senin (6/10/2025) malam. (kompas.com)
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono (30/10/2025), mengungkapkan data mengkhawatirkan dari program pemeriksaan kesehatan jiwa gratis yang menunjukkan lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami berbagai bentuk gangguan mental. Data ini diperoleh dari sekitar 20 juta jiwa yang sudah diperiksa. (republika.co.id)
Sayangnya kasus bunuh diri ini juga terdapat di Kalimantan Selatan beberapa bulan lalu. Remaja 16 tahun ini diketahui berinisial IQZ yang merupakan seorang siswi di salah satu SMA di Banjarbaru. Kapolres Banjarbaru, AKBP Pius X Febry Aceng Loda melalui Kasi Humas, Ipda Kardi Gunadi mengatakan jenazah IQZ ditemukan oleh ibunya di dapur rumahnya dalam kondisi tergantung.
Berdasarkan hasil pemeriksaan saksi dan bukti yang ditemukan, Ipda Kardi mengungkapkan, korban diketahui telah mengalami gangguan kesehatan mental selama dua tahun terakhir. (www.prokal.co)
Menanggapi kasus ini, dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, menyesalkan terjadinya kasus bunuh diri di lingkup pelajar. KPAI mendorong penerapan early warning system atau sistem deteksi dini bunuh diri yang efektif di sekolah dan komunitas. Sistem deteksi dini, antara lain dengan penguatan fungsi guru, khususnya Guru BK (Bimbingan Konseling), agar lebih proaktif memantau kondisi sosial emosional siswa. Selanjutnya pelatihan guru dan siswa sebaya dalam mengenali tanda-tanda depresi, stres, atau perilaku menarik diri. Kemudian koordinasi berlapis antara sekolah, puskesmas, dan dinas terkait. (republika.co.id)
Kebanyakan pendorong terbesar dari kasus-kasus bunuh diri ini adalah depresi, gangguan kejiwaan yang muncul akibat adanya tekanan. Ketidakmampuan seseorang menghadapi tekanan tersebut—berasal dari mana saja—membuat akalnya tidak mampu berpikir jernih. Mereka berani melakukan tindakan di luar nalar yang dianggap dapat mengurangi depresi, seperti melukai dirinya sendiri atau bahkan bunuh diri.
Anak-anak merupakan fase penting dalam pertumbuhan. Hal-hal yang ia konsumsi selama fase ini akan memengaruhi segala keputusannya. Oleh karenanya, peristiwa memilukan ini harusnya menjadi tamparan keras bagi semua pihak.
Di rumah, orang tua perlu menyadari bahayanya membiarkan anak kecanduan gawai. Ketika penggunaannya tidak terkontrol, anak tentu akan bebas menjelajahi segala informasi, apalagi saat ini banyak sekali gim tidak mendidik yang dapat memengaruhi pola pikir anak.
Selain gawai, lingkungan juga memiliki pengaruh besar. Semua pihak perlu mengetahui kondisi anak ketika bergaul di sekolah atau luar sekolah, siapa saja temannya, apa saja circle-nya, dan sebagainya. Sedangkan negara, seyogianya wajib mengusut detail penyebab maraknya bunuh diri pada anak. Semua ini dilakukan agar ada solusi tepat dan kejadian serupa tidak terulang.
Kejadian bunuh diri yang banyak, ternyata tidak hanya pada anak-anak. Beberapa waktu lalu, peristiwa yang sama juga menimpa kalangan mahasiswa. Ini menunjukkan ada sesuatu yang salah, bisa pada lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan negara.
Apabila kita mau merenung lebih dalam, semua ini akibat pola pikir dan hidup yang mengikuti Barat. Fungsi negara yang semestinya berperan sebagai tameng pertama pemikiran dan budaya Barat agar tidak masuk, ternyata tidak berjalan. Parahnya, negara malah menjadi pionir dalam menerapkan sistem kehidupan Barat (kapitalisme).
Negara juga menerapkan sistem demokrasi liberalisme yang mengafirmasi segala kebebasan, mulai dari kepemilikan, beragama, berpendapat, hingga bertingkah laku. Kebebasan inilah yang memengaruhi pola pikir dan sikap generasi saat ini.
Tidak sampai di situ, sistem pendidikan yang berlandaskan sekularisme juga ikut mewarnai pembentukan kepribadian generasi. Mereka menjadi generasi yang jauh dari agama. Akibatnya, mereka menilai bahwa kebahagiaan itu hanya bicara masalah kesenangan dunia, seperti gawai, uang, makan-makan, musik, percintaan, ingin serba instan, dan lain-lain.
Semua itu membuat mereka manja, terlena, menjadi generasi stroberi yang bagus di luar, tetapi lembek di dalam. Apabila keinginannya tidak terpenuhi, dunia sudah terasa runtuh. Pemikiran yang pendek inilah yang membuat mereka mencari jalan keluar yang salah, ujung-ujungnya memutuskan untuk bunuh diri.
Tampak bahwa sistem pendidikan sekuler telah gagal membentuk kepribadian generasi muda yang memiliki keimanan kuat, mental yang sehat, serta visi hidup yang jelas. Sistem pendidikan sekuler pada dasarnya memang tidak diformat menghasilkan output pendidikan yang memiliki karakter mulia. Dasar akidahnya saja menjauhkan seorang hamba dari aturan Allah. Bagaimana mungkin akan terbentuk generasi beriman dan berkepribadian Islam, sedangkan kurikulumnya tidak merujuk pada visi penciptaan manusia, yaitu sebagai hamba yang taat pada Tuhannya?
Sedangkan keluarga sendiri kehilangan fungsinya. Ayah dan ibu tidak mampu memberikan pemahaman yang benar kepada anaknya karena mereka sendiri juga sibuk bekerja. Masyarakat dengan berbagai masalahnya juga tidak menjalankan peran menjaga generasi, yakni dengan membiarkan kemaksiatan di sekelilingnya. Hasilnya, generasi terdidik dengan kondisi salah dan berakhir pada penyelesaian yang salah pula.
Islam sejatinya memberikan perhatian besar pada generasi. Pendidikan Islam terlahir dari sebuah paradigma Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan dikaitkan dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan setelahnya, serta kaitan antara kehidupan dunia dan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Paradigma pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam itu sendiri.
Pendidikan dalam Islam merupakan upaya sadar dan terstruktur serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifah Allah di muka bumi. Itulah tujuan pendidikan Islam. Asasnya akidah Islam. Asas ini menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan, dan interaksi di antara semua komponen penyelenggara pendidikan.
Negara yang mengambil Islam sebagai landasan akan mengutamakan pembentukan generasi yang berkepribadian Islam, yaitu memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Dengan begitu mereka akan menjadi pribadi yang kuat dan tidak gampang depresi.
Sistem pendidikan Islam diterapkan mulai dari tingkat dasar hingga tinggi. Sekolah dasar akan menanamkan akidah Islam dan segala pemahaman Islam lainnya yang dapat menjadikan mereka punya pola pikir dan pola sikap islami. Saat pendidikan tinggi, mereka baru bisa diajarkan tsaqafah asing agar tahu mana yang benar dan salah.
Pada masa Kekhilafahan Islam, banyak lahir generasi unggul. Tidak hanya unggul dalam ilmu saintek, mereka pun sukses menjadi ulama yang faqih fiddin. Keseimbangan ilmu ini terjadi karena Islam menjadi asas dan sistem yang mengatur dunia pendidikan. Dalam lintas sejarah peradaban Islam, pendidikan Islam mengalami kejayaan dan kegemilangan yang diakui dunia internasional. Lembaga pendidikan tumbuh subur dan majelis-majelis ilmu di selasar masjid yang membahas berbagai ilmu pengetahuan pun bertaburan.
Akidah Islam inilah yang akan menjaga kewarasan mental generasi. Mereka akan lebih berpikir realistis, dapat menempatkan mana yang berada di wilayah yang dikuasai manusia dan mana yang tidak. Mereka juga akan paham bahwa kebahagiaan tertinggi adalah meraih rida Allah, bukan sebatas kesenangan dunia. Jika Islam dapat diterapkan secara sempurna, tidak akan ada lagi generasi lembek bermental stroberi, apalagi mudah merasa depresi.

