Oleh : Zahra Kamila
Isu kemiskinan masih menjadi salah satu permasalahan pelik yang dialami Indonesia hari ini. Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik ( BPS ) , jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2025 adalah 23,85 juta orang, atau 8, 47% dari total populasi (CNBC Indonesia, 25-07-2025).
Adapun Provinsi termiskin di Indonesia adalah Papua Pegunungan, dengan persentase penduduk miskin sebesar 30,03% per Maret 2025. Sedangkan Provinsi-provinsi lain dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah Papua Tengah ( 28,90% ), Papua Barat ( 20,66%), dan Papua Selatan ( 19,71%).
Hidup miskin di negeri yang kaya bukan saja terjadi secara nasional. Kerap kemiskinan justru terjadi di daerah yang kekayaan alamnya sangat kaya.
Tentu saja ada yang keliru dari pengelolaan kekayaan alam kita, terutama yang dalam Islam masuk dalam sektor kepemilikan umum seperti emas, perak, timah, minyak, gas dan batubara. Kebijakan ekonomi Indonesia yang berbasis kapitalis memberikan sumbangan paling besar bagi kondisi di atas. Selama ini sektor kepemilikan umum lebih banyak diserahkan oleh Pemerintah kepada perusahaan multinasional/ asing. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang seharusnya kalau dikelola langsung oleh negara bisa digunakan untuk rakyat, disedot oleh perusahaan asing. Keuntungan pun sebagian besar untuk perusahaan asing.
Bayangkan, dalam kasus Freeport, mereka mengambil keuntungan di tahun 2025 di mana laba bersih diprediksi sebesar US$ 3,7 miliar atau sekitar Rp 60, 7 triliun (Bisnis.com, 14-03-2025).
Dengan potensi pendapatan di atas, jika semuanya dikelola oleh negara, problem defisit anggaran negara yang selama ini terus terjadi akan terselesaikan dengan tuntas. Pemerintah pun tidak perlu menaikkan BBM yang telah memiskinkan rakyat.
Upaya mengembalikan kekayaan kepemilikan umum kepada rakyat tentu saja sangat meresahkan negara-negara kapitalis. Wajar saja karena hal ini akan menghalangi perusahaan multinasional mereka untuk bisa mengekploitasi kekayaan alam yang berhubungan dengan minyak, gas, dan barang tambang lainnya. Padahal ekploitasi di sektor kepemilikan umum selama ini telah memberikan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan dan negara-negara Barat.
Last but not least, keberadaan penguasa yang tunduk kepada penjajah asing semakin mengokohkan penjajahan asing di Dunia ketiga. Penguasa ini lebih manut pada instruksi tuan penjajah daripada berfikir bagaimana menyejahterakan rakyat. Kesengsaraan rakyat dengan kebijakan pro liberal tidak begitu diperhitungkan. Yang penting, tuan penjajah senang. Bisa dimengerti, bagaimana pemerintah ngotot menaikkan BBM meskipun jelas-jelas disadari bahwa hal itu akan menyebabkan kemiskinan rakyat. Berbagai macam alasan bahkan sering dibangun untuk membenarkan kebijakan tersebut. Padahal pada faktanya kemiskinan rakyat semakin meningkat sebagaimana yang dilaporkan BPS. Sikap manut pada pihak asing, ditambah dengan ketakutan akan kehilangan kekuasaan, telah membuat penguasa ini memilih berkhianat kepada rakyat dan pro asing.
Terbukti pula, penguasaan asing terhadap kekayaan alam telah menjadi salah satu penyebab kemiskinan rakyat. Pendapatan dari kekayaan alam dari sektor manufaktur gas dan tambang, kalaulah dikelola dengan baik oleh negara, lebih dari cukup untuk menyejahterakan masyarakat. Semua ini akan mengikis alasan -alasan kekurangan dana yang menyebabkan subsidi terhadap rakyat dikurangi bahkan dihilangkan. Tidak ada lagi alasan bagi negara untuk menjual aset kekayaan negara demi menutupi kekurangan dana. Dana itu juga cukup untuk membuat negara menjadi mandiri, tanpa memerlukan bantuan asing/ aseng . Dan juga utang yang menyebabkan bangsa ini menjadi bangsa peminta-minta.
Walhasil, mengembalikan kepemilikan umum kepada rakyat tidak bisa di tunda lagi. Islam pun dengan tegas menggariskan kebijakan ini, bahwa kepemilikan umum ( milkiyah ‘ amah) adalah milik rakyat yang harus dikelola oleh negara secara baik untuk kesejahteraan rakyat.

