
JAKARTA – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti permasalahan dalam sistem peradilan hukum pidana selama satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Peneliti ICJR Iftitah Sari mengungkapkan berbagai macam masalah sektor penegakan hukum dimaksud, sebenarnya merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya.
“Saya mengamini bahwa isu soal masalah yang terjadi setahun pemerintahan Prabowo-Gibran ini sebetulnya kelanjutan dari presiden sebelumnya yakni presiden Jokowi yang tidak diselesaikan, dan kita lihat malah semakin lebih buruk dampak-dampaknya di tahun terakhir ini,” ujar Tita –sapaan akrabnya– dalam agenda diskusi di Kantor LSM Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen) di Matraman, Jakarta Timur, Minggu (19/10), seperti dikutip CNNIndonesia.com.
Tita mengatakan, kebijakan yang sudah dilakukan belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada, misalnya terkait dengan kelebihan kapasitas atau overcrowding di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Dia menambahkan, penegak hukum di kasus tertentu sering dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepentingan tertentu. Dalam hal ini Tita menyinggung banyak aktivis lingkungan dan juga aktivis demonstrasi pada Agustus lalu yang dilakukan penangkapan paksa dan penahanan.
“Mungkin teman-teman juga masih sangat ingat bagaimana Agustus kemarin kita dihadapkan dengan agenda besar, demonstrasi yang cukup besar, dan kemudian direspons oleh penegak hukum itu bahkan teman-teman kami masih banyak yang dilakukan penangkapan, masih ada yang menjadi tahanan politik kami menyebutnya,” ucap dia.
Menurut Tita, perubahan ketentuan hukum acara pidana yang saat ini masih dilakukan pembahasan juga banyak menyisakan masalah. Ruang kriminalisasi dan potensi kekerasan masih mungkin terjadi.
“Kita masih melihat Pasal-pasal bermasalah dalam KUHAP itu yang akan digunakan APH (aparat penegak hukum) untuk menjadikan ruang-ruang korupsi, menjadikan ruang transaksional, kita melihat juga masih akan ada peluang kekerasan, itu juga masih bisa dilakukan, khususnya dalam proses penangkapan dan penahanan,” ungkap dia.
ICJR tergabung ke dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Koalisi ini mempunyai draf tandingan RUU KUHAP lantaran draf RUU KUHAP yang tengah dibahas pemerintah dan DPR belum mengakomodasi 9 tuntutan krusial.
Sembilan materi dimaksud meliputi kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel serta mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersediaan forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat.
Kemudian pembaruan pengaturan standar pelaksanaan upaya paksa yang objektif dan berorientasi pada perlindungan HAM serta keberimbangan dalam proses peradilan pidana antara negara (penyidik-penuntut umum) dengan warga negara termasuk advokat yang mendampingi.
Lalu akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan yang diawasi (controlled delivery) serta sistem hukum pembuktian.
Selanjutnya batasan pengaturan tentang sidang elektronik, akuntabilitas dalam penyelesaian perkara di luar persidangan, serta penguatan hak-hak tersangka atau terdakwa, saksi, dan korban.
Terpisah, Peneliti Hukum CELIOS Muhammad Saleh mengungkapkan mayoritas publik merasa program pemerintah belum menghadirkan perubahan nyata.
Berdasarkan hasil survei, 45 persen responden menyebut kondisi ekonomi rumah tangganya stagnan, 27 persen merasa lebih buruk, dan hanya 28 persen yang merasa lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
Kinerja penegakan hukum juga mendapat sorotan tajam, dengan 75 persen responden menilai masih buruk, serta 91 persen menilai komunikasi kebijakan pemerintah tidak memadai.
Celios menemukan persepsi negatif yang makin kuat terhadap kepolisian dan TNI, yang masing-masing hanya mendapat nilai 2 dan 3 dari 10.
Sektor ekonomi juga belum menunjukkan perbaikan signifikan. Mayoritas masyarakat menilai program bantuan ekonomi tidak efektif dan kebijakan fiskal justru menambah beban.
Celios menemukan 84 persen responden merasa terbebani oleh pungutan dan pajak baru, sementara 53 persen menilai subsidi dan bantuan pemerintah belum mampu menekan biaya hidup.
Peneliti Celios Galau D Muhammad menilai rendahnya kepuasan publik bisa berdampak langsung pada stabilitas politik dan efektivitas program pemerintah.
“Kalau reshuffle tidak dilakukan, dua hal yang akan terancam adalah efektivitas kebijakan dan kepercayaan publik,” ujarnya.
Tanpa penyegaran kabinet, Celios memperkirakan penurunan kinerja akan terus berlanjut di tahun kedua pemerintahan. Banyak program strategis seperti MBG, transisi energi, dan digitalisasi pemerintahan dinilai belum berjalan optimal karena lemahnya koordinasi lintas kementerian. web

