Oleh : Ruben Cornelius Siagian (Peneliti dan penulis opini aktif)
Di Balik Pujian dan Pose Jempol
Pujian bertubi-tubi dari Donald Trump kepada Presiden Prabowo Subianto di sela KTT Perdamaian Gaza 2025 di Sharm el-Sheikh bukan sekadar basa-basi diplomatik. Ditambah lagi, pernyataan mengejutkan Benjamin Netanyahu yang menyebut “pidato Prabowo di PBB sebagai suara baru dari dunia Muslim moderat,” memberi sinyal bahwa dinamika hubungan antara Barat dan Indonesia tengah memasuki fase yang jauh lebih strategis.
Kita perlu bertanya bahwa apakah ini sekadar diplomasi pragmatis, atau bagian dari gerakan pengaruh Barat/NATO untuk menempatkan Prabowo dalam orbit kepentingan mereka, bahkan ketika Indonesia kini telah resmi menjadi anggota penuh BRICS (Blok Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan)?
Panggung Baru Prabowo di Dunia
Data terbuka menunjukkan bahwa sepanjang 2025, Prabowo memainkan peran aktif di dua poros besar geopolitik yaitu Barat dan BRICS.
Menurut laporan Sekretariat Kabinet RI, kehadiran Prabowo di KTT BRICS 2025 di Kazan menandai langkah resmi Indonesia sebagai anggota penuh blok tersebut, yang tentu ini adalah sebuah pencapaian yang mempertegas orientasi multipolar Indonesia.
Namun, hanya beberapa bulan kemudian, ia juga tampil menonjol di KTT Perdamaian Gaza yang dipimpin langsung oleh Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, yang tentunya dua tokoh ini mewakili spektrum politik dan kepentingan Barat yang khas. Dalam forum itu, “momen mikrofon menyala” ketika Prabowo meminta pertemuan pribadi dengan Eric Trump menjadi viral, memperlihatkan lapisan hubungan personal yang jarang terekam secara terbuka dalam hubungan antarpemimpin negara.
Sementara BRICS sendiri berkembang menjadi arsitektur ekonomi dan politik tandingan terhadap dominasi Barat. Laporan yang diterbitkan oleh Third World Quarterly menilai bahwa BRICS bukan lagi sekadar forum ekonomi, melainkan “poros ideologis Global South” yang menantang hegemoni institusi Barat seperti G7 dan IMF.1
NATO memperluas jangkauan pengaruhnya di Asia-Pasifik. Dokumen strategis “NATO Engagement in the Indo-Pacific?” menyebut Indonesia sebagai “pemain kunci non-anggota” yang perlu didekati secara halus, terutama lewat kerja sama keamanan non-tradisional dan pelibatan elit militer senior.
Apa yang Sebenarnya Sedang Terjadi?
Hipotesis A: Diplomasi Normal dengan Lapisan Transaksi Politik
Pujian Trump dan Netanyahu dapat dibaca sebagai sinyal goodwill untuk memperkuat kerja sama pragmatis. Dalam geopolitik realis, kata-kata hangat sering digunakan sebagai alat untuk membuka pintu negosiasi, investasi, atau dukungan politik.
Trump dikenal memanfaatkan personalitas pemimpin dunia untuk membangun “debt of gratitude”, yaitu hubungan personal yang kemudian dikapitalisasi untuk kepentingan ekonomi (seperti kesepakatan resort, pertahanan, atau energi). Kasus “hot mic” dengan Eric Trump mendukung pola ini.
Hipotesis B: Co-optation
Aktor Barat, terutama Amerika Serikat, menyadari bahwa mengubah arah Indonesia secara langsung hampir mustahil. Namun, menggiring Prabowo agar “ramah Barat” melalui pujian, kerja sama ekonomi, dan legitimasi internasional lebih mungkin dilakukan.
Ini bukan perekrutan ke BRICS, melainkan penjinakan pengaruh BRICS dari dalam, dengan Prabowo sebagai jembatan yang menyeimbangkan kepentingan kedua kubu.
Hipotesis C: Operasi “Bridge Diplomacy”
Indonesia kini satu-satunya negara besar Muslim yang berada di BRICS dan memiliki hubungan strategis dengan Amerika, Eropa, dan China sekaligus. Dalam konfigurasi ini, Prabowo tampil sebagai figur yang bisa diterima oleh tiga dunia, yaitu Barat, Islam, dan BRICS.
Barat kemungkinan besar melihat ini sebagai peluang emas, yaitu mendekati Prabowo untuk memastikan BRICS tidak berubah menjadi blok anti-Barat murni. Dengan kata lain, bukan menarik Prabowo ke BRICS, tetapi memastikan BRICS tidak menarik Prabowo menjauh.
Ekonomi, Keamanan, dan Legitimasi sebagai Motif
Pertama, motif ekonomi. Indonesia dengan pasar 280 juta jiwa dan cadangan nikel terbesar dunia menjadi incaran semua blok ekonomi. Trump, yang terkenal dengan pendekatan “dealmaking”, dapat melihat hubungan personal dengan Prabowo sebagai jalan masuk investasi baru termasuk dalam sektor energi dan properti.
Kedua, motif keamanan. Barat membutuhkan mitra di Asia Tenggara untuk menyeimbangkan pengaruh Beijing dan Moskow. Indonesia, yang bertradisi nonblok, bisa menjadi “pivot” dalam strategi Indo-Pasifik. Kajian penelitian yang dilakukan oleh Lee, S., & Schreer, B. (2022) di Laporan Jurnal Ilmiah Asia-Pacific Regional Security Assessment 2022menyebut Indonesia sebagai target penting untuk kerja sama pelatihan, maritim, dan kontra-terorisme.
Ketiga, legitimasi politik. Prabowo mendapatkan pengakuan internasional, bahwa sesuatu yang memperkuat posisi domestiknya. Sementara Barat mendapatkan figur yang bisa memediasi isu global seperti Palestina-Israel, tanpa harus berhadapan langsung dengan sentimen anti-Barat.
Bukan Perekrutan, tapi Penjajakan Pengaruh?
Melihat data terbuka dan pola pernyataan publik, belum ada bukti kuat bahwa NATO atau Barat menjalankan operasi sistematis untuk “menarik Prabowo ke dalam BRICS”. Justru, yang terlihat adalah usaha menjaga saluran komunikasi dan pengaruh di tengah pergeseran geopolitik multipolar.
Menurut laporan Bloomberg pada 7Januari 2025, Indonesia sudah menjadi anggota penuh BRICS dengan komitmen menjaga keseimbangan global, bukan perlawanan terhadap Barat. Kita bisa menyebut bahwa Prabowo memainkan strategi nonblok versi abad ke-21, yaitu realistis, oportunis, dan berbasis perdamaian.
Kemungkinan terbesar bukanlah kooptasi langsung, melainkan “soft influence operation”, yang merupapakan upaya halus membangun hubungan personal, ekonomi, dan diplomatik agar kebijakan Indonesia tetap terbuka terhadap kepentingan Barat.3
Apa yang Harus Diamati Selanjutnya?
Untuk menilai arah pengaruh yang mungkin diarahkan kepada Presiden Prabowo, analis terbuka perlu memantau serangkaian indikator yang saling terkait dalam dinamika diplomasi dan geopolitik.
Pertama, frekuensi dan intensitas pertemuan bilateral Prabowo dengan tokoh-tokoh Barat menjadi parameter penting, bahwa interaksi yang lebih sering atau lebih mendalam, di luar forum multilateral formal, bisa mengindikasikan upaya membangun kedekatan strategis. Selain itu, pengumuman investasi besar oleh perusahaan yang memiliki afiliasi politik dengan pihak Barat, terutama di sektor-sektor strategis seperti energi, pertahanan, atau infrastruktur, dapat menjadi sinyal nyata adanya insentif ekonomi yang menyertai pendekatan diplomatik.
Selanjutnya, penandatanganan kerja sama militer, pertahanan siber, atau pertukaran intelijen juga menjadi indikator signifikan, karena hal ini tidak hanya memperkuat hubungan bilateral tetapi juga membuka kemungkinan pengaruh dalam bidang keamanan yang sensitif. Paralel dengan itu, sinkronisasi narasi media, baik di Barat maupun di Indonesia, yang menonjolkan Prabowo sebagai figur sentral atau “penentu masa depan BRICS”, harus diamati secara seksama, karena pola liputan yang terkoordinasi bisa mencerminkan strategi soft influence.
Perubahan atau pergeseran posisi diplomatik Indonesia di forum internasional seperti PBB terkait isu-isu sensitif juga menjadi cerminan potensi pengaruh eksternal; apabila keputusan kebijakan luar negeri mulai cenderung selaras dengan kepentingan Barat tanpa justifikasi domestik yang jelas, hal ini dapat menjadi alarm bagi pengamat strategis. Terakhir, adanya indikasi relasi bisnis lintas keluarga atau elite ekonomi antara lingkaran Prabowo dan figur politik Barat perlu dicermati, karena hubungan finansial atau personal semacam ini sering menjadi kanal terselubung yang memperkuat jaringan pengaruh dan memungkinkan operasi kooptasi yang lebih halus.
Antara Diplomasi dan Perang Pengaruh
Gerak Barat terhadap Prabowo bukanlah skenario perekrutan ala Perang Dingin, melainkan diplomasi cerdas berbasis personal influence dan kepentingan ekonomi. Barat tampaknya menyadari bahwa menghadapi BRICS secara frontal tidak produktif, sebaliknya, menyusup melalui hubungan dengan figur moderat seperti Prabowo memberi pengaruh yang lebih halus namun efektif.
Namun Prabowo, dengan latar militer dan nasionalismenya, tampaknya memahami permainan ini. Ia menjaga jarak strategis, menampilkan diri sebagai mediator global, dan memperkuat citra Indonesia sebagai kekuatan independen yang mampu bicara dengan semua pihak.
Dalam konteks ini, “penarikan Prabowo ke BRICS” justru bisa menjadi strategi balik: menjadikan dirinya poros diplomasi baru yang mampu menyeimbangkan Barat dan Timur — bukan tunduk pada salah satunya.