Oleh Dayankglov
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan ( Kalsel) terus memperkuat komitmen mewujudkan kota Layak Anak (KLA). Melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DPPPAKB), sosialisasi Konvensi Hak Anak (KHA) digelar untuk membekali tenaga kesehatan dengan pemahaman mendalam terkait pemenuhan hak anak, khususnya di sektor kesehatan. (lenterakalimantan.net, 27/08/2025).
Menurut kepala DPPPAKB Kalsel, Husnul Hatimah, menegaskan bahwa hak anak merupakan bagiantak terpisahkan dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara,”penghargaan terhadap hak anak hanya bisa dicapai apabila seluruh elemen masyarakat, termasuk anak-anak sendiri, mengakui bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dan menerapkannya dalam sikap yang menghormati, mengikutsertakan, dan menerima satu sama lain,” ujarnya. (diskominfomc.kalselprov.go.id, 26/08/2025).
Selain itu, sosialisasi ini diselenggarakan sebagai bentuk bagian dari dukungan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan terhadap program Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), yang mendorong penerapan kebijakan Kabupaten/ kota Layak Anak (KLA) dengan 24 indikator utama berdasarkan konvensi Hak Anak. Salah satu indikator penting dalam klaster kesehatan adalah tersedianya fasilitas kesehatan dengan pengembangan pelayanan ramah anak di puskesmas (PRAP). (lenterakalimantan.net, 26/08/2025)
Tepat pada tahun 2023, provinsi Kalimantan Selatan memang pertama kali meraih penghargaan sebagai Provinsi Layak Anak (Provila) dan hanya 14 provinsi se-Indonesia yang mendapatkan predikat tersebut pada saat itu, “ dari 14 Provinsi Layak Anak(Provila) termasuk kalsel, bersama Provinsi Bali, Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa tengah, jawa Timur, Kepulauan Bangka Belitung, kepulauan Riau, Lampung Nusa Tenggara Barat (NTB), Riau, Sulawesi Utara dan Sumatera Barat,” jelas kepala DPPPA-KB Kalsel, Adi santoso. (diskominfomc.kalselprov.go.id, 7/08/2023)
Pada tahun 2025 ini, Kalsel kembali meraih penghargaan sebagai Provinsi Layak Anak (Provila ) yang termasuk didalam nya ada 13 provinsi mendapatkan predikat sama,yakni Bali, Banten, D.I Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimatan Selatan, Kepaulauan Bangka Beitung, Kepulauan Riau, Lampung, Riau dan Sumatera Barat. (antaranews.com, 09/08/2025).
Jika dilihat dari informasi tersebut, Kalsel memang berupaya untuk mempertahankan gelar Provinsi Layak Anak (Provila) dan juga menunjukkan keinginan untuk meningkatkan prestasi/ kinerjanya dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak. Berbagai rencana program pun digerakkan dan disosialisasikan dalam rangka percepatan Kabupaten/ Kota Layak Anak (KLA) , termasuk penekanan Pelayanan Ramah Anak dipuskesmas (PRAP) sebagai garda terdepan layanan kesehatan anak.
Dorongan “ramah anak” bergerak lewat indikator KLA (PRAP) yang bernafaskan HAM internasional (CRC/Convention on the Right of the Child). Dorongan ini sering berubah menjadi orientasi kepatuhan pada indikator, bukan perbaikan akar. Tenaga kesehatan dibekali modul hak anak, tetapi penangan faktor lain seperti, ketahanan keluarga, pengendalian industri makananan ultra-proses, higienitas air, tata ruang,dan sebagainya masih berada di dinas lain dan sering tidak sinkron.
Di Kalimantan Selatan ‘Pelayanan kesehatan ramah anak’ memang terlihat baik, namun angka stunting masih tinggi. Data angka prevalensi stunting Kalsel saja menunjukkan survei status gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 masih berada di 22,9% ( kalselprov.go.id ). ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa dorongan mengejar penurunan stunting dan label KLA/Provila hanya mendorong mobilisasi program dan fokus pada capaian persentase bukan pada kualitas. Padahal, pelayanan ramah anak membutuhkan SDM, sarpras, dan intervensi sosial berkelanjutan.
Dalam sistem kapitalisme sekulerisme, Pelayanan kesehatan terbukti belum mampu memberikan jaminan kesehatan bagi rakyat, termasuk anak-anak. kesehatan kerap bersaing dengan prioritas lain, menyebabkan banyak sekali warga kesulitan untuk memperoleh hak sehat. Mekanisme layanan kesehatan yang ada pun masih hanya sebatas formalitas yang disertai prosedur rumit sehingga layanan tersebut tidak bisa diakses oleh setiap orang.Belum lagi ruwetnya kebijakan dan birokrasi BPJS yang dikenal sudah cacat sejak dalam kandungan, makin menyulitkan warga untuk mengakses layanan kesehatan berkualitas.
Kesehatan seolah-olah menjadi privilege bagi pihak tertentu, yakni mereka yang kaya. Sedangkan rakyat miskin seakan-akan ‘dilarang’ sakit. Tampak jelas abainya negara dalam memberikan perlindungan bagi rakyat miskin dan lemah. Rakyat miskin dibiarkan hidup dalam kondisi yang sulit, rumah tidak layak huni dan lingkungan yang tidak sehat turut memperburuk kualitas hidup mereka. Ditambah lagi dengan beban anggaran yang hanya bergantung pada pajak/hutang, tentu akan mengancam keberlanjutan layanan komprehensif untuk anak.
Sistem sekuler kapitalisme hari ini terbukti gagal menjaga dan melindungi anak-anak. Berbagai kebijakan teknis seperti forum anak, kota layak anak, sekolah ramah anak, pesantren ramah anak, puskesmas ramah anak, dan sebagainya, tidaklah cukup memberantas ataupun menyelesaikan permasalahan kesehatan dinegeri ini. Pasalnya, akar masalah yang kompleks ini bersumber dari penerapan sistem sekuler kapitalisme itu sendiri. Jelas, sebagus dan sebaik apapun program yang dibuat tetap akan cacat. Ibarat racun yang dibalut madu, hanya madunya yang terlihat atau dirasakan manis sebentar dan tanpa disadari racunnya menyebar dan menggerogotinya.
Berbeda halnya dalam Islam, Islam memandang persoalan kesehatan adalah hal kedua setelah keimanan atau keyakinan sebagaimana sabda Rasulullah saw. Dalam riwayat ibnu Majah, “Mintalah kesehatan kepada Allah karena tidak ada yang lebih baik setelah keyakinan (iman), selain kesehatan.”
Islam memiliki perspektif sebagaiman firman Allah Swt, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (TQS. An-Nisa : 9)
Orientasi pelayanan kesehatan dalam Islam adalah agar individu dan keluarga memiliki kesehatan fisik dan mental sehingga mampu menjalankan kewajiban syariat. Ditataran masyarakat dan negara, dengan kesehatan tersebut mereka akan mampu memikul tanggung jawab dakwah menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia dengan dakwah dan jihad.
Dalam Islam, pemimpin atau Khalifah memiliki mandat untuk menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi warganya, serta memahami pertanggungjawabannya kepada Allah Swt. Dalam Khilafah, mandat syariah menjamin layanan anak yang gratis /terjangkau, terintegrasi, dan berkelanjutan, bertumpu pada Baitul Mal dan kepemimpinan tunggal yang memayungi lintas sektor. Baitul Mal memiliki pos pemasukan syar’i sehingga layanan kesehatan anak gratis/ terjangkau dan tidak bergantung pada pajak permanen ataupun hutang.
Implementasi kesehatan dalam sistem islam tampak untuk mencapai tujuan pelayanan kesehatan yaitu dengan: Pertama, untuk menjaga kesehatan fisik. Khilafah akan memastikan terpenuhi gizi, air bersih, sanitasi dan pengobatan secara merata pada warga daulah. Kedua, untuk menjaga kesehatan mental (psikis). Khilafah akan memberikan penguatan akidah, ibadah dan terapi jiwa tanpa biaya yang mahal. Ketiga, menjaga kesehatan publik. Daulah akan mengurus kebersihan, pasar, air dan mencegah penyakit menular secara selektif tanpa bergantung pada keuntungan ataupun politik. Keempat, kesehatan untuk semua rakyat. Dalam Islam, semua rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, kaya maupun miskin akan mendapatkan layanan setara.
Persoalan anak yang sangat berlapis hari ini menegaskan bahwa persoalan tersebut bersifat sistemis sehingga membutuhkan solusi tuntas oleh sistem Islam (Khilafah). Pengelolaan hak anak membutuhkan penerapan aturan Islam secara Kaffah. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk benar-benar melindungi dan memuliakan generasi bukan hanya memenuhi indikator, tetapi mengokohkan fitrah dan masa depan mereka sebagai generasi peradaban Islam yang sehat dan kuat. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, tentunya bukan hanya hak anak saja yang terpenuhi tetapi hak seluruh masyarakatnya juga bisa terpenuhi. In sya Allah, bi’idznillah. Wallahu’alam bi shawab. [ND]tara.
Persoalan anak yang sangat berlapis hari ini menegaskan bahwa persoalan tersebut bersifat sistemis sehingga membutuhkan solusi tuntas oleh sistem Islam (Khilafah). Pengelolaan hak anak membutuhkan penerapan aturan Islam secara Kaffah. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk benar-benar melindungi dan memuliakan generasi bukan hanya memenuhi indikator, tetapi mengokohkan fitrah dan masa depan mereka sebagai generasi peradaban Islam yang sehat dan kuat. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, tentunya bukan hanya hak anak saja yang terpenuhi tetapi hak seluruh masyarakatnya juga bisa terpenuhi. In sya Allah, bi’idznillah. Wallahu’alam bi shawab. [ND]