Oleh : Gita Pebrina Ramadhana, S.Pd., M.Pd (Pemerhati Remaja dan Pendidikan)
Beberapa waktu terakhir, dunia kerja diramaikan dengan istilah baru: job hugging. Fenomena ini menggambarkan kondisi ketika seseorang memilih bertahan dalam pekerjaannya meskipun sudah tidak lagi memiliki motivasi, minat, bahkan kenyamanan. Hal itu bukan karena rasa loyalitas yang tinggi, melainkan keterpaksaan akibat ketidakpastian pasar kerja.
Fenomena ini makin marak di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat. Kondisi ekonomi global yang lesu, meningkatnya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan kinerja perusahaan yang tak optimal membuat banyak orang—khususnya generasi muda—enggan mengambil resiko meninggalkan pekerjaan.
Seorang Guru Besar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut, job hugging lahir dari faktor ketidakpastian pasar kerja. Lulusan perguruan tinggi yang berharap bisa meraih karir sesuai passion, justru terjebak pada realitas: lebih baik bertahan pada pekerjaan apa adanya demi keamanan finansial, ketimbang menganggur sebagai “pengangguran intelektual.”
Data dan pemberitaan media memperlihatkan fenomena ini sebagai gejala sosial-ekonomi yang serius. Tidak sedikit pekerja muda yang sebenarnya ingin berkembang, namun akhirnya memilih bertahan karena khawatir tidak mendapatkan pekerjaan baru. Inilah wajah krisis kerja di era kapitalisme global.
Kapitalisme Global dan Krisis Dunia Kerja
Fenomena job hugging tidak bisa dipandang sekadar sebagai pilihan pribadi atau mentalitas generasi muda. Ia adalah hasil dari kegagalan sistemik kapitalisme global yang menjadikan lapangan kerja sebagai komoditas, bukan tanggung jawab negara.
Ada beberapa faktor utama yang membuat job hugging menjadi fenomena massif.
Pertama, negara tidak lagi menjadi penanggung jawab utama dalam menyediakan lapangan kerja. Sebaliknya, penyediaan kerja diserahkan kepada mekanisme pasar yang sangat bergantung pada kondisi investasi dan profit perusahaan.
Kedua, Dalam sistem kapitalis, keberadaan lapangan kerja ditentukan oleh korporasi. Jika keuntungan menurun, PHK pun menjadi jalan pintas. Akibatnya, rakyat tidak memiliki jaminan stabilitas kerja.
Ketiga, kekayaan alam yang semestinya bisa membuka banyak industri dan menyerap tenaga kerja justru dikuasai perusahaan besar, baik domestik maupun asing.
Keempat, dominasi ekonomi non-riil dan ribawi.Kapitalisme lebih menekankan pada sektor finansial spekulatif, seperti saham dan obligasi, dibandingkan sektor riil yang mampu menciptakan lapangan kerja produktif.
Kelima, liberalisasi pendidikan dan perdagangan tenaga kerja dimana kurikulum perguruan tinggi didesain untuk menyesuaikan kebutuhan industri global. Namun pada kenyataannya, negara lepas tangan dari tanggung jawab untuk memastikan setiap lulusan memiliki akses kerja layak. Pendidikan hanya diarahkan agar “siap kerja,” bukan agar “pasti bekerja.”
Kondisi ini membuat generasi muda menghadapi paradoks dimana mereka didorong untuk mengejar pendidikan tinggi, namun setelah lulus, pasar kerja tidak mampu menampung mereka. Job hugging menjadi jalan realistis untuk sekadar bertahan hidup.
Solusi Islam sebagai Penanggung Jawab Lapangan Kerja
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki mekanisme jelas dalam memastikan rakyat memperoleh pekerjaan dan penghidupan. Dalam Muqaddimah Dustur pasal 153, ditegaskan bahwa negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Beberapa prinsip solusi Islam adalah yaitu:
pertama, negara wajib membuka lapangan kerja secara langsung.Negara mengelola sumber daya alam dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat melalui pembangunan industri, infrastruktur, dan sektor produktif yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Kedua, distribusi tanah dan bantuan modal.Bagi rakyat yang tidak memiliki pekerjaan, negara dapat memberikan tanah produktif (ihyaul mawat), modal, serta sarana dan keterampilan agar mereka bisa mandiri.
Ketiga, pendidikan berbasis iman dan ibadah.Pendidikan dalam Islam tidak diarahkan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pasar, tetapi membentuk manusia yang bekerja dengan kesadaran ibadah. Dengan demikian, pekerjaan bukan sekadar untuk bertahan hidup, melainkan sarana beramal saleh yang bernilai akhirat.
Keempat, negara melayani rakyat dengan amanah.Pemimpin dalam sistem Islam mengurus rakyat bukan karena tuntutan administratif semata, tetapi sebagai kewajiban syar’i yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dengan paradigma ini, negara tidak bisa lepas tangan atas urusan pekerjaan rakyat.
Fenomena job hugging yang kini melanda generasi muda menunjukkan wajah rapuh sistem kapitalisme global. Rakyat, khususnya lulusan perguruan tinggi, terjebak dalam pekerjaan yang tidak mereka cintai hanya demi bertahan hidup. Kapitalisme telah gagal memberikan jaminan kerja, bahkan menyerahkan sepenuhnya urusan ketenagakerjaan pada mekanisme pasar yang tidak pasti.
Islam menghadirkan solusi komprehensif. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat, membuka lapangan kerja produktif, mendistribusikan tanah dan modal, serta membingkai pendidikan dengan iman. Dengan sistem ini, rakyat tidak akan terjebak dalam pekerjaan tanpa gairah, melainkan bekerja penuh makna sebagai bagian dari ibadah.[]