
Aksi demonstrasi sepanjang bulan Agustus 2025, telah menyisakan duka dan tragedi mendalam bagi publik di tanah air. Pecahnya kerusuhan dipelbagai titik tidak hanya sekadar catatan peristiwa yang berlalu begitu saja. Ia meninggalkan jejak luka sosial, politik, dan kemanusiaan yang mendalam. Jalanan kota yang dipenuhi massa, bentrokan dengan aparat, gas air mata, suara tembakan, hingga jatuhnya korban jiwa telah menorehkan trauma kolektif. Tidak sedikit keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta, sementara sebagian lainnya masih berjuang dengan luka fisik maupun psikis.
Tragedi ini mengingatkan kembali ingatan kita pada peristiwa-peristiwa sejarah pergerakan rakyat di masa lalu. Lahirnya korban jiwa, praktik penangkapan massal, serta kerusakan fasilitas publik bukan hanya sekadar catatan angka, tetapi juga menggambarkan rapuhnya fondasi demokrasi kita ketika hak asasi manusia terabaikan. Tragedi ini tidak bisa dipandang sebagai peristiwa insidental semata, melainkan sebagai cerminan dari persoalan struktural dalam penanganan aksi demonstrasi, dan menunjukkan adanya persoalan dalam relasi antara negara dengan masyarakatnya.
Rapuhnya relasi antara negara dan masyarakat mestinya menjadi peringatan penting bagi perjalanan demokrasi bangsa ini. Di satu sisi, rakyat menggunakan ruang demokratis untuk menyampaikan aspirasi dan protes terhadap elit negara. Namun di sisi lain, respons negara yang represif juga memperlihatkan lemahnya komitmen terhadap penghormatan atas hak asasi manusia. Pertanyaan besar muncul: mengapa situasi yang seharusnya dikelola secara damai berubah menjadi tragedi berdarah? Apakah ada kesalahan prosedur, penggunaan kekuatan berlebihan, atau bahkan pola pelanggaran HAM yang sistematis? Tentu semua perlu dijawab dengan proses investigasi lebih lanjut dan mendalam.
Urgensi Pembentukan Tim Pencari Fakta
Publik berhak mengetahui atas segala tanya dari setiap fenomena dan tragedi yang terjadi. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa tanpa mekanisme investigasi yang independen, kebenaran sering kali terdistorsi, bahkan terkubur oleh narasi resmi negara yang hanya menekankan stabilitas dan keamanan. Padahal, praktik demokrasi tidak bisa berdiri di atas luka yang dibiarkan menganga tanpa penyembuhan. Sampai detik ini, negara hanya sibuk melontarkan narasi-narasi sinisme, dan menepikan buah kemarahan publik hingga aksi Agustus 2025 terjadi. Sementara itu, dugaan pelanggaran oleh aparat nyaris tak pernah disentuh. Di titik inilah, urgensi pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Dalam landskap sejarah politik nasional, beberapa kali memperlihatkan bahwa TPF berperan sebagai instrumen penting dalam mengungkap kebenaran kasus-kasus dengan level kesulitan yang tinggi. Sebut saja TPF Kasus Munir pada Tahun 2004, berhasil menyingkap dugaan keterlibatan aparat intelijen dalam pembunuhan seorang pembela HAM, sehingga kasus ini tidak lenyap begitu saja di tengah opini publik. Dalam konteks kerusuhan, sejarah juga pernah mengenal TPF tragedi Mei 1998 yang menemukan adanya pelanggaran berat,termasuk kekerasan seksual. Meskipun hasilnya belum sepenuhnya ditindaklanjuti, keberadaan laporan itu menjadi landasan moral dan politik untuk advokasi bagi para korban hingga detik ini.
Pengalaman dan catatan bersejarah itu menunjukkan bahwa TPF meskipun sering menghadapi keterbatasan politik, tetap memiliki nilai tawar dan posisi yang strategis. Ia dapat membuka tabir kebenaran, mencegah penghapusan ingatan kolektif, dan memberikan pintu masuk menuju akuntabilitas dan transparansi yang seringkali dibatasi oleh tangan-tangan yang tidak terlihat. Dugaan kekerasan yang dilakukan aparat juga dapat ditindaklanjuti agar tidak adanya praktik impunitas dalam menegakkan hukum sebagaimana mestinya. Tim Pencari Fakta yang menyingkap tabir juga dapat menjadi jalan bagi perbaikan praktik berdemokrasi di Indonesia.
Menjawab Krisis Kepercayaan Publik
Beberapa media massa memperlihatkan bahwa adanya dugaan keterlibatan aparat dalam kerusuhan Agustus 2025. Dugaan ini dapat semakin memperburuk situasi, dan tidak meredakan konflik apapun. Jika investigasi hanya dilakukan oleh pihak atau institusi yang dituding publik terlibat dalam kerusuhan, maka kepercayaan publik dapat semakin menurun, baik kepada elit negara, sampai kepada institusi-institusi yang diduga terlibat dalam kerusuhan. Oleh karena itu, TPF dapat menjadi sarana untuk mengembalikan marwah institusi negara melalui mekanisme independen yang dipercaya oleh publik.
Konstitusi sejatinya telah menjamin perlindungan dan penegakan hak asasi manusia sebagai tanggung jawab negara. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan kewenangan kepada negara untuk membentuk mekanisme penyelidikan pelanggaran HAM, baik melalui Komnas HAM maupun mekanisme khusus seperti TPF. Hukum internasional juga telah diratifikasi oleh Indonesia mengenai prinsip non-impunitas, dan menuntut negara untuk mengusut setiap dugaan pelanggaran. Alih-alih memberikan jaminan perlindungan dan penegakan HAM, dalam beberapa catatan sejarah, negara justru kerap menjadi pelaku dalam pelanggaran HAM yang terjadi.
Kerusuhan Agustus 2025 bukan sekadar insiden politik, melainkan cermin dari persoalan mendasar negara dalam mengelola ruang demokrasi. Menutup mata dari peristiwa ini hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan antara negara dan masyarakatnya. Sudah semestinya negara hadir untuk menjawab hak dan kebutuhan publik. Dimensi kepercayaan publik yang seringkali digores oleh tingkah laku para pemangku kepentingan, juga perlu dipulihkan dengan keseriusan negara dalam mengungkap kasus-kasus yang langsung bersinggungan dengan publik. Sudah waktunya, bangsa ini mesti berbenah.
Pada akhirnya, penulis hanya ingin menegaskan bahwa pembentukan Tim Pencari Fakta bukan hanya sekadar pilihan moral, melainkan juga sebagai tuntutan hukum yang dijamin oleh konstitusi. Maka dari itu, Pembentukan TPF independen adalah jalan penting untuk mengungkap kebenaran, mencegah impunitas, serta memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sejarah telah menunjukkan bahwa TPF menjadi instrumen vital untuk menjaga ingatan kolektif bangsa dan membuka jalan menuju keadilan.Dengan demikian, pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil harus berani melangkah. Tanpa TPF, luka Agustus 2025 hanya akan terkubur sebagai fragmen kelam tanpa penyembuhan—dan itu berarti kita gagal belajar dari sejarah.

