
Di tengah geliat pembangunan nasional yang menyasar berbagai sektor, satu aspek mendasar yang seharusnya menjadi prioritas utama justru masih tertatih-tatih di banyak daerah: pelayanan kesehatan dasar. Padahal, pelayanan ini adalah pondasi sistem kesehatan nasional, dan keberadaannya sangat menentukan kualitas hidup masyarakat secara luas.
Pelayanan kesehatan dasar, atau yang dikenal sebagai primary health care, merupakan ujung tombak dari sistem kesehatan yang berfungsi untuk menjamin pemerataan akses, mencegah penyakit, serta memberikan penanganan awal yang cepat dan tepat. Dalam konteks Indonesia, puskesmas—pusat kesehatan masyarakat—menjadi garda terdepan dalam menjalankan fungsi ini.
Namun faktanya, tidak semua puskesmas mampu menjalankan fungsinya secara maksimal. Berdasarkan data tahun 2023 dari Kementerian Kesehatan, dari lebih dari 10.416 puskesmas di seluruh Indonesia, meskipun tidak semuanya, tapi sebagian masih mengalami kendala baik dalam hal infrastruktur, jumlah dan kualitas tenaga kesehatan, maupun ketersediaan alat medis yang memadai. Tak jarang masyarakat harus menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan layanan dasar yang seharusnya tersedia di lingkungan terdekat mereka.
Masalah yang mengakar ini bukan semata-mata karena kurangnya kesadaran, melainkan berkelindan dengan lemahnya regulasi, minimnya koordinasi antar level pemerintahan, dan keterbatasan anggaran yang tersedia. Walaupun UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dicabut diganti dengan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara substansi telah memberikan landasan hukum bagi penguatan layanan dasar, implementasi di daerah kerap tidak berjalan sesuai harapan. Pemerintah daerah yang memiliki kewenangan besar dalam urusan kesehatan, acap kali menghadapi keterbatasan fiskal atau kurang menempatkan kesehatan sebagai prioritas pembangunan.
Realita di lapangan memperlihatkan ketimpangan yang mencolok. Di kota-kota besar, puskesmas telah bertransformasi menjadi institusi yang modern dengan layanan rawat inap, laboratorium, bahkan instalasi gawat darurat mini. Sementara itu, di banyak daerah terjauh, tertinggal dan terpencil, puskesmas masih berupa bangunan sederhana, kadang bahkan tanpa dokter tetap. Tidak sedikit masyarakat di wilayah ini yang akhirnya mengandalkan pengobatan alternatif atau menunda pengobatan hingga kondisi memburuk.
Ketika puskesmas tidak mampu menjadi tempat pertama yang diandalkan masyarakat saat sakit, maka masyarakat langsung berbondong-bondong ke rumah sakit, bahkan untuk kasus ringan yang sebenarnya bisa ditangani di layanan primer. Akibatnya, rumah sakit menjadi penuh sesak dan biaya pelayanan menjadi lebih tinggi. Padahal, jika ditangani sejak dini di puskesmas, banyak kasus kesehatan dapat dicegah agar tidak berkembang menjadi penyakit berat.
Persoalan ini juga terkait erat dengan sistem rujukan berjenjang yang belum sepenuhnya efektif. Walau pemerintah telah membangun sistem digitalisasi dan integrasi data seperti SATUSEHAT, dalam praktiknya koordinasi antara fasyankes tingkat pertama dan lanjutan masih menemui kendala. Banyak pasien yang “meloncat” ke rumah sakit tanpa melalui rujukan dari puskesmas, atau justru ditolak karena tidak sesuai jalur layanan. Ini memperlihatkan bahwa penguatan layanan dasar tidak hanya soal membangun fisik atau menambah SDM, tapi juga soal membangun sistem yang interoperable, responsif, dan berpihak pada kebutuhan masyarakat.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah distribusi tenaga kesehatan. Masih banyak daerah yang mengalami kekurangan dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya. Padahal, Indonesia memiliki jumlah lulusan tenaga kesehatan yang terus meningkat tiap tahunnya. Sayangnya, distribusi tidak merata. Kebanyakan tenaga kesehatan lebih memilih bekerja di kota besar atau rumah sakit swasta karena pertimbangan penghasilan, fasilitas, dan pengembangan karier. Sementara di puskesmas, terutama di daerah pinggiran, posisi dokter sering kali kosong atau hanya diisi secara bergilir. Ini tentu berdampak pada kualitas layanan dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap fasilitas tersebut.
Tidak hanya layanan dan tenaga medis, aspek penting lain yang sering luput adalah ketersediaan obat. Harga obat yang tinggi di Indonesia merupakan akibat dari ketergantungan terhadap impor bahan baku. Industri farmasi lokal memang telah tumbuh, namun masih didominasi oleh perusahaan besar yang bergantung pada paten dan bahan aktif dari luar negeri. Akibatnya, biaya produksi dan distribusi menjadi tinggi. Di puskesmas, ini berarti banyak obat generik tidak selalu tersedia dalam jumlah cukup, atau digantikan dengan alternatif yang kurang efektif.
Dalam menyikapi berbagai persoalan ini, langkah konkret sangat dibutuhkan.
Pertama, pemerintah harus memastikan alokasi anggaran kesehatan yang memadai. Meski pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran lebih dari 5% dari APBN, pemerintah daerah juga wajib mematuhi amanat 10% dari APBD untuk sektor kesehatan. Anggaran ini tidak boleh tersebar ke program-program simbolik, tetapi harus diarahkan untuk revitalisasi puskesmas, pengadaan alat kesehatan, dan insentif tenaga kesehatan.
Kedua, perlu ada reformasi sistem penempatan tenaga kesehatan melalui mekanisme afirmatif, misalnya beasiswa ikatan dinas atau insentif khusus bagi tenaga medis yang bersedia bekerja di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Pemerintah juga bisa bekerja sama dengan institusi pendidikan kesehatan untuk memastikan bahwa lulusan diberi pengalaman langsung di lapangan sejak dini.
Ketiga, transformasi digital dalam layanan kesehatan harus digalakkan, termasuk integrasi data pasien dan sistem rujukan yang berbasis NIK dan sistem informasi kesehatan nasional. Hal ini akan meningkatkan efisiensi, mengurangi birokrasi, dan mempercepat layanan.
Keempat, pemberdayaan masyarakat perlu terus ditingkatkan. Kesehatan bukan hanya urusan fasilitas dan tenaga medis, tetapi juga bagaimana masyarakat didorong menjadi subjek aktif dalam menjaga kesehatannya. Promosi kesehatan, edukasi berbasis komunitas, dan keterlibatan kader kesehatan harus menjadi bagian dari strategi penguatan pelayanan dasar.
Kelima, kemandirian farmasi nasional harus menjadi agenda jangka panjang. Pemerintah perlu memberi ruang bagi riset dan pengembangan obat lokal, serta membangun pusat produksi bahan baku farmasi dalam negeri yang berdaya saing.
Pelayanan kesehatan dasar bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan cerminan dari komitmen sebuah bangsa dalam merawat warganya. Ketika negara hadir lewat layanan yang merata, bermutu, dan terjangkau, maka kepercayaan masyarakat akan tumbuh. Dan dari sinilah, bangsa yang sehat akan lahir—bangsa yang kuat dari akar, dari dasar, dari puskesmas-puskesmas yang berdiri tegak di setiap sudut negeri.

