
Peneliti dan Penulis Buku0
Produktivitas kerja seorang individu sangat erat kaitannya dengan kondisi kesehatannya. Semakin sehat tubuh dan jiwanya, semakin tinggi pula kualitas kerja yang dapat ia hasilkan. Tidak heran bila hampir semua negara menempatkan kesehatan sebagai prioritas utama, sebab keberlangsungan pembangunan dan kualitas hidup masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan warganya.
Kesehatan tidak hanya dimaknai sebatas aspek fisik, melainkan juga mencakup dimensi nonfisik, salah satunya kesehatan spiritual. Spiritualitas adalah salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas hidup seseorang. Kesehatan mental dan spiritual disebut sebagai faktor protektif yang mampu meningkatkan ketahanan individu terhadap tekanan hidup. Bahkan, hasil penelitian dari Harvard T.H. Chan School of Public Health tahun 2022 menemukan bahwa individu dengan keterhubungan spiritual lebih kuat memiliki risiko tiga puluh persen lebih rendah mengalami depresi dan stres berat dibandingkan mereka yang kurang melibatkan dimensi spiritual. Fakta ini menunjukkan bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Namun dalam praktik sehari-hari, masyarakat cenderung lebih menaruh perhatian pada kesehatan fisik. Saat tubuh sakit, segera dicarikan obat dan pertolongan medis. Hal tersebut tentu baik dan wajar, tetapi hanya sedikit orang yang menyadari bahwa kesehatan spiritual juga merupakan fondasi penting untuk menjaga kualitas hidup.
Kesehatan spiritual menyangkut kondisi batin yang tenang, pikiran yang sehat, serta kebersihan hati dari sifat-sifat buruk seperti iri, dengki, sombong, tamak, dan ambisi yang tidak halal. Ia juga tercermin dari kedekatan seseorang kepada Tuhan (Allah) melalui ibadah, doa, dan penghayatan nilai-nilai religius dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks modern, kesehatan spiritual dapat dimaknai pula sebagai kemampuan menjaga integritas, kejujuran, dan empati di tengah derasnya arus materialisme serta tantangan digitalisasi. Kehidupan yang serba cepat, kompetitif, dan penuh tekanan sering membuat manusia kehilangan keseimbangan, sehingga spiritualitas menjadi benteng untuk menjaga stabilitas mental dan moral.
Kerapuhan spiritual mudah dikenali dalam kehidupan sosial kita. Banyak pejabat atau pegawai lebih mementingkan jatah tidak halal daripada amanah. Praktik gratifikasi, korupsi, hingga penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang kerap dianggap lumrah. Fenomena ini jelas menunjukkan gejala spiritualitas yang sakit.
Berbeda dengan sakit fisik yang cepat disadari dan segera diobati, sakit spiritual justru sering tidak disadari bahkan berubah menjadi kebiasaan. Akibatnya, perilaku negatif menyebar luas dan melahirkan budaya permisif. Dampak buruk kesehatan spiritual jauh lebih berbahaya daripada sakit fisik. Bila tubuh yang sakit, penderitaan utamanya dirasakan oleh individu. Tetapi ketika spiritualitas yang sakit, dampaknya menular dan merusak kehidupan masyarakat.
Pelayanan publik menjadi buruk, pembangunan tidak tepat sasaran, dan kualitas kehidupan bangsa menurun. Misalnya, adanya riset dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang berjudul “Tren Vonis Kasus Korupsi” tahun 2014 sampai 2023 didapatkan fakta berdasarkan riset putusan pengadilan dalam perkara korupsi, jumlah total kerugian negara yang ditimbulkan korupsi pada periode itu secara nasional mencapai lebih dari Rp 291,5 triliun, sebuah angka fantastis yang mencerminkan rapuhnya nilai moral dan spiritual dalam tata kelola pemerintahan.
Sebaliknya, apabila spiritualitas masyarakat terjaga, kehidupan akan berjalan lebih baik. Para penyelenggara negara yang sehat secara spiritual akan melaksanakan tugasnya dengan amanah, pelayanan publik dilakukan secara ramah dan profesional, serta pembangunan berjalan sesuai kebutuhan tanpa dikotori kepentingan pribadi. Tidak ada iri dengki, saling sikut untuk jabatan, atau korupsi yang merugikan masyarakat luas. Spiritualitas yang sehat juga akan menciptakan budaya kerja yang penuh semangat kebersamaan, mengedepankan pelayanan tulus, serta membangun rasa saling percaya. Dengan demikian, kesehatan spiritual memiliki pengaruh besar terhadap terciptanya sistem sosial yang harmonis dan produktif.
Kesadaran
Menyehatkan spiritualitas pada dasarnya berawal dari kesadaran. Kesadaran ini harus ditumbuhkan dengan menanamkan nilai-nilai religius dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui pendidikan keluarga, lingkungan kerja, lingkungan masyarakat, teman, dan kolega, maupun kebijakan negara. Hidup hendaknya dipahami sebagai amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan (Allah Swt). Dengan kesadaran seperti ini, setiap individu akan terdorong untuk memberikan yang terbaik melalui perilaku yang jujur, tulus, dan penuh integritas.
Dalam Islam, Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa hati yang bersih dan jiwa yang tenteram adalah kunci keselamatan. Firman Allah dalam Surah Asy-Syams ayat 9–10 menyatakan, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” Ayat ini menegaskan dan menunjukkan bahwa kesehatan spiritual tidak hanya berdampak pada kehidupan dunia, tetapi juga berhubungan dengan kebahagiaan akhirat. Rasulullah Saw. pun mengingatkan dalam sebuah hadis, “Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim). Kedua landasan ini menegaskan bahwa menjaga spiritualitas adalah kewajiban, bukan pilihan.
Dalam kehidupan modern, menyehatkan spiritualitas dapat dilakukan dengan berbagai cara yang kontekstual. Pendidikan agama yang membumi dan menyentuh aspek akhlak harus diperkuat sejak dini. Lingkungan kerja perlu membangun budaya anti-korupsi, transparansi, serta penghargaan terhadap integritas. Teknologi digital yang begitu pesat harus diarahkan untuk memperkuat nilai-nilai moral, bukan sekadar memanjakan hawa nafsu. Bahkan, praktik sederhana seperti membiasakan doa sebelum bekerja, menjaga tutur kata, berlaku adil, serta peduli pada sesama adalah bentuk nyata dari upaya menyehatkan spiritualitas.
Pada akhirnya, kesehatan spiritual bukan sekadar urusan pribadi, melainkan menyangkut masa depan bangsa. Spiritualitas yang sehat akan melahirkan masyarakat yang berdaya saing tinggi, bermoral kokoh, dan mampu menghadapi tantangan global dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, spiritualitas yang sakit akan melahirkan generasi rapuh, mudah tergoda kepentingan sesaat, dan sulit membangun peradaban yang bermartabat. Oleh karena itu, menjaga kesehatan spiritual harus berjalan seiring dengan menjaga kesehatan fisik. Pendidikan, keluarga, institusi, hingga kebijakan negara perlu memberi ruang besar bagi penguatan nilai-nilai spiritual. Dengan demikian, akan terwujud masyarakat Indonesia yang sehat, produktif, dan bermartabat—sebuah modal besar untuk kemajuan bangsa di masa depan.