Zahra Kamila
Gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) kembali menjadi perbincangan publik setelah salah satu anggota DPR RI menyebut gaji mereka mencapai Rp 100 juta per bulan atau sekitar Rp 3 juta per hari. Bahkan terdapat isu kenaikan gaji anggota DPR di tengah sulitnya ekonomi rakyat.
Lembaga legislatif sejatinya adalah penjelmaan kedaulatan rakyat. Melalui pemilu, masyarakat menitipkan amanah agar wakilnya memperjuangkan kepentingan publik, menjaga martabat bangsa, serta mengawal jalannya pemerintahan. Namun, realitas politik seringkali menghadirkan ironi dimana rakyat merasa ditinggalkan, sementara kepentingan segelintir pihak justru diprioritaskan.
Kekecewaan itu menguat ketika keputusan-keputusan DPR terlihat lebih banyak berpihak pada kelompok berkuasa dibanding kebutuhan masyarakat yang mereka wakili.
Rakyat menanti keberanian DPR untuk menolak kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat. Seharusnya setiap legislator menyadari bahwa kursi yang diduduki bukanlah milik pribadi melainkan mandat suci untuk menjaga keadilan sosial.
Kritik keras dari masyarakat seharusnya dipahami sebagai alarm, bukan ancaman. DPR harus berani bercermin, apakah setiap kebijakan benar-benar lahir dari nurani kebangsaan, atau sekadar kompromi politik sesaat. Bila terus menutup telinga, jarak dengan rakyat akan semakin menganga.
Pada akhirnya, rakyat tidak menuntut kesempurnaan, melainkan ketulusan. DPR diharapkan kembali pada jati dirinya sebagai rumah aspirasi, bukan sekadar panggung elit. Jika kepercayaan publik terus terkikis, maka penghianatan terhadap rakyat akan tercatat bukan hanya dalam ingatan, tetapi juga dalam sejarah bangsa.
Faktanya, selama ini DPR abai terhadap nasib rakyat secara umum. Sebagaimana kita ketahui, saat ini puluhan juta rakyat di negeri ini masih diliputi kemiskinan. Namun tak ada tindakan dari DPR untuk mendesak pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang bisa mengentaskan rakyat dari kemiskinan.
Seperti diketahui, jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2025 adalah 23,85 juta orang atau sebesar 8,47 persen dari total populasi, menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Di sisi lain, dengan alasan untuk menghemat anggaran, pemerintah memutuskan melalui pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, seperti yang diprediksi oleh BPS, pembatasan BBM bersubsidi ini pasti menyebabkan kenaikan harga barang atau inflasi. Ujung-ujungnya rakyat secara umum jugalah yang harus menanggung akibatnya. DPR tidak peduli dengan semua ini. DPR justru tampak abai kalau menyangkut kepentingan rakyat dan sebaliknya sangat peduli kalau menyangkut kepentingan dirinya sendiri.
Menjadi wakil rakyat sesungguhnya adalah amanah. Amanah ini berkaitan erat dengan faktor keimanan. Karena itu, amanah wajib dijaga dan sebaliknya haram untuk dikhianati. Amanah menjadi wakil rakyat tidak saja harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Sayangnya, jangankan di hadapan Allah di akhirat kelak, di hadapan rakyat pun para wakil rakyat tidak bisa mempertanggungjawabkan amanah rakyat yang mereka wakili. Pertanyaannya, layakkah terus-menerus berharap kepada wakil rakyat yang justru sering mengkhianati amanah rakyat yang mereka wakili? Tentu tidak!
Sudah terlalu banyak bukti bahwa DPR juga pemerintah yang notabene produk dari sistem demokrasi sekuler, mengkhianati amanah rakyatnya sendiri. Hal ini wajar belaka, sebab, dalam demokrasi yang berdaulat memang bukan rakyat, tetapi elit wakil rakyat yang berkolaborasi dengan penguasa dan para pemilik modal. Kepada merekalah demokrasi berkhidmat, bukan kepada rakyat. Karena itu, tak selayaknya umat ini berharap kepada mereka yang tidak amanah.
Segera Kembali pada Sistem Islam
Jelas, umat saat ini wajib segera kembali ke sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara total atas mereka. Umat harus segera menegakkan Islam dengan segera mengangkat penguasa yang beriman dan bertakwa, sekaligus mengangkat para wakil rakyat yang amanah. Hanya kepada merekalah kepercayaan dan amanah selayaknya digantungkan.

