Kamis, September 18, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Gaya Hidup Sehat dan Oknum-Oknum Kapitalis

by Mata Banua
17 September 2025
in Opini
0
D:\2025\September 2025\18 September 2025\8\8\Ridho Pratama Satria.jpg
Ridho Pratama Satria (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman)

Beberapa waktu terakhir, kita melihat jika masyarakat sangat menggandrungi gaya hidup sehat lewat rajin berolahraga. Banyak orang mulai menggandrungi olahraga lari dan padel. Masalahnya, fenomena rajin olahraga ini hanyalah fenomena yang bisa dilihat di permukaan saja. Sedangkan yang tersembunyi di bawah permukaan adalah, gaya hidup sehat malah mendorong masyarakat untuk menunjukkan status sosialnya saat mereka berolahraga. Hal ini diinisiasi oleh kapitalisme, yang masuk secara senyap-senyap, sehingga olahraga-olahraga seperti lari dan padel menjadi komoditas, menjadi tempat bagi para ‘oknum’ tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Bagaimana bentuk komoditas yang ada pada lari dan padel?

Komodifikasi Lari

Artikel Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kurikulum Berbasis Cinta, Solusi untuk Pendidikan Hari Ini?

17 September 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Bahaya Dibalik Program MBG

17 September 2025
Load More

Seperti yang kita tahu, lari sedang hangat-hangatnya di kalangan masyarakat kita. Buktinya, ada banyak event atau acara lari yang diikuti orang secara beramai-ramai. Seperti contohnya acara fun-run, night-run, dan maraton.

Lewat event inilah, kapitalisme menyusup. Lari, yang merupakan olahraga gratis, malah menjadi event berbayar. Event ini memaksa para pesertanya untuk membayar ‘tiket’ yang mahal sehingga para peserta bisa ikut serta dalam event ini.

Setelah event berbayar, ada pula oknum-oknum kapitalisme yang mendorong supaya masyarakat menunjukkan status sosialnya meskipun mereka sedang melakukan olahraga ‘gratis’ seperti lari ini. Caranya, mereka akan menjual produk-produk pendukung lari dengan label premium. Produk-produk ini seperti sepatu lari dan smartwatch yang dijual seharga jutaan rupiah. Jika masyarakat bisa membeli dan menggunakan produk-produk premium ini, maka tentu saja, mereka bisa berolahraga sembari menunjukkan ketinggian status sosial mereka.

Dampak pamer status sosial ini adalah, berolahraga membuat masyarakat malah menggeser fokusnya. Masyarakat malah berfokus untuk pencitraan kelas sosial dibandingkan berfokus untuk meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Yang paling buruk, berolahraga malah membuat gaya hidup masyarakat menjadi gaya hidup konsumerisme.Gaya hidup ini akan membuat masyarakat lebih fokus untuk membeli produk-produk yang mahal sehingga mereka menghambur-hamburkan uang secara tidak bertanggung jawab. Akhirnya, masyarakat tidak fokus pada gaya hidup sehat lagi.

Komodifikasi Padel

Selain lari, padel juga sedang naik daun di masyarakat. Padel merupakan jenis olahraga baru yang menggabungkan olahraga tenis dan squash. Bedanya, padel hanya digandrungi oleh kalangan elite atau kalangan ekonomi level atas saja dengan alasan-alasan tertentu, seperti harga sewa lapangan yang mahal.Namun sekali lagi, ada saja oknum-oknum kapitalisme yang memanfaatkan keadaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Para oknum akan mencari keuntungan lewat menyediakan lapangan-lapangan padel dengan label eksklusif, sehingga para pemain harus membayar sewa lapangan yang maha (yaitu sekitar Rp200.000 sampai Rp500.000 per jam. Lapangan-lapangan ini akan dibuat di kompleks perumahan elite supaya kesan mahalnya terasa nyata.

Selain daripada lapangan, para oknum terus mencari celah-celah lain untuk mendapatkan keuntungan. Yaitu, penawaran sistem member klub padel dengan labeleksklusif lagi. Bagi yang bergabung dalam klub ini, mereka ditawarkan produk-produk kelengkapan saat berolahraga. Seperti tawaran untuk dilatih pelatih khusus. Dengan tawaran ini, maka para anggota harus membayar ‘iuran’ bulanan anggotanya dengan harga yang tidak murah.

Meskipun harga sewa lapangan dan tawaran member klub eksklusif yang mahal ini, masih ada saja masyarakat yang mengambil kedua tawaran ini. Alasannya sudah jelas, mereka rela mengeluarkan uang banyak demi bermain padel, supaya mereka bisa menunjukkan kelas sosialnya.

Begitulah konsep flexing atau pamer status sosial. Semakin mahal harga suatu barang yang dibeli, maka semakin tinggi pula status sosial orang-orang yang membelinya. Karena inilah, orang tersangkut gaya hidup konsumerisme. Mereka rela mengeluarkan uang banyak hanya untuk bermain padel dan sedikit ‘mengeluarkan keringat’.

Apakah Kapitalisme Memang Buruk Untuk Gaya Hidup Sehat?

Sebenarnya, masuknya kapitalisme dalam gaya hidup sehat tidaklah selalu buruk. Meskipun kapitalisme mendorong orang untuk pamer status sosialnya saat berolahraga, namun kegiatan berolahraga ini akan memberikan dampak positif kepada masyarakat, jika masyarakat itu benar-benar berolahraga. Seperti contohnya, orang-orang tetap lari di pagi hari sembari menggunakan sepatu seharga tiga juta rupiah. Ataupun orang-orang yang mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah hanya untuk menyewa lapangan padel. Mereka akan tetap mendapatkan peningkatan kesehatan meskipun mereka berolahraga sambil pamer sekali pun.

Di saat yang bersamaan, mahalnya produk-produk dan fasilitas pendukung olahraga ini sesuai dengan kualitas yang ditawarkan. Sepatu berharga jutaan rupiah akan memberikan sepatu dengan teknologi mutakhir, sehingga kondisi kaki dari para pelari akan relatif aman dari cedera. Lapangan yang mahal juga memberikan kualitas lapangan yang baik, sehingga para pemain padel akan nyaman.

Meskipun ada yang positif, kita tidak bisa melupakan dampak negatif dari masuknya kapitalisme pada olahraga-olahraga ini. Yang paling jelas, komodifikasi lari dan padel akan memperlihatkan ketimpangan sosial. Olahraga yang seharusnya bersifat universal seperti lari, malah dimasukkan ke sebuah sistem yang eksklusif. Oknum-oknum kapitalisme membuat event lari dengan harga tiket yang mahal, demi mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Event lari inilah yang membuat lari menjadi olahraga yang hanya diakses orang-orang yang punya uang saja.

Ujung-ujungnya, gara-gara aksi picik dari oknum-oknum ini, gaya hidup sehat malah dimanfaatkan untuk menunjukkan sebagai bentuk ‘keistimewaan’ untuk mereka yang punya uang. Sedangkan mereka yang tidak punya tidak berhak untuk mendapatkan keistimewaan itu. Padahal gaya hidup sehat adalah hak dasar yang bisa didapatkan seluruh manusia tanpa terkecuali.

Maka dari itu, kita harus selalu ingat esensi dari olahraga yang kita lakukan. Esensinya adalah, kita berolahraga untuk meningkatkan kesehatan dan menjaga pola hidup sehat. Jangan sampai, kita memaksa diri untuk ikut-ikutan pamer kelas sosial saat berolahraga, sehingga kita tidak terjebak pada konsumerisme. Jika memang kita tidak bisa menyewa lapangan padel, bukan kah kita masih bisa bermain bulu tangkis di lapangan RT?

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA