Rabu, Agustus 27, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Mungkinkah Dunia Jatuh Dalam Kediktatoran Baru?

by Mata Banua
26 Agustus 2025
in Opini
0
D:\2025\Agustus 2025\27 Agustus 2025\8\8\Gennta Rahmad Putra.jpg
Gennta Rahmad Putra (Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Andalas)

Abad ke-20 merupakan abad yang penuh luka dan penderitaan tak terlupakan bagi umat manusia. Manusia menyaksikan perihnya kekejaman fasisme dan totalitarianisme. Dunia mencatatkan sejarah abadi dari wajah kelam kediktatoran. Diktator seperti Hitler, Mussolini, Mao Zedong, hingga Stalin menjalankan kekuasaan absolut dengan menghancurkan demokrasi serta kebebasan manusia. Setelah Perang Dingin berakhir,munculkan keyakinan bahwa demokrasi liberal adalah pemenangnya. Francis Fukuyama (1992) bahkan dengan berani dan provokatif mengatakan bahwa kemenangan demokrasi liberal sebagai “akhir sejarah.” Namun tiga dekade berselang, pernyataan itu sudah selayaknya diragukan. Kehadiran China, Rusia, Iran dan negara-negara non-demokratik lain mulai melihatkan tajinya di panggung global. Pada akhirnya justru menimbulkan pertanyaan kritis baru, yaitu; mungkinkah dunia sedang bergerak menuju kediktatoran dalam wajah yang baru?

Regresi Demokrasi

Artikel Lainnya

D:\2025\Agustus 2025\27 Agustus 2025\8\Nizar Al Farisy.jpg

Peraturan Daerah Sebagai “Magnum Opus”

26 Agustus 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Gaza Dilanda Kelaparan Terencana, Dunia Harus Membuka Mata

25 Agustus 2025
Load More

Berkaca kepada laporan internasional dan kita sepakat bahwa adanya tren penurunan demokrasi (democratic backsliding) secara signifikan (Marina Nord et all, 2025). Freedom House mencatat bahwa penurunan kebebasan global selama 19 tahun berturut-turut (Freedom House, 2024). Negara-negara yang dulunya dianggap sebagai model utama demokrasi dunia seperti Amerika Serikat, India, dan Hungaria, saat ini mulai memperlihatkan gejala kemunduran yang signifikan. Gejalanya bukan lagi lewat kudeta militer atau penggulingan paksa, tetapi dengan melakukan pelemahan kepada lembaga demokrasi secara perlahan. Hadirnya pemimpin-pemimpin yang berkarakter populis menjadi ciri khas ketiga negara tersebut. Upaya pengendalian media, politisasi lembaga yudikatif, dan pelemahan kelompok oposisi merupakan pola yang jamak terjadi di berbagai negara saat ini (Wuncsh & Blanchard, 2022). Pola ini dikenal sebagai democratic backslidingkhas abad ke-21 (Barmeo, 2016; Diamond, 2020). Mempertahankan fungsi elektoral dalam demokrasi, namun secara substansinya sudah kehilangan arti dan nilainya. Belakangan kita menyebutnya sebagai rezim hibrida atau competitive authoritarianism (Levitsky & Way, 2020).

Potensi Kediktatoran berwajah Baru

Berbeda jauh dengan diktator klasik yang mencirikan kekerasan fisik, otoritarianisme modern lebih halus (soft). Grzegorz Ekiert dan Noah Dasanaike (2024) menyebutkan bahwa fenomena tersebut sebagai “The Return of Dictatorship”. Pemilu tetap dilakukan, eksistensi partai tetap ada, parlemen tetap rutin bersidang. Namun, semua itu hanyalah sebuah prosedur tanpa adanya substansi. Keberadaan pemimpin populis menggunakan narasi rakyat (the people) untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, setelah terpilih ia melancarkan aksinya untuk mempersempit ruang kebebasan. Semua itu dilakukan melalui cara yang kelihatan sah, seperti amandemen konstitusi atau melalui revisi Undang-Undang (UU).

Contoh termutakhir diantaranya; Rusia di bawah Vladimir Putin, Turki melalui Recep Tayyip Erdogan, Israel di bawah Benjamin Netanyahu, atau China dengan Xi Jinping. Bahkan di negara demokrasi mapan sekalipun, secara mengejutkan muncul figur populis seperti Donald Trump (Amerika Serikat) dan Jair Bolsonaro (Brazil). Uniknya mereka dipilih melalui pemilu, namun setelahnya secara halus merongrong melemahkan institusi dan lembaga demokrasi dari dalam. Sebuah temuan ilmiah mengatakan bahwa negara-negara seperti China dan Rusia memiliki pengaruh dalam penyebaran gelombang otokratisasi (exporting autocrat’s playbook) ke dalam berbagai negara mitra (Jang & Yoo, 2024). Penyebaran ini bukan bermotifkan pada ideologi, melainkan bagaimana sebuah rezim dapat mempertahankan hegemoni kekuasaannya.

Keuntungan bagi Populisme

Kediktatoran baru melalui teknologi digital akan menguntungkan bagi populisme. Keberadaan pemimpin populis akan dengan mudah mengendalikan kekuasaan melalui pemanfaatan teknologi digital tersebut. Mengingat AI memiliki dampak buruk dalam penyebaran disinformasi. Tentunya ini modal berharga bagi para pemain populis untuk kepentingan elektoralnya. Pemimpin populis selalu mengklaim diri sebagai suara rakyat, tetapi di balik itu mereka justru bersekutu dengan elite ekonomi. Demokrasi dijadikan alat untuk mengamankan kepentingan kelompok kecil. Fenomena ini terlihat di banyak negara, termasuk yang sebelumnya dipuji sebagai demokrasi mapan seperti AS di bawah Donald Trump saat ini. Oleh karena itu, AI memiliki hubungan berbahaya jika bersekutu dengan pemimpin yang berkarakter populis. Pengendali narasi dengan pendekatan populisme menjadi cara ampuh dalam penyebaran disinformasi di ruang digital.

Teknologi sebagaiKekuasaan

Kediktatoran klasik bertumpu pada pasukan tentara dan polisi rahasia, namun kediktatoran baru ini mengandalkan teknologi. Teknologi yang dimaksud merujuk kepada Artificial Intelligence (AI). Kemampuan AI dalam mengolah data besar (big data) dan algoritma media sosial menjadi saranan untuk kontrol sosial. China saat ini menggunakan teknologi pengawasan dari kamera pengenal untuk mengidentifikasi wajah hingga sistem skor sosial. Hal ini menjadi contoh bagaimana sebuah negara dapat memantau dan mengatur perilaku warganya (Kreps & Kriner, 2023).

Selain itu, ancaman tidak hanya datang dari negara. Perusahaan teknologi global juga memiliki kuasa besar dalam membentuk opini publik. Algoritma yang menentukan informasi apa yang kita lihat dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh aktor politik. Propaganda digital, disinformasi, dan polarisasi sosial kini menjadi senjata yang tak kalah ampuh. Menyepakati Yuval Noah Harari di dalam buku terbarunya berjudul “Nexus” (2024), menyebutkan bahwa kemampuan yang dimiliki AI sangat memungkinkan pengguna teknologi ini untuk kepentingan kekuasaan. Sehingga jika tidak segera diatasi, maka ini bisa menjadi sebuah ancaman. Melalui sebuah paper bertajuk “AI In 2027”, Daniel Kokotajlo dan kolega (2025) telah memprediksi dan memproyeksikan kemampuan AI bukan semata pada arena inovasi teknologi, melainkan juga berimplikasi kepada penguasaan isu geopolitik, khususnya rivalitas antara AS dan China. Tentunya jika tidak ada tindak lanjut berupa regulasi dan proteksi terhadap AI, maka tidak berlebihan jika Yuval Noah Harari mengatakan bahwa AI akan menjadi totalitarianisme jenis baru.

Pendekatan dan Pola Baru?

Pertanyaan intinya adalah apakah dunia benar-benar akan jatuh dalam kediktatoran baru? Tentu pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang kritis. Gejala pelemahan demokrasi sudah terlihat jelas, akan tetapi perlawanan atas itu juga terus muncul. Gelombang protes rakyat di berbagai negara, munculnya media independen, hingga gerakan civil society menjadi penyeimbangnya. Sehingga ini juga menjadi keuntungan di dalam ketahanan dari demokrasi itu sendiri.

Namun, sisi kritis lain yang mesti kita pahami yaitu kediktatoran baru jauh lebih rumit untuk dikenali. Tidak hanya hadir dalam bentuk pemimpinberkuasa seumur hidup atau partai tunggal, melainkan juga dalam sistem yang membungkus dirinya dengan legitimasi demokratis. Menyepakati argumen Anne Applebaum dalam “Autocracy, Inc” (2024), yang membongkar mitos otoritarianisme. Ia melihat adanya fenomena otoritarianisme yang telah berevolusi dalam berbagai bentuk dan kerap kali berlindung di balik jubah demokrasi. Fenomena ini merujuk kepada banyaknya bentuk rezim di dunia saat ini. Bukan semata dibedakan antara mana yang demokrasi dan mana yang otoriter semata (Jonas Willibald Schmid, 2025). Inilah bentuk dari hubungan antara pola kemunduran demokrasi abad ke-21 dengan keberadaan teknologi AI. Sangat memungkinkan interaksi antara dua hal ini akan membentuk kediktatoran jenis baru; digital authoritarianism. Bukan datang dengan ideologi atau doktrin, melainkan melalui penguasaan teknologi digital bermotif kekuasaan penuh.

Keadaan dunia saat ini penuh dengan ketidakpastian. Abad ke-21 bisa menjadi era keemasan bagi demokrasi digital, tetapi juga bisa melahirkan otoritarianisme digital. Semua ini bergantung pada kesadaran masyarakat global, khususnya para elite dan pemilik perusahaan AI. Jika kesadaran masyarakat masih bersikap abai, kediktatoran baru akan muncul tanpa perlawananberarti.AImembutuhkan regulasi dan proteksi. Baik secara pemanfaatan, penggunaan dan penyebarannya. Tentunya ini berdasarkan kepada prinsip kebijaksanaan dan keadilan. Jika kesadaran kritis seluruh pihak terus dipelihara, maka demokrasi masih punya harapan untuk terus bertahan.

Perihal pertanyaan “mungkinkah dunia jatuh dalam kediktatoran baru?” Hal ini bukan semata wacana akademik atau bahan diskusi di “siang bolong”. Ini adalah bentuk tantangan politik sekaligus moral dan etika. Demokrasi tidak pernah hadir secara instan. Demokrasi harus diperjuangkan dan dipertahankan secara berkelanjutan.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA