
“Ubi societasibi ius”, adalah sebuah adagium klasik yang secara maknawi menyiratkan bahwa”dimana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Sebagai negara hukum, Negara Indonesia menganut sistem hukum civil law yang memiliki karakteristik khas dengan konfigurasi peraturannya yang tertulis, maka lewat peraturan perundang-undanganlah Negara mengatur segenap warganya, termasuk melalui Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota)adalah salah satu instrumen yang sangat penting dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berlandaskan pada otonomidaerah, sehingga dalam pembentukannya harus mencerminkan asas formil maupun materiel.
Kompleksitas penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Bagi sebagian orang menyusun rancangan peraturan perundang-undangan, seperti Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) bukanlah perkara yang sepele. Perlu keahlian dan kecermatan tingkat tinggi dalam perancangannya.Perancang/penyusun Ranperda kudu piawai memosisikan diri sebagai pembaca; pengguna; sekaligus pelaksana, sehingga mampu memandang keinginan dan kepentingan beragam pihak dari berbagai sudut, atau dengan kata lain tidak “berkacamata kuda”. Selain itu, juga mumpuni dalam berfikir secara holistik (menyeluruh) dan ekstensif (menjangkaujauh), serta berpersfektif luas (helicopter view).
Dalam hal Ranperda disertai dokumen naskah akademik, maka yang menjadi tantangan bagi sang perancang/penyusun adalah bagaimana mengalihwahan akan bahasa kajian/penelitian pada naskah akademik kebahasa hukum pada materimuatan Ranperda, dan selanjutnya normanya tersebut harus berdayaguna dan dapat diaplikasikan, tidak menjelma menjadi “macankertas”, garang di norma namun memble pada penerapannya.
Tantangan lainnya, sebuah Ranperda sepatutnya dapat berumur panjang dan tetap relevan, sehingga tidak diubah atau diganti dalam tempo yang singkat, selama tidak ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan yang menaunginya. Jadi, materimuatannyabenar-benar mengakomodasi kebutuhan masyarakat sepenuhnya dan menjawab persoalan di daerah seutuhnya.
Asas kejelasan rumusan
Pada hakikatnya, bahasaPeraturan Daerah tetaptunduk pada Bahasa Indonesia, namun memiliki corak pembeda. Seperti halnya laras bahasa notaris, bahasa peradilan, hingga bahasa kontrak. Bahasa Peraturan Daerah beresensikan sebuah norma yang termuat sifat mengatur, mengikat, dan memaksa. Maka dipandang perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam mendesain kata demi kata, sehingga terangkai sebuah norma yang berkaidah.
Kejelasan rumusan menjadi “harga mati” dalam melakukan penormaan, dan jika mengesampingkan ihwal ini maka sebuah Ranperda menciderai asas formil, yaitu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana termaktub dalamPasal 5 huruf f Undang-UndangNomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-UndangNomor 13 Tahun 2022 tentangPerubahanKedua Atas Undang-UndangNomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Undang-UndangPPPUU).
Peran Kantor Wilayah Kementerian Hukum
Di lain sisi,secara integral setiap rumusan norma-normanya harus selaras dengan nilai-nilai Pancasila;Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sederajat; hukum adat; asas-asas hukum (termasuk asas materiel pembentukannya sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang PPPUU);putusan pengadilan; sampai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Berbicara mengenai teknik penyusunannya, sudah tertuang jelas dan rigid dalam Lampiran II Undang-Undang PPPUU, sehingga perancang/penyusun tinggal mengikuti “aturan main” penyusunan normanya.
Lampiran ini menjadi rujukan pakem, agar tidak melenceng dalam meramu kalimat normatif dan terhindar dari kalimat yang menjurusin formatif atau pun bernuansa deskriptif.
Tidak salah, jika Kantor Wilayah Kementerian Hukum, yang salah satunya adalah Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalimantan Selatan, turut mendukung dan membantu terwujudnya suatu Peraturan Daerah yang baik dan berkualitas, melalui tugas pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi, sebagai suatu proses penyelarasan substansi rancangannya dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan di atas, sehingga menjadi peraturan perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan yang utuh dalam kerangka sistem hukum nasional.
Seni dalam merancang Peraturan Daerah
Menurutsayapribadi, merancang Peraturan Daerah itu memiliki seninya tersendiri dan perancang/penyusun Peraturan Daerah termasuk seorang pekerja seni. Menyusun Ranperda secara ekslusivitas memiliki ruang ekspresinya sendiri. Mengapa demikian? Perihal ini beralasan, lantaran dalam menformulasikan kalimat yang mengandung norma tidak boleh dibuat sembarangan, apalagi serampangan. Struktur kalimat yang jelas dan lugas mesti tertata secara konstruktif dan bukan menjadi deretan ka limat “kosong”, yang tidakmemilikidaya ikat.
Merumuskan norma dalampasal per pasal, ayat per ayat Ranperda, tidak hanya mengandalkan rasionalitas, namun harus juga mengindahkan aspe kestetikanya. Rasionalitas menuntut penggunaan kecerdasan dalam bernalar/berlogika dan estetika menggiring kepada kepekaan rasa terhadap nilai-nilai luhur di tengah masyarakat.
`Kesan estetika lainnya, Ranperda itu memiliki anatomi dengan komposisi bagian yang cukup unik, tersusun secara sekuens dan sistematis. Ada bagian judul sebagai refleksi dari materi muatan, bagian irah-irah frasa.
“Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” sebagai unsur keilahian, bagian konsiderans sebagai pokok pikiran, bagian dasar hukum sebagai acuan yuridis, bagian diktum sebagai penegasan dan pengikat, bagian batang tubuh sebagai materi pokoknya, bagian penutup tertuang asas publisitas, sampai dengan bagian penjelasan sebagai tafsir resmi.
Bagisaya, Ranperda yang telahsahditetapkan dan diundangkanmenjadiPeraturan Daerahbisadikatakansebagaisebuahkarya agung(magnum opus),karenatelahdigodokmelalui proses panjang yang membutuhkananalisisberfikir yang terorganisir,dayanalar yang kuat, dan jugaharusberestetikasecaratekstual dan konstekstual.
Berakardarialasanitulah dan dengan pertimbangan tingkat kerumitan penyusunan sebagaimana penjelasan sebelumnya,maka “keindahan”dari sebuah Peraturan Daerah itu tervalidasi.
Secara autentik, sederet materi muatannya memiliki identitas bahasa peraturan perundang-undangan dengan tetap berada pada koridor berbahasa yang baik dan benar, sebagaimana cerminan dari kepatuhan terhadap asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaituasaskejelasanrumusan.
Apalagi dengan ditambah Peraturan Daerah dimaksud mempunyai nilai kemaslahatan yang luar biasa, mengemban cita-cita mulia dalam rangka memenuhi hak-hak konstitusional masyarakat, dan telah mereferesentasikan kebutuhan daerah, maka kemilau”keindahan”nya pun kianterpancar lagi dan niscaya akan menjadi jalan terang bagi pembangunan hukum yang lebih inklusif.