
Delapan dekade perjalanan republik seharusnya menjadi momen perayaan atas terwujudnya cita-cita kemerdekaan: membangun masyarakat adil dan makmur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Namun, di usia 80 tahun nanti—hanya dalam hitungan waktu—ekonomi Indonesia masih menyisakan tanda tanya besar. Apakah kemerdekaan ini benar-benar milik semua rakyat, atau hanya sebagian kecil yang merasakan buahnya?
Sejak proklamasi 1945, perekonomian kita berulang kali diwarnai krisis—dari hiperinflasi 1960-an, krisis moneter 1998, hingga pandemi COVID-19 pada 2020. Setiap periode memunculkan jargon pembangunan, dari command economy Orde Lama, liberalisasi Orde Baru, hingga reformasi pasar bebas pasca-1998. Namun, dalam berbagai fase tersebut, masalah inti berupa ketimpangan struktural belum pernah terselesaikan secara tuntas.
Data BPS (2024) menunjukkan Gini ratio Indonesia berada di kisaran 0,388, nyaris stagnan dalam satu dekade terakhir. Artinya, kesenjangan distribusi pendapatan masih jauh dari ideal. Lebih memprihatinkan, laporan World Inequality Database (2023) mengungkap bahwa 1% penduduk terkaya menguasai lebih dari 17% total kekayaan nasional. Sejak 2010, proporsi ini hampir tidak bergeser, menandakan demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 belum berjalan.
Ketika sebagian besar rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, segelintir orang menikmati pertumbuhan aset yang melesat. Dalam laporan Credit Suisse (2023), jumlah miliarder Indonesia naik dari 26 orang pada 2013 menjadi 28 orang pada 2023, tetapi kontribusi mereka pada penciptaan lapangan kerja produktif tetap terbatas. Hal ini memunculkan paradoks: pertumbuhan PDB yang stabil di kisaran 5% ternyata tidak otomatis menetes ke bawah.
Penyebabnya bukan hanya pada mekanisme pasar, tetapi juga pada regulasi yang belum berpihak pada pemerataan. Sejumlah undang-undang ekonomi terbaru, seperti UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja dan UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), memang mengusung semangat kemudahan berusaha dan stabilitas keuangan. Namun, celahnya adalah minimnya pasal yang mengatur distribusi aset dan akses permodalan bagi kelompok usaha mikro, koperasi, dan petani.
Kelemahan lain terletak pada implementasi demokrasi ekonomi yang seharusnya menjadi roh pembangunan. Prinsip “produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua” dalam Pasal 33 justru tergantikan oleh dominasi korporasi besar dan konglomerasi lintas sektor. Tanpa reformasi regulasi yang berpihak pada rakyat kecil, pasar bebas hanya akan memperkuat posisi pemain lama.
Distribusi aset adalah salah satu kunci. Tanah, modal, dan teknologi perlu diakses secara merata. Reforma agraria yang dicanangkan pemerintah sejak 2017 misalnya, baru terealisasi sebagian kecil—dari target 9 juta hektare, hingga 2024 baru sekitar 5 juta hektare yang berhasil didistribusikan. Sementara itu, akses permodalan masih didominasi kredit konsumtif, bukan produktif.
Di sinilah pentingnya inovasi kebijakan yang berani. Salah satu ide yang dapat diadopsi adalah Kotak Koperasi—sebuah instrumen pengumpulan dana publik berbasis digital yang dikelola secara transparan oleh koperasi modern. Model ini memungkinkan masyarakat menjadi pemilik sekaligus penerima manfaat investasi, mirip konsep crowdfunding tapi dengan tata kelola demokratis sesuai prinsip Pasal 33.
Kotak Koperasi bisa diintegrasikan dengan ekosistem BUMDes, UMKM, dan start-up lokal. Pemerintah dapat memberi insentif pajak bagi penyetor modal, sementara OJK dan Kementerian Koperasi memastikan pengawasan ketat. Dengan basis digital, transparansi penggunaan dana dapat dilihat publik secara real-time, mengurangi risiko moral hazard.
Selain distribusi aset, perlu juga perombakan akses permodalan. UU P2SK 2023 sebaiknya direvisi untuk memberi porsi pembiayaan minimal 30% bagi sektor UMKM dan koperasi dari total kredit perbankan nasional. Saat ini porsinya baru 21%, jauh dari target ideal. Tanpa dorongan regulasi, bank cenderung menyalurkan dana ke sektor yang dianggap aman tetapi minim dampak pemerataan.
Kebijakan fiskal juga perlu diarahkan pada redistribusi. Pajak progresif terhadap kepemilikan aset besar, termasuk properti mewah yang selama ini lolos dari pengenaan pajak optimal, harus dijalankan lebih tegas. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang sukses menggunakan pajak kekayaan untuk membiayai program perumahan rakyat dan pengembangan industri kecil.
Di sisi lain, demokrasi ekonomi tidak akan berjalan tanpa partisipasi publik yang kuat. Pemerintah perlu membangun dashboard keterbukaan data ekonomi—mulai dari distribusi aset, alokasi kredit, hingga realisasi APBN—agar warga dapat mengawasi langsung implementasi kebijakan. Transparansi ini menjadi benteng dari praktik rente yang membajak regulasi.
Inovasi teknologi harus menjadi alat pemerataan, bukan sekadar mempercepat keuntungan segelintir perusahaan digital raksasa. Platform e-commerce, misalnya, dapat diwajibkan mengalokasikan ruang promosi khusus bagi produk UMKM dengan ongkos rendah, sehingga ekonomi digital tidak hanya menguntungkan pemain besar.
Perlu juga langkah afirmatif untuk mendorong kepemilikan saham publik pada perusahaan besar strategis. Skema People’s IPO bisa menjadi jalan, di mana sebagian saham BUMN dan korporasi strategis dijual dengan harga terjangkau kepada warga, dengan pembatasan agar tidak diborong spekulan.
Semua langkah ini membutuhkan revisi paradigma. Kemerdekaan ekonomi bukan sekadar pertumbuhan angka PDB atau meningkatnya indeks investasi. Kemerdekaan berarti setiap warga memiliki akses setara terhadap sumber daya, modal, dan peluang. Tanpa itu, kemerdekaan hanya menjadi narasi kosong yang diulang setiap peringatan 17 Agustus.
Jika tidak ada perubahan, di usia 80 tahun nanti kita hanya akan melihat perayaan yang kontras: pesta elite di pusat kota, dan perjuangan rakyat di pinggiran yang tetap berulang dari generasi ke generasi. Sejarah akan mencatat bahwa kemerdekaan gagal menuntaskan janji awalnya.
Oleh karena itu, momentum menuju 80 tahun kemerdekaan harus dimanfaatkan untuk reformasi besar-besaran. Revisi UU yang berhubungan dengan ekonomi, implementasi koperasi untuk rakyat, pajak progresif, distribusi aset merata, dan akses permodalan setara bukan sekadar agenda teknis, melainkan amanat konstitusi. Tanpa langkah berani ini, kemerdekaan ekonomi akan tetap menjadi janji yang belum tuntas.