
JAKARTA – Harga beras di pasar terus merangkak naik di tengah melimpahnya stok beras Perum Bulog.
Per akhir Mei, cadangan beras Bulog tercatat sebesar 3,7 juta ton dan mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah perusahaan berdiri. Anehnya, harga beras makin mahal di tengah ‘banjir’ cadangan tersebut.
Kondisi ini membingungkan banyak pihak dan memunculkan pertanyaan. Sebab, harga tetap tinggi saat pasokan tampak aman, padahal seharusnya bisa turun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2025, harga beras naik di 191 daerah. Bahkan, ada daerah yang harga berasnya tembus Rp54.772 per kilogram (kg). Kondisi ini sangat jauh dari Harga Eceran Tertinggi (HET).
Harga beras di zona 1, meliputi Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi, pada minggu pertama Agustus 2025 rata-rata mencapai Rp14.731 per kilogram (kg) atau naik 1,07 persen dibanding Juli 2025.
Kabupaten Wakatobi mencatat harga tertinggi di zona ini sebesar Rp19.881 per kg, diikuti Bolaang Mongondow Timur Rp18 ribu, dan Buton Utara Rp17.788 per kg.
Di zona 2, mencakup Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan, rata-rata harga beras mencapai Rp15.744 per kg atau naik 1,25 persen dari bulan sebelumnya.
Harga tertinggi tercatat di Kabupaten Mahakam Ulu sebesar Rp20.685 per kg, disusul Kutai Timur Rp18.974 dan Kutai Barat Rp17.972 per kg.
Sementara itu, di zona 3, meliputi Maluku dan Papua, harga beras rata-rata Rp20.068 per kg atau naik 0,79 persen. Kabupaten Intan Jaya menempati posisi tertinggi dengan Rp54.772 per kg, diikuti Puncak Rp45 ribu, dan Pegunungan Bintang Rp40 ribu per kg.
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian mengatakan sejumlah faktor struktural dan kebijakan yang saling terkait menjadi penyebab utama dibalik fenomena ini.
Menurut Eliza, kebijakan pemerintah yang menaikkan harga gabah kering panen (GKP) menjadi Rp6.500 per kg jadi titik awal. Kebijakan ini dinilai bertujuan mulia, yakni meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga keberlanjutan produksi pangan.
Benar saja, efeknya cukup positif, tercermin dari membaiknya Nilai Tukar Petani (NTP) pangan yang naik dari 106,2 (Juni 2024) menjadi 109,24 (Juni 2025). Artinya, pendapatan petani dari hasil panen relatif lebih tinggi dibandingkan biaya produksinya.
“Jika harga gabah tidak disesuaikan, petani kita yang jadi korban, kesejahteraan mereka dipertaruhkan. Jika sektor pangan tidak menjanjikan kesejahteraan, maka akan sulit bagi pemerintah untuk bisa meningkatkan produksi karena petani mengalami demotivasi kalau usaha taninya merugi,” ujar Eliza kepada CNNIndonesia.com.
Namun, kebijakan ini juga dinilai berdampak langsung pada struktur biaya di sisi industri penggilingan dan distribusi. Untuk menjaga margin keuntungan, pelaku usaha terpaksa menyesuaikan harga jual beras di tingkat konsumen. cnn/mb06