
JAKARTA – Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) PiterAbdullah menilai sepinya pusat perbelanjaan tidak semata-mata disebabkan fenomena rombongan jarang beli (rojali) atau rombongan hanya nanya (rohana).
Menurutnya, kondisi itu lebih dipengaruhi perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin bergantung pada layanan digital.
“Sekarang ini mal-mal sepi karena sebenarnya bukan karena rojali dan rohana, sebenarnya hidup juga yang menyebabkan hal itu. Jadi kita pergi ke mal bukan untuk belanja karena belananya sudah kita lakukan secara online,” ujar Piter dalam konferensi pers di Artotel Gelora Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (12/8).
Ia menggambarkan layanan digital memudahkan aktivitas sehari-hari, mulai dari memesan transportasi, makanan, hingga berbelanja.
“Misalnya sekarang ini kalau kita mau pergi tinggal Gojek-in Grab saja dengan sangat mudah. Dulu kita harus awe-awe taksi, berebut taksi atau ojek. Sekarang malam-malam pun kita bisa sangat gampang pesan GoFood, GrabFood, semuanya tersedia,” ujarnya.
Menurut Piter, kebiasaan berbelanja juga berubah signifikan. Antrian panjang di kasir supermarket yang dulu kerap terlihat kii jarang terjadi karena sebagian besar pembelian dilakukan secara daring.
Ia menyebut perkembangan ini menjadi potensi ekonomi besar melalui transaksi digital. “Banyak sekali gaya hidup itu yang sudah berubah dan sebenarnya ini adalah potensi ekonomi yang luar biasa. Berapa besar transaksi ekonomi yang sekarang ini sudah kita lakukan melalui digital, belum lagi yang sifatnya gig workers, para konten kreator misalnya. Ini muncul juga,” ujarnya.
Piter menambahkan ekonomi digital memberi peluang besar meski disertai tantangan disrupsi. Menurutnya, potensi tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Fenomena rojali dan rohana menjadi perbincangan publik usai sejumlah pengelola pusat belanja mengeluhkan minimnya transaksi meski jumlah pengunjung meningkat. bisn/mb06