
JAKARTA – Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dipastikan mengajukan banding atas vonis 4 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Jumat (18/7). Tim kuasa hukum menilai putusan tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga berpotensi membahayakan iklim pengambilan kebijakan oleh pejabat publik ke depan.
”Pak Tom akan banding. Satu hari pun dijatuhi hukuman, dia akan tetap banding karena merasa tidak bersalah,” kata anggota tim kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir di Jakarta, Minggu (20/7), seperti dikutip kompas.com.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (18/7/2025), majelis hakim memvonis Tom Lembong hukuman 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula kristal mentah yang diolah jadi gula kristal putih ke perusahaan yang tidak berhak. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 7 tahun penjara.
Majelis hakim menyatakan, Tom Lembong terbukti melanggar aturan dan memperkaya orang lain atau korporasi. Inti pelanggaran tersebut adalah Tom Lembong dinilai mengesampingkan peran BUMN sebagai instrumen stabilisasi harga gula dengan justru memberikan izin impor kepada perusahaan swasta.
Ari melanjutkan, tim kuasa hukum Tom Lembong saat ini tengah menyusun memori banding. ”Kami, kan, punya waktu tujuh hari untuk berpikir mengajukan banding. Setelah itu, ada waktu 14 hari untuk menyusun memori. Kami baru saja selesai rapat untuk menyiapkannya,” ujarnya.
Menurut dia, banding penting untuk diajukan karena dalam substansi perkara tidak ada niat jahat dari kliennya. ”Pak Tom tidak memiliki mens rea, dan itu diakui jaksa dan hakim. Ia juga tidak menerima keuntungan apa pun, baik langsung maupun tidak langsung. Ini diakui hakim,” kata Ari.
Dalam pandangan kuasa hukum, kesalahan kebijakan yang dikaitkan hakim dengan perbuatan melawan hukum seharusnya masuk dalam ranah administrasi negara, bukan pidana. Sebab, jika setiap kesalahan kebijakan selalu dibawa ke ranah pidana, para pengambil kebijakan nanti berpikir dua kali untuk berpikir kreatif.
Ari kemudian memperingatkan potensi dampak putusan tersebut terhadap pejabat publik yang kini masih menjabat. ”Mereka akan berpikir dua kali dalam membuat keputusan. Kalau hari ini ambil kebijakan, lima atau sepuluh tahun kemudian bisa masuk penjara. Tidak akan ada yang berani berinovasi,” ujarnya.
Menurut Ari, dalam konteks kebijakan publik, selalu ada pihak ketiga yang diuntungkan, dan itu bukan otomatis berarti tindak pidana. Ia mencontohkan kebijakan pembangunan jembatan yang rusak. Ketika pejabat setempat ingin membangun jembatan tersebut, dipastikan ada pihak yang mendapatkan keuntungan, yakni perusahaan yang membangun jembatan tersebut.
”Selama tidak ada niat jahat, selama tidak ada akal-akalan atau pembagian keuntungan dengan pembuat kebijakan, tidak ada tindak pidana,” katanya.
Ari menambahkan, manfaat dari kebijakan Tom Lembong saat menjabat Menteri Perdagangan justru baru dirasakan publik setelah ia tidak lagi menjabat. ”Sudah dibuktikan ahli bahwa harga gula turun akibat kebijakan Pak Tom. Jadi, evaluasi atas kebijakan itu baru bisa dilakukan beberapa bulan setelah pelaksanaan, bukan saat itu juga,” ujarnya.
Sementara, pihak Kejaksaan Agung saat ditanya responsnya terkait vonis Tom Lembong, pada Jumat lalu, mengatakan masih akan mempelajari putusan hakim sebelum mengambil keputusan.
”Kita menghormati putusan pengadilan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna dikutip dari Kompas.com, Jumat (18/7).
Menanggapi putusan hakim yang lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum, Kejaksaan akan lebih dahulu mempertimbangkan putusan dalam kurun waktu tujuh hari ke depan.
”Jaksa akan bersikap pikir-pikir dalam waktu tujuh hari terhadap putusan tersebut,” lanjutnya.
Terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Albert Aries, juga menyoroti pertimbangan hukum hakim dalam perkara ini. Ia mengkritisi dua poin utama dalam putusan, yakni soal ketidakcermatan Tom Lembong dalam memberikan izin impor gula kristal mentah dan kurangnya evaluasi atas operasi pasar yang dilakukan oleh koperasi.
Menurut Albert, pertimbangan tersebut seolah-olah menilai Tom Lembong lalai, padahal unsur kelalaian tidak termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang digunakan untuk mendakwanya.
”Jika pembentuk UU Tipikor ingin memasukkan unsur kelalaian, seharusnya itu disebutkan secara eksplisit dalam rumusan delik. Karena tidak disebutkan, harus ditafsirkan bahwa delik tersebut memuat unsur kesengajaan,” kata Albert.
Ia merujuk pada Pasal 36 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang menyatakan bahwa tindak pidana dilakukan karena kesengajaan, kecuali jika kealpaan (kelalaian) secara tegas ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian, lanjut Albert, tindakan Tom Lembong yang dianggap melanggar hukum dan memperkaya pihak lain karena memberikan izin impor tidak bisa dipidana kecuali ada unsur mens rea atau niat jahat yang dibuktikan tanpa keraguan (beyond reasonable doubt). web