JAKARTA – Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut salah satu pengusaha besar diduga terlibat kasus beras oplosan. Ia tidak menyebut identitas pengusaha tersebut. Amran hanya mengatakan pengusaha itu kini tengah diperiksa penegak hukum.
Menurut Amran kasus beras oplosan tesebut segera dituntaskan dengan melibatkan pihak kepolisian dan kejaksaan, sehingga masyarakat kecil tidak merasa dirugikan.
“Nah ini harus diselesaikan, kami sudah menyurat ke Kapolri dan Kejagung dan Satgas pangan juga sudah bekerja yang melibatkan pengusaha besar yang telah diperiksa tanggal 10 kemarin,” kata Andi Amran usai hadiri acara wisuda Unhas
Amran menyebutkan bahwa sebanyak 212 merek beras tidak seuai standar ditemukan oleh Satgas Pangan. Kerugian masyarakat atas temuan tersebut mencapai Rp 99 triliun.
“Yang menarik ada 212 merek beras yang merugikan masyarakat mencapai Rp 99 triliun. Katakanlah Rp 100 triliun, kalau itu terjadi selama 10 tahun, kan bisa mencapai Rp 1000 triliun, kalau 5 tahun bisa Rp 500 triliun. Ini harus diselesaikan,” ungkapnya.
Pemerintah mengumumkan 212 merek beras medium dan premium diduga oplosan. Merek-merek itu setidanya tersebar di 10 provinsi.
Temuan bermula dari penindakan kepolisian terhadap gudang di Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, Banten. Polisi menemukan modus beras Bulog yang telah diputihkan dibungkus dengan merek Ramos dan Bantuan Pangan dari Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Beras hasil oplosan itu dipasarkan di Bogor, Tangerang, Serang dan Kota Cilegon. Mereka sudah beroperasi sejak 2019. Para pelaku mengantongi keuntungan Rp732 juta hanya untuk periode Desember 2023 hingga Maret 2024.
Kementerian Pertanian (Kementan) juga melakukanuji kualitas terhadap 268 sampel beras dari 212 merek. Pengujian dilakukan pada 6 hingga 23 Juni 2025.
Hasilnya, 85,56 persen beras premium yang diuji tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Kemudian, 59,78 persen beras premium tersebut juga tercatat melebihi harga eceran tertinggi (HET). Sekitar 21,66 persen memiliki berat riil yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tertera pada kemasan.
Kementan juga menemukan 88,24 persen beras medium tidak memenuhi standar mutu SNI. Sekitar 95,12 persen beras medium ditemukan dijal dengan harga yang melebihi HET.
Kementan mencatat 9,38 persen memiliki selisih berat yang lebih rendah dari informasi yang tercantum pada kemasan.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai masalah bersumber dari ketimpangan harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap gabah kering panen (GKP) dengan harga eceran tertinggi (HET) beras.
Pemerintah menaikkan HPP GKP 47 persen sejak urusan beras ditangani Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada 2023. Sementara itu, HET beras medium hanya naik 30 persen dan HET beras premium hanya naik 16 persen.
“Ketika HPP GKP naik menjdi Rp6.500 per kg, HET-nya tidak disesuaikan, tidak ada kenaikan. Padahal, kita semua tahu gabah kering panen itu bahan baku beras. Kalau bahan bakunya naik, berasnya mestinya naik,” kata Khudori. cnn/mb06