Oleh : Ummu Rania
Kalimantan Selatan, wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti tambang dan hutan, ironisnya masih menghadapi persoalan serius dalam hal akses pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil dan miskin. Data dari Radar Banjarmasin (30/6/2025) menyebutkan bahwa angka anak tidak sekolah (ATS) di Kabupaten Banjar mencapai 12.752 anak—tertinggi di seluruh provinsi. Fenomena ini tentu mengundang keprihatinan mendalam dan membutuhkan solusi yang mendasar, bukan sekadar tambal sulam.
Menurut analisis Badan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Kalimantan Selatan, persoalan utama tingginya angka ATS di Banjar adalah terbatasnya akses transportasi dan minimnya satuan pendidikan, terutama di jenjang lanjutan serta pendidikan khusus seperti Sekolah Luar Biasa (SLB). Banyak anak usia sekolah kesulitan melanjutkan pendidikan setelah jenjang dasar karena sekolah lanjutan berada jauh dari tempat tinggal mereka atau bahkan tidak tersedia di daerah mereka.
Kondisi ini diperparah oleh faktor ekonomi. Meskipun pemerintah menyatakan bahwa pendidikan dasar bersifat gratis, kenyataannya masih banyak biaya tidak langsung yang harus ditanggung oleh masyarakat, seperti seragam, buku, transportasi, hingga iuran komite sekolah. Fasilitas sekolah di daerah-daerah terpencil juga sering kali rusak atau sangat minim.
Masalah ini tidak dapat dilepaskan dari sistem yang mendasari kebijakan pendidikan saat ini, yaitu sistem kapitalistik-sekuler. Dalam paradigma ini, pendidikan cenderung dipandang sebagai komoditas ekonomi yang dinilai dari sisi keuntungan dan biaya, bukan sebagai kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Akibatnya, beban pendidikan lebih banyak ditanggung oleh individu atau keluarga, sementara peran negara terbatas pada fasilitasi dan regulasi.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang meletakkan pendidikan sebagai hak mendasar bagi setiap individu dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Dalam pandangan Islam, pendidikan tidak hanya menjadi sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga sebagai jalan untuk membentuk pribadi yang bertakwa dan mampu berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan orang yang beribadah adalah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang.” (HR. Abu Dawud). Ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan ilmu dalam Islam, sehingga negara Islam menjadikannya sebagai kebutuhan pokok yang harus dijamin oleh negara.
Negara dalam sistem Islambertanggung jawab penuh dalam menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat, tanpa diskriminasi ekonomi maupun geografis. Sekolah akan dibangun di dekat pemukiman masyarakat, termasuk di wilayah pelosok, dengan pembiayaan yang diambil dari Baitul Mal—lembaga pengelola keuangan negara dalam Islam.
Solusi tuntas terhadap masalah pendidikan, khususnya di daerah-daerah tertinggal seperti Banjar di Kalimantan Selatan, membutuhkan perubahan sistemik. Bukan sekadar perbaikan teknis, tetapi perubahan paradigma pengelolaan negara, termasuk di bidang pendidikan. Dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, pendidikan akan menjadi hak yang benar-benar dapat diakses oleh seluruh rakyat, bukan hanya bagi mereka yang mampu secara ekonomi.