Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Dunia kembali diguncang oleh sebuah aksi luar biasa: “Global March to Gaza”, sebuah pawai internasional yang melibatkan lebih dari 4.000 peserta dari 80 negara. Aksi ini bukan sekadar simbol solidaritas, tetapi sebuah bentuk nyata perlawanan terhadap penjajahan dan blokade brutal yang diberlakukan oleh Zionis Israel atas Gaza sejak Oktober 2023.
Konvoi yang dikenal dengan nama Steadfastness Convoy ini bergerak dari Tunisia menuju Rafah di perbatasan Mesir-Gaza, dengan rute melalui Libya dan Mesir. Para peserta berencana untuk melakukan long march menuju Rafah, dan setibanya di sana, mereka akan melakukan aksi duduk damai sebagai bentuk tekanan agar Mesir membuka perbatasan dan mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Namun, harapan mulia ini segera ditampar kenyataan pahit. Pemerintah Mesir justru menangkap, menginterogasi, dan mendeportasi ratusan aktivis, termasuk warga negara Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara Arab. Sebanyak 73 orang dilaporkan dideportasi dalam satu penerbangan ke Istanbul. Bahkan lebih dari 200 orang lainnya ditahan di Bandara Kairo.
Konvoi Steadfastness menunjukkan kekuatan umat yang terpendam. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Eduard Camacho, anggota Sekretariat Hubungan Internasional dari serikat alternatif Catalonia (IAC) yang menegaskan bahwa semua peserta membiayai perjalanan mereka secara mandiri (gazamedia.net).
Pada ghalibnya masyarakat akan bangun dari tidur mereka ketika ada hazah anifah (goncangan besar) yang menghantam kehidupan mereka. Mereka akan mencoba melakukan perubahan untuk mengubah kondisi buruk yang menimpa mereka. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Shaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya At-takatul Al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik).
Penjajahan Zionis atas Palestina telah menjadi hazah afifah bagi umat Islam, namun juga masyarakat internasional biasa umumnya. Gejolak amarah masyarakat terhadap kondisi Gaza mereka mencoba berbagai upaya untuk menolong masyarakat Gaza, seperti melakukan Global March di Gaza ini.
Sayangnya, upaya masyarakat ini dihalangi oleh penguasa mereka sendiri. Otoritas Mesir menahan peserta Konvoi Steadfastness di Bandara Kairo dan hotel-hotel di ibu kota untuk diinterogasi sebelum akhirnya dideportasi pada Kamis (12/6/2025).
Otoritas Mesir menyatakan telah mendeportasi lebih dari 30 orang aktivis dengan alasan hendak menuju Sinai Utara tanpa memperoleh izin resmi. Sementara kantor berita Reuters melaporkan, sekurang-kurangnya 73 warga negara asing telah dideportasi untuk satu penerbangan ke Istanbul pada Kamis (12/6/2025). Adapun 100 orang lainnya masih berada di bandara sembari menunggu proses pengusiran (islamtoday.id).
Mengapa penguasa Muslim sendiri justru menghadang jalan bantuan ke Palestina? Ini bukan soal izin administratif semata. Ini adalah manifestasi dari paham nasionalisme dan konsep negara bangsa (nation-state) yang telah mengakar kuat sejak keruntuhan Khilafah Utsmaniyah.
Dengan demikian, jelas para penguasa hari ini tidak benar-benar berdiri di sisi Gaza. Mereka telah berkhianat kepada masyarakat sendiri, khususnya umat Islam di Gaza. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa umat membutuhkan pemimpin yang menjadi junnah (perisai). Pemimpin seperti ini hanya akan lahir dari sistem Islam, yakni Khilafah. Dari Khilafah, lahir sosok Panglima Salahudin Al-Ayyuubi ataupun Sultan Abdul Hamid II yang menjaga Palestina dengan darah dan jiwa raga mereka.
Khilafah tidak akan terwujud kecuali dengan persatuan umat. Hal ini menuntut ada sebuah perjuangan dari diri kaum Muslimin untuk mewujudkan hal tersebut. Rasulullah SAW telah mencontohkan perjuangan tersebut dengan cara dakwah fikriyyah bersama kelompok ideologisnya, Hizbur Rasul. Dari perjuangan kelompok inilah, Rasulullah mendapatkan kekuasaan yang menolong di Madinah untuk mewujudkan kepemimpinan junnah bagi umat Islam.
Bandingkan dengan pemimpin-pemimpin Muslim saat ini, yang rela bekerja sama dengan penjajah demi mempertahankan kekuasaan yang rapuh. Mereka menjaga kepentingan Amerika Serikat dan Israel lebih dari menjaga darah dan kehormatan umat.
Inilah ironi besar abad ini. Di saat rakyat dunia berusaha menolong Gaza dengan tangan kosong, para penguasa justru menjadi benteng terakhir penjajah. Mereka tunduk pada tekanan Zionis dan sekutunya, menolak segala bentuk bantuan yang mengganggu stabilitas geopolitik mereka.
Karena itu, masyarakat seharusnya juga menyadari bahwa untuk menolong masyarakat Gaza dibutuhkan perubahan besar. Tidak cukup pada amalan praktis, seperti mengirim bantuan. Aksi besar-besaran memang bisa memberi tekanan karena menunjukkan kekuatan umat. Namun, agar kekuatan ini bisa benar-benar memberi tekanan, harusnya diiringi dengan sebuah pemahaman ideologis.
Pemahaman ideologis ini akan mengarahkan perjuangan umat agar Palestina benar-benar merdeka, yaitu seluruh tanah Palestina harus kembali ke pangkuan kaum Muslimin dan tidak ada sejengkal tanah pun yang diduduki Zionis Yahudi. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya jamaah dakwah ideologis yang memimpin umat dalam perjuangan ini.
Tertahannya mereka di pintu Raffah justru makin menunjukkan bahwa gerakan kemanusiaan apapun tidak akan pernah bisa menyolusi masalah Gaza karena ada pintu penghalang terbesar yang berhasil dibangun penjajah di negeri-negeri kaum muslimin, yakni nasionalisme dan konsep negara bangsa.
Paham ini telah memupus hati nurani para penguasa muslim dan tentara mereka, hingga rela membiarkan saudaranya dibantai di hadapan mata bahkan ikut menjaga kepentingan pembantai hanya demi meraih keridaan negara adidaya yang menjadi tumpuan kekuasaan mereka yakni Amerika.
Sudah saatnya umat bangkit dari tidur panjang. Aksi-aksi solidaritas kemanusiaan harus dibarengi dengan kesadaran politik Islam yang kuat. Kita tidak bisa hanya mengutuk dari kejauhan atau mengandalkan bantuan sosial. Kita membutuhkan perubahan sistemik, yaitu mengganti sistem sekuler nasionalistik dengan sistem Islam yang menyatukan umat.
Umat Islam mesti bangkit dari tidur panjangnya. Saatnya mereka menyadari bahwa solusinya bukanlah tunduk kepada Amerika atau mencari kompromi dengan musuh-musuh Islam, melainkan kembali pada Islam sebagai sistem dan pemerintahan. Yang akan memimpin kita dalam menghapuskan kezaliman, dan yang akan membebaskan negeri-negeri kita dari pengaruh kolonial.[]