Oleh: Fatimah (Aktivis Muslimah)
Baru-baru ini, Pemerintah Kota Banjarmasin kembali menunjukkan kepeduliannya terhadap isu kekerasan terhadap perempuan, kali ini dengan menggandeng 17 perguruan tinggi dalam perjanjian kerja sama strategis. Melalui DInas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), program ini bertujuan menciptakan lingkungan kampus yang aman, setara, dan bebas dari kekerasan.
Layak diapresiasi, program ini menjadi bukti dari sinergi antara akademisi dan pemerintah juga cukup aktif dalam diskusi dan edukasi untuk membangun kesadaran menjaga diri. Namun, nyatanya di abad ini justru kampus menjadi ladang kasus kekerasan seksual berbagai konteks. Kekerasan terhadap perempuan tidak terjadi di ruang hampa. Ia tumbuh subur dalam sistem kehidupan yang menormalisasi interaksi manusia pada kebebasan tanpa batas, dalam bingkai dan tujuan kapitalisme sekuler dan liberal.
Bagaimana sistem ini malah meningkatkan kasus kekerasan seksual bahkan terhadap perempuan? Sebenarnya, sistem ini secara tidak langsung membuka celah eksploitasi terhadap perempuan melalui budaya pamer otak, hingga pamer tubuh perempuan. Ditambah, sistem ini juga menciptakan ide feminisme yang banyak dijadikan rujukan justru sering meninggalkan kodrat mahkota perempuan. Alih-alih menjadikan perempuan dimuliakan sebagai sosok yang dilindungi secara utuh, feminisme modern justru mendorong perempuan untuk menyaingi laki-laki dalam segala hal tanpa mempertimbangkan perbedaan kodrat yang diatur dalam fitrah.
Maka, meskipun satgas dan ruang aduan dibentuk, selama paradigma dasarnya tetap sama yakni liberalisme dan sekularisme, maka perlindungan yang dimaksud hanya akan menjadi slogan belaka. Perempuan akan tetap rentan menjadi korban, karena tidak ada sistem yang benar-benar menjamin perlindungan hakiki.
Islam memandang perempuan bukan hanya sebagai warga negara yang perlu dilindungi, tetapi sebagai kehormatan yang wajib dijaga oleh negara. Perlindungan dalam Islam bukan sekadar slogan atau reaksi atas kasus yang sudah terjadi, melainkan tanggung jawab hakiki yang melekat pada negara dan masyarakat.
Sistem sanksi dalam Islam bersifat tegas, efektif, dan mendidik. Islam tidak mentoleransi kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan. Pelaku pelecehan atau kekerasan seksual, misalnya, dikenai sanksi yang jelas dan setimpal, tidak hanya untuk memberikan efek jera, tetapi juga sebagai bentuk keadilan bagi korban. Tidak ada ruang bagi kompromi terhadap kezaliman, karena syariat menempatkan kehormatan perempuan sebagai sesuatu yang sakral.
Islam mengatur sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan sangat cermat. Tujuannya bukan untuk mengekang, tetapi untuk mencegah potensi pelanggaran sejak awal. Batasan interaksi, cara berpakaian, hingga adab dalam berbicara diatur dalam kerangka menjaga martabat dan kehormatan masing-masing. Ketika interaksi dijaga dalam koridor syariat, maka ruang bagi kekerasan dan pelecehan menjadi sangat sempit.
Islam menanamkan kesadaran sejak dini, membentuk karakter laki-laki yang bertanggung jawab dan perempuan yang terjaga kehormatannya. Kurikulum Islam tidak sekadar berisi informasi, tetapi membangun pola pikir (fikrah) dan standar sikap (nafsiyah) yang sesuai dengan akidah Islam.
Peran negara dalam Islam wajib menyediakan fasilitas perlindungan dan penegakan hukum. Negara bukan hanya sekadar regulator, tetapi juga pelindung sejati. Negara bertanggung jawab memastikan tidak ada perempuan yang terabaikan, tidak ada korban yang dipersulit, dan tidak ada pelaku yang lolos dari keadilan.
Inilah keunikan Islam dalam menjaga perempuan, tidak berhenti pada tataran simbolik, tetapi dibangun dari sistem kehidupan yang utuh. Perlindungan perempuan bukan sekadar retorika emosional atau program instan, melainkan bagian dari visi besar masyarakat Islami, di mana perempuan dihargai sebagai pilar peradaban, bukan komoditas budaya.
Dan perlindungan hakiki ini hanya mungkin terwujud saat syariat Islam ditegakkan secara kaffah, dalam sistem yang menjamin konsistensi antara nilai, aturan, dan pelaksanaannya. Sebuah sistem yang telah terbukti selama berabad-abad memuliakan perempuan dalam realitas, bukan hanya dalam narasi.