Rabu, Juli 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Mencegah Berita Hoaks Melalui Literasi

by Mata Banua
22 Juni 2025
in Opini
0
D:\2025\Juni 2025\23 Juni 2025\8\8\sac.jpg
Deklarasi perang beriita hoaks pada Expo Kesbangpol Milenial Go to Pemilu di Kota Samarinda.(foto:mb/ Diskominfo Kaltim)

Oleh : Ganet Dirgantara

Berita hoaks atau berita palsu, akhir-akhir ini banyak berseliweran di ruang publik, bahkan dibuat mirip dengan berita yang sedang menjadi tren untuk membuat bias bagi pembaca atau pemirsa.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\2 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Transformasi Polri dan Filosofi Kaizen

1 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Polri dan Nilai Ekonomi Keamanan

1 Juli 2025
Load More

Masih banyak masyarakat yang memercayai informasi palsu alias hoaks akibat ketidaktahuan, bahkan membagikan dan meneruskan berita itu yang pada akhirnya membuat seolah-olah menjadi hal yang benar.

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI mengidentifikasi terdapat 1.923 konten hoaks, berita bohong, dan informasi palsu yang beredar di website dan platform digital sepanjang tahun 2024.

Tim Analisis dan Identifikasi Sebaran Konten (AIS) Subdit Pengendalian Konten Ditjen Aptika menemukenali kategori konten hoaks terbanyak berisi penipuan, yaitu sebanyak 890 konten. Sementara untuk temuan yang paling sedikit dalam kategori mitos, dengan enam konten.

Secara keseluruhan, kategori dan jumlah temuan konten hoaks meliputi kategori politik 237 konten, pemerintahan 214 konten, kesehatan 163 konten, kebencanaan 145 konten, lain-lain 84 konten. Sementara itu, temuan hoaks kategori internasional dan pencemaran nama baik sebanyak 50 konten, perdagangan 35 konten, kejahatan 33 konten, keagamaan dan pendidikan 8 konten serta mitos 6 konten.

Tentunya konten hoaks, berita bohong, dan informasi palsu tidak bisa dibiarkan. Kementerian Komdigi tidak pernah lelah untuk meluruskan berita-berita palsu bahkan harus dibantu oleh media arus utama untuk memperlihatkan fakta yang sesungguhnya kepada publik.

Berita hoaks kerap membonceng di kasus-kasus yang sedang hangat. Sebagai contoh berita penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ternyata beberapa gambar viral di media sosial yang memperlihatkan kerusakan alam di kawasan tersebut dibantah pemerintah (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral).

Berita-berita semacam ini dapat dipastikan memunculkan kehebohan di publik serta pastinya dilatarbelakangi kepentingan tertentu untuk menyebarkan hal-hal semacam ini.

Kecepatan untuk mengantisipasi berita palsu tentunya menjadi langkah penting yang tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan penegak hukum semata. Peran masyarakat untuk memeriksa kebenaran atas berita yang diterima, sebelum dibagikan menjadi langkah penting. Apalagi berita hoaks ini kerap melekat pada kasus-kasus yang sedang hangat (viral) yang membuat penyebarannya bisa lebih cepat.

Filter

Di dalam teori komunikasi, khalayak tidak akan menelan mentah-mentah informasi yang diterima. Khalayak akan memfilter (menyaring) informasi yang didapat berdasarkan pendidikan, budaya, lingkungan (sosial), politik, psikologi, dan lain-lain. Khalayak di dalam komunikasi bukan pihak yang pasif dalam menerima pesan (informasi), tetapi akan mencerna informasi yang diterima, sesuai dengan kebutuhan dan keinginan (sesuai dengan teori uses and gratifications).

Hal yang menjadi pertanyaan, mengapa berita hoaks bisa dengan mudah diterima, bahkan bisa beredar dengan cepat, termasuk di kalangan terpelajar?

Seperti diketahui, selama ini informasi yang didapat di masyarakat, selain bersumber dari media konvensional (cetak, radio, televisi, online) juga bersumber dari media sosial. Perilaku khalayak di kedua media, meski ada kemiripan, tetapi juga ada perbedaan.

Perbedaan signifikan adalah di media sosial interaksi bisa dua arah, akses tidak hanya lokal, tetapi juga global, dan penyebaran informasi sangat cepat. Sementara media konvensional cenderung satu arah, memiliki keterbatasan jangkauan, dan penyebaran informasi lebih lambat.

Kondisi ini juga menggambarkan mengapa konten hoaks leluasa beredar. Di dalam media sosial dikenal kubu yang saling berseberangan, yakni pendukung (lovers) dan penentang (haters). Ibarat di dalam debat, masing-masing kubu berargumentasi untuk memenangkan “jagoannya”.

Demikian juga di dalam grup aplikasi percakapan yang anggotanya homogen, kehadiran lovers dan haters akan tetap ada. Bahkan, mereka kerap bersuara lantang, meski tidak ada hubungan sama sekali dengan orang yang dibela atau diserang. Bagi mereka yang loyal, bahkan fanatik, maka informasi apapun, termasuk yang tidak jelas asal-usulnya, bakal dipakai untuk mempertahankan argumentasi.

Apakah mereka menyadari kekeliruannya karena telah menjadi bagian dari penyebaran berita hoaks? Tentu, semua itu dilakukan dengan sadar, termasuk konsekuensi hukum yang bakal dihadapi. Banyak dari penyebar berita hoaks digerakkan oleh perasaan (emosi), bahwa yang penting pendapatnya benar, tanpa dilandasi pertimbangan yang rasional.

Munculnya berita-berita hoaks ini sudah menjadi persoalan serius. Pada beberapa kasus menimbulkan aksi anarkis, perusakan, bahkan menimbulkan korban. Selain dapat mengganggu keamanan, peredaran berita hoaks ini juga dapat memicu ketidakstabilan ekonomi dan membahayakan kepercayaan investor.

Pemahaman

Di dalam berbagai jurnal ilmiah sudah banyak usulan untuk mengatasi berita hoaks di tengah masyarakat. Meski harus diakui penanganannya dirasakan tidak selalu mudah, karena harus dituntaskan melalui konfirmasi resmi dari institusi berwenang agar publik percaya.

Meski seluruh prosedur penanganan berita hoaks sudah dilaksanakan, pada beberapa kasus sudah telanjur menyebar dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit.

Fakta memperlihatkan berita hoaks akan sulit masuk di tengah masyarakat yang cerdas dan melek informasi. Masyarakat berpendidikan cenderung akan menyaring informasi yang didapat, apalagi jika informasi tersebut tidak rasional atau tidak masuk akal.

Masyarakat yang terpapar berita hoaks adalah mereka yang tidak memiliki bekal referensi yang kuat. Masyarakat yang mengandalkan informasi dari media sosial cenderung rentan untuk menerima berita hoaks dibandingkan mereka yang memiliki bekal kuat di bidang literasi (kepustakaan).

Literasi dapat diartikan sebagai penguasaan sistem tulisan dan segala sesuatu yang terkait dengan aturannya. Definisi lain dari literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, dan memahami teks tertulis.

The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mendefinisikan literasi sebagai kemampuan individu untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, berkomunikasi, menghitung, dan menggunakan materi cetak dan tulisan dengan tujuan mencapai berbagai target dalam pengembangan pengetahuan dan potensi personal.

Di era modern dan digital, seperti sekarang, literasi tetap memegang peranan penting. Penguasaan literasi seseorang ditandai dengan meningkatnya kemampuan dalam berbahasa, membaca, mencerna pembicaraan, bahkan di tingkat yang lebih tinggi memiliki kemampuan menulis.

Dengan penguasaan literasi, seseorang memiliki kemampuan untuk memiliki kecerdasan intelektual dalam mencerna informasi yang diterima. Mereka memiliki sikap kritis untuk memahami informasi dan menyaring kebenaran informasi yang diterima.

Sehingga tidak mengherankan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggiatkan perpustakaan, bahkan memperpanjang jam operasi hingga larut malam. Tujuannya agar mencerdaskan masyarakat, sehingga warga memiliki referensi yang kuat dan memiliki sikap kritis atas informasi yang didapat.

Perpustakaan sebenarnya tidak harus bersifat fisik, beberapa dapat diakses secara digital. Tidak masalah kalau lokasinya, saat ini masih ada di beberapa ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA), namun ke depan diharapkan bisa lebih banyak lagi, untuk menciptakan masyarakat yang melek informasi. (ant)

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA