Mata Banua Online
Jumat, November 7, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Istana Tanggapi Pernyataan Fadli Zon

Soal TIdak Adanya Pemerkosaan Massal '98

by Mata Banua
16 Juni 2025
in Headlines
0

 

 

Berita Lainnya

Prabowo: Aku Hopeng Sama Beliau

Prabowo: Aku Hopeng Sama Beliau

6 November 2025
Usut TPPU, KPK Panggil Anak SYL dan Penyanyi

Usut TPPU, KPK Panggil Anak SYL dan Penyanyi

6 November 2025
MENTERI Kebudayaan Fadli Zon.

JAKARTA – Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi buka suara buntut polemik pernyataan Fadli Zon soal tidak adanya pemerkosaan massal selama kerusuhan Mei 1998. Hasan meminta seluruh pihak untuk tidak mengambil kesimpulan secara cepat.

“Jadi kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini mungkin bisa jadi diskusi tapi jangan divonis macam-macam dulu. Lihat saja dulu ya pekerjaan yang sedang dilakukan oleh para ahli sejarah dalam menulis sejarah Indonesia,” kata Hasan di kantornya, Jakarta, Senin (16/6), seperti dikutip CNNIndonesia.com.

Hasan menyebut sejarawan yang menggawangi tim penulisan ulang sejarah ini merupakan mereka yang memiliki kredibilitas tinggi.

“Kalau dia mengerti sejarah silakan dialog dengan para ahli sejarah, kalau bukan ahli sejarah ya kita baca sebagai macam bacaan-bacaan saja ya, bacaan di media sosial ya,” ucapnya.

Pernyataan Fadli dalam wawancara “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis soal Revisi Buku Sejarah” yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025 menuai kritik keras. Menurut dia, tragedi pemerkosaan massal dalam kerusuhan rasial 1998 tersebut tidak terbukti.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menyebut pernyataan Fadli tersebut merupakan bentuk penyangkalan ganda demi menghindar dari kesalahan.

“Jelas keliru ucapan yang bilang perkosaan massal saat kerusuhan rasial 13-15 Mei 1998 adalah rumor dan tidak ada buktinya. Rumor adalah cerita atau laporan yang beredar luas di masyarakat tapi kebenarannya diragukan karena tidak ada otoritas yang mengetahui kebenarannya,” kata Usman dalam konferensi pers Koalisi Perempuan Indonesia, Jumat (13/6).

Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari 547 pihak baik organisasi maupun individu menilai pernyataan Fadli sebagai bentuk manipulasi sejarah.

“Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998,” ujar koalisi dikutip dari laman KontraS, Minggu (15/6).

Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyatakan tragedi pemerkosaan massal selama kerusuhan 13-14 Mei menjelang kejatuhan Orde Baru pada 1998, tidak punya data pendukung yang solid.

Fadli menyampaikan itu sebagai jawaban atas kritik terhadapnya terkait pernyataan soal pemerkosaan massal 1998. Menurut Fadli, tragedi tersebut hingga saat ini masih menuai polemik.

Bahkan, kata dia, laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) tak memiliki data yang solid. Fadli mengatakan, hasil laporan TGPF hanya menyebut angka, namun tanpa nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian.

“Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku,” kata Fadli lewat keterangan tertulis, Senin (16/6), yang dikutip CNNIndonesia.com.

Bahkan, lanjut dia, hasil investigasi salah satu majalah tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal penyebutan ‘massal’ dalam peristiwa itu. Ia tak menyebut majalah yang dimaksudnya.

Karena itu, Fadli menilai penyebutan tragedi perkosaan massal perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

“Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri,” katanya.

TGPF kasus dugaan perkosaan dan kekerasan massal terhadap perempuan selama kerusuhan rasial Mei ’98 dibentuk oleh Presiden B.J Habibie pada 23 Juli 1998 saat menjadi Presiden usai Soeharto lengser.

Tim terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat sipil, termasuk aktivis HAM, akademisi, jurnalis, dan aparat keamanan. TGPF dipimpin Marzuki Darusman yang kala itu merupakan anggota DPR dari Fraksi Golkar sekaligus aktivis HAM.

Beberapa anggotanya ada sejarawan Asvi Warman Adam, Karlina Supeli, Sinta Nuriyah Wahid, hingga Todung Mulya Lubis.

Hasil laporan itu menyebut telah terjadi kekerasan dan perkosaan massal dengan korban mayoritas merupakan wanita etnis Tionghoa. Jumlah kejadian tercatat mencapai 85 kasus dan terindikasi terjadi secara terorganisir. Namun, hasil laporan itu tak pernah ditindaklanjuti secara hukum.

Sementara, Fadli membantah tuduhan kasus perkosaan massal akan dihapus dalam proyek penulisan ulang sejarah RI. Sebaliknya, kata dia, buku itu justru akan memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Dia mengatakan penulisan hingga Mei 2025, pembahasan mengenai gerakan, kontribusi, peran, dan isu-isu perempuan telah diakomodasi secara substansial dalam struktur narasi sejarah.

“Salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa,” katanya. web

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper