Kamis, September 18, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Pendidikan Tanpa Jati Diri

by Mata Banua
11 Juni 2025
in Opini
0
D:\2025\Juni 2025\12 Juni 2025\8\Femas Anggit Wahyu Nugroho.jpg
Femas Anggit Wahyu Nugroho (Sarjana pendidikan dan penulis lepas)

Pendidikan nasional dewasa ini mendapat tantangan berat seiring dengan derasnya arus globalisasi.Globalisasi diiringi kemajuan teknologi sehinggamenciptakan keterbukaan ruang di mana interaksi saling memengaruhi terjadi secara global. Hal ini menuntut dunia pendidikan nasional kita untuk menentukan sikap.

Sebenarnya, pendidikan nasional kita telah memiliki landasan yang bagus untuk menyikapi globalisasi. Hal ini terangkum dalam pemikiranBapak Pendidikan Nasional kita yakni Ki Hadjar Dewantara.

Artikel Lainnya

D:\2025\September 2025\18 September 2025\8\8\Ridho Pratama Satria.jpg

Gaya Hidup Sehat dan Oknum-Oknum Kapitalis

17 September 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kurikulum Berbasis Cinta, Solusi untuk Pendidikan Hari Ini?

17 September 2025
Load More

Inti pikiran Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan berkebudayaan.Ki Hadjar Dewantara (2011: 90)dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, menyatakan bahwa pendidikan itu sifatnya terhubung dengan keadaan alam dan manusia pada suatu negara sehingga pengadaan pendidikan perlu disesuaikan dengan kondisi nasional kita.

Lebih lanjut, Ki Hadjar Dewantara (2011: 206) menyatakan bahwa sistem pendidikan haruslah bersifat trikon yaitu kontinu dengan alam kebudayaan sendiri, konvergen dengan ragam kebudayaan dunia, agar bisa konsentris bersatu dalam masyarakat universal.

Dapat dikatakan bahwa pendidikan mestilah tidak lepas dari kebudayaan yang dimiliki bangsa kita. Sebab kebudayaan merupakan sumber nilai-nilai maupun pengetahuan yang mencerminkan jati diri bangsa kita.

Lebih jauh, pendidikan berkebudayaan itu jangan sampai menimbulkan chauvinisme. Pendidikan berkebudayaan haruslah disertai sikap mental keterbukaan dan penyaringan terhadap pengaruh dari luar sehingga kita tetap dapat eksis secara global tanpa kehilangan jati diri bangsa kita.

Melalui pembacaan beberapa literatur, saya pikir pendidikan nasional kita semakin kehilangan jati dirinya. Hal ini terlihat dari riwayat perubahan undang-undang (UU) tentang pendidikan nasional.

UU tentang pendidikan nasional mengalami 3 kali perubahan. UU tentang pendidikan nasional pertama kali adalah UU No.4 Tahun 1950, lalu UU No. 2 Tahun 1989, dan terakhir UU No.20 Tahun 2003.

Dari ketiga riwayat UU tersebut, hanya UU No.4 Tahun 1950 yang dengan tegas menyatakan bahwa salah satu dasar pendidikan nasional adalah kebudayaan kebangsaan Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara yuridis sistem pendidikan nasional dewasa ini semakin mengesampingkan kebudayaan.

Ki Darmaningtyas (2022: 383) dalam bukunya Pendidikan Rusak-Rusakan, melakukan analisis perbandingan terhadap isi 3 UU tersebut yang hasil analisisnya sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan pendidikan nasional justru semakin mundur dari wawasan kebangsaan kita.

Adapun secara praktik kita mafhum bahwa aspek kebudayaan kurang mendapat prioritas. Pelajaran seni misalnya, sering dianaktirikan. Fasilitas yang tidak memadai dan kompetensi pengajar yang kurang menyebabkan pelaksanaan pelajaran seni sering asal-asalan.

Tren media sosial memperparah kondisi tersebut.Beberapa waktu lalu saya menjumpai video di instagram di mana anak-anak kelas 1 SD belajar literasi dengan lagu Aku Dah Lupa yang memang sedang ngetren akhir-akhir ini. Anak-anak tersebut terlihat menyanyi dengan goyangan tangan, bahkan dengan ekspresi yang terlalu centil untuk seusianya.

Saya juga sempat melihat video tren permainan bowling. Diiringi lagu yang sedang ngetren, dalam video tersebut anak-anakberjajar, lalu guru menggelindingkan bola. Ketika bola mencapai anak-anak, mereka berakting tumbang kemudian guru berjoget ria.

Dua contoh tersebut tentu terlalu sedikit, tetapi terlalu banyak untuk menimbulkan pertanyaan, mengapa tidak menggunakan lagu-lagu daerah dan permainan tradisional yang kita miliki?

Pendidikan kita tampaknya gagap dalam menyikapi globalisasi. Pendidikan kita tidak kontinu dengan alam kebudayaan sendiri. Tidak pulakonvergenkarena terlampau terseret arus globalisasi. Pada akhirnya, pendidikan kita kehilangan jati diri sehingga tidak mampu konsentrisdalam masyarakat dunia.

Melihat fakta tersebut, tampaknya kita memang perlu berefleksi untuk mempertanyakan, apa yang salah dari sistem pendidikan kita?

Dalam pandangan saya, salah satu kesalahan fatal dalam sistem pendidikan kita adalahtidak jelasnya “narasi besar” yang mendasari sistem pendidikan kita. Narasi besar yang saya maksud dapat dimengerti sebagai sebuah jawaban atas pertanyaan mengapa kita mesti mengadakan sistem pendidikan.Juga dapat dimengerti sebagai sebuah idealisme mengenai jati diri seperti apa yang kita inginkan dari hasil pendidikan.

Sebenarnya, bangsa kita telah memiliki narasi besar tersebut yakni Pancasila. Pancasila menjadi weltanschauung atau pandangan hidup yang mencerminkan jati diri bangsa kita yang multikultural. Dan memang, Pancasila secara tegas dinyatakan sebagai salah satu dasar pendidikan nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003.

Hanya saja, apabila melihat kenyataan yang ada, bangsa kita masih tampak jauh dari pandangan hidup Pancasila. Diskriminasi terhadap minoritas, korupsi, suap, dan ketidakadilan masih dapat dengan mudah dijumpai. Borok itu tidak hanya terjadi pada pemerintah, tetapi juga pada masyarakat, bahkan pada lingkup persekolahan itu sendiri.

Itulah mengapa saya katakan bahwa narasi besar yang mendasari sistem pendidikan kita tidak jelas.Pancasila hanya tampak indah sebagai butir-butir kalimat saja. Dalam pengamalannya, bangsa kita masih jauh dari kata ideal.

Oleh karena itulah, saya berharap segala pihak dapat bersinergi untuk mewujudkan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan kebudayaan bangsa kita. Kita perlu bahu membahu untuk dapat menginternasionalisasikan nasionalisme dan lokalitas yang kita miliki.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA