Kamis, September 18, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Generasi Menjerit, Saatnya Kembali kepada Islam

by Mata Banua
2 Juni 2025
in Opini
0

Oleh:Ummu Syamil

Di negeri ini, suara-suara lirih semakin sering terdengar. Suara anak-anak yang kehilangan masa kecilnya, suara perempuan yang kehilangan hak dan kehormatannya. Mereka bukan hanya korban kekerasan seksual, tetapi korban dari sebuah sistem kehidupan yang membiarkan luka itu terus tumbuh dan berulang.

Artikel Lainnya

D:\2025\September 2025\18 September 2025\8\8\Ridho Pratama Satria.jpg

Gaya Hidup Sehat dan Oknum-Oknum Kapitalis

17 September 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kurikulum Berbasis Cinta, Solusi untuk Pendidikan Hari Ini?

17 September 2025
Load More

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DPPPAKB) Provinsi Kalimantan Selatan patut diapresiasi karena menyelenggarakan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Upaya ini adalah bentuk nyata dari kesadaran bahwa kita harus terus berjuang untuk melindungi generasi bangsa.

Namun, kita pun perlu bertanya lebih dalam: Apakah pelatihan demi pelatihan cukup untuk mencegah kekerasan seksual yang kian mengkhawatirkan? Ataukah kita perlu mengkaji ulang akar persoalan yang lebih mendasar?

Kenyataannya, kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang-ruang umum, tetapi juga di institusi pendidikan—ruang yang seharusnya menjadi penjaga nilai dan adab. Dan jika kita jujur, kita akan mendapati bahwa sistem sekular demokratis yang memisahkan Islam dari kehidupan adalah akar dari segala kegagalan ini.

Sekularisme adalah sistem yang lahir dari peradaban Barat, yang menjauhkan Islam dari pengaturan kehidupan masyarakat dan negara. Dalam sistem ini, manusia diberi kebebasan mutlak untuk membuat hukum, tanpa menjadikan halal dan haram sebagai standar. Maka tidak heran jika kebebasan dijadikan landasan hukum dan perilaku, termasuk dalam urusan kehormatan dan seksual.

Salah satu contohnya adalah Permen 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Regulasi ini, meski tampak progresif, hanya mengatur bila terjadi kerugian atau ketidaksukaan salah satu pihak. Jika sebuah hubungan dilakukan atas dasar suka sama suka, meski di luar pernikahan, ia tidak dianggap pelanggaran. Padahal, dalam Islam, segala bentuk hubungan seksual di luar pernikahan adalah zina, dan zina adalah dosa besar yang harus dikenai sanksi tegas.

Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

Islam tidak hanya mengharamkan zina, tetapi juga menutup semua jalan yang mengarah kepadanya, termasuk membatasi pergaulan bebas, mewajibkan menundukkan pandangan, dan mewujudkan suasana kehidupan yang bersih dari rangsangan syahwat.

Namun, sistem sekular kapitalistik hari ini justru menormalisasi budaya permisif. Tayangan yang mengumbar aurat, konten pornografi yang mudah diakses, serta gaya hidup bebas—semua ini tumbuh subur karena kebebasan dianggap sebagai nilai tertinggi. Bahkan tubuh dan kehormatan pun dijadikan komoditas untuk kepentingan ekonomi.

Lebih dari itu, sistem pendidikan kita pun tercemar oleh paradigma yang sama. Iman dan akhlak tak lagi menjadi ruh utama. Generasi dibentuk menjadi pribadi yang terampil, tapi kehilangan arah moral. Akibatnya, mereka mudah terseret arus, karena tak lagi memiliki perisai iman.

Islam sesungguhnya telah memberikan solusi yang holistik. Dalam Islam, negara bukan hanya pembuat undang-undang, tetapi juga penjaga moral masyarakat. Negara dalam Islam memiliki peran sentral sebagai pelindung generasi dari kerusakan akhlak dan kejahatan sosial. Sistem sanksi dalam Islam—seperti hudud bagi pelaku zina—bukan dimaksudkan untuk kekerasan, tetapi sebagai pencegah dan pelindung bagi masyarakat secara keseluruhan.

Rasulullah SAW bersabda:

“Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sejarahnya, sistem Khilafah Islamiyah menegakkan aturan Islam secara kaffah, bukan hanya dalam hukum pidana, tetapi juga dalam pendidikan, sosial, dan media. Inilah yang menjaga masyarakat dari penyimpangan, sekaligus menumbuhkan generasi yang bertakwa, cerdas, dan beradab.

Kini saatnya kita menengok kembali ke akar. Mengganti paradigma sekular dengan paradigma Islam. Menjadikan Islam bukan sekadar agama spiritual, tetapi sebagai sistem kehidupan yang mengatur manusia dari aspek pribadi hingga kenegaraan. Hanya dengan Islam, generasi bisa tumbuh dalam perlindungan yang hakiki—terjaga tubuh dan jiwanya, lahir dan batin.

Karena sungguh, jika negara tak lagi menjadi perisai dan Islam terus dijauhkan dari kehidupan, maka generasi hanya akan menjadi bunga yang layu sebelum sempat berkembang.

Wallaahu a’lam

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA