
Oleh: Mahrita Nazaria, S.Pd (Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah)
Bareskrim Polri mengungkap 80 kasus peredaran gelap narkoba sepanjang September-Oktober 2024. Sebanyak 136 pelaku ditangkap dalam pengungkapan ini.( Foto: mb/dtc)
TNI Angkatan Laut melalui Lanal Tanjung Balai Karimun berhasil menggagalkan upaya penyelundupan narkoba jenis sabu seberat 705 kilogram dan kokain seberat 1,2 ton yang berusaha memasuki perairan Indonesia melalui Selat Durian, Kepulauan Riau pada Selasa (13/5). Panglima Komando Armada I Laksda Fauzi dalam konferensi pers, Jumat (16/5), menjelaskan terdapat lima pelaku Warga Negara Asing (WNA) asal Thailand dan Myanmar yang membawa barang tersebut. (antaranews.com)
Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan potensi nilai transaksi belanja narkoba di Indonesia mencapai Rp 524 triliun per tahun. Permasalahan narkoba harus ditangani secara serius melibatkan sejumlah pihak.
Dalam pertemuan dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy di Jakarta, Jumat (9/5/2025), Tantan menyampaikan perkembangan ancaman narkoba kini makin kompleks dan mengkhawatirkan, baik dari sisi prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia maupun di dunia. (beritasatu.com)
Unit Reserse Kriminal (Reskrim) Polsek Banjarmasin Barat berhasil mengungkap kasus peredaran narkotika jenis sabu-sabu dengan menangkap seorang tersangka berinisial GR alias Jabuk, Jumat (16/5/2025), di kawasan Jalan Ir PHM Noor, Gang 88, Kelurahan Pelambuan. Penangkapan tersebut berawal dari laporan warga yang mencurigai aktivitas transaksi narkoba di wilayah tersebut.
Selain sabu, petugas juga menyita barang bukti berupa satu bungkus plastik klip, satu sendok sabu yang terbuat dari sedotan, timbangan digital, dan sebuah handphone milik tersangka.
Tak berhenti di situ, dari hasil interogasi diketahui bahwa GR menyewa sebuah kontrakan di kawasan Bedakan Komek Es Terang, Jalan Sutoyo S, yang diduga dijadikan tempat menyimpan narkoba.
“Setelah dilakukan penggeledahan di kontrakan tersangka, kami kembali menemukan delapan paket sabu siap edar dengan berat bersih 29,02 gram, satu pack plastik klip, dan timbangan digital,” jelas Kapolsek Banjarmasin Barat Kompol Pujie Firmansyah melalui Kanit Reskrim Ipda Ma’zun Koso dalam konferensi pers di Mapolsek.
Tersangka mengaku mendapatkan sabu-sabu tersebut dari seseorang di wilayah Banjarbaru melalui sistem ranjau, yakni metode transaksi narkoba tanpa tatap muka.
Tempat berbeda dengan kasus yang sama, sebanyak 1.218,24 gram barang bukti berupa sabu dan 103 butir ekstasi dimusnahkan Satnarkoba polresta Banjarmasin yang digelar di Dit Tahti Polda Kalimantan Selatan. Ribuan gram barang bukti tersebut merupakan hasil ungkap 51 kasus peredaran narkoba dalam kurun waktu Januari hingga April 2025 oleh Satresnarkoba Polresta Banjarmasin dan jajaran. Proses pemusnahan dipimpin Wakapolresta Banjarmasin, AKBP Arwin Amrih Wientama, bersama Kasat Resnarkoba Kompol Syuaib Abdullah. Menurutnya, hasil pengungkapan ini disebut berhasil menyelamatkan 18.377 jiwa dari potensi bahaya narkoba. Ia juga menyoroti bahwa nilai ekonomi dari barang haram itu ditaksir mencapai Rp1,8 miliar. Namun angka tersebut hanyalah sebagian dari kerugian yang bisa ditimbulkan. (klikkalsel.com)
Penangkapan sindikat tidak pernah sepi diberitakan media. Sayangnya, yang tertangkap hanyalah bandar narkoba kecil, sedangkan bandar besar beserta jaringannya sangat sulit diberantas.
Badan Narkotika Nasional (BNN) sekalipun tidak mampu membekuk jaringan besar narkoba. Terlebih, bukan lagi satu rahasia jika oknum aparat banyak yang terlibat. Penggunaan yang tidak terbatas pun melibatkan banyak kalangan. Saat ini, pengguna narkoba makin beragam, mulai dari kalangan pelajar, ibu rumah tangga, artis, selebgram, hingga aparat penegak hukum. Meski angkanya menurun, bukan berarti permintaan narkoba turun drastis. Buktinya, 1,3 juta ekstasi diproduksi demi memenuhi permintaan pasar. Sebagaimana prinsip ekonomi dalam kapitalisme, ketika permintaan barang meningkat, pengadaan stok barang akan meningkat pula. Inilah potret buram negeri muslim terbesar. Narkoba yang telah jelas haram malah kian menggurita dan merajalela.
Setidaknya ada lima faktor penyebab sulitnya untuk memberantas narkoba.
Pertama, sistem kehidupan yang sekuler. Pandangan ini menjadikan manusia jauh dari aturan agama sehingga kebebasan bertingkah laku kian tidak terkendali. Manusia tidak mengenal konsekuensi atas perbuatannya. Mereka hanya mengejar kesenangan jasadi. Jadilah narkoba yang telah jelas akan keharaman dan kemudaratannya, tidak dijauhi.
Kedua, sistem pendidikan yang tidak berpijak pada akidah, turut menjadikan anak didik sebagai sasaran empuk pasar narkoba. Mereka menjadi kelompok yang rentan dan mudah dipengaruhi. Kurikulum yang fokus pada akademik, tetapi minus pendidikan agama, juga akan melahirkan generasi yang pintar, tetapi berbahaya.
Berbahaya sebab dengan kepintarannya ia akan menciptakan mudarat yang lebih besar bagi umat manusia. Lihatlah betapa produksi narkoba kian canggih. Kebun ganja hidroponik, misalnya, tentu yang mampu menciptakan teknologi pertanian yang canggih adalah orang yang pintar di bidangnya. Begitu pula kemasan narkoba yang terlihat cantik dan samar, seperti dikemas dalam bentuk permen atau minuman. Tentu butuh orang yang cerdas dan kreatif untuk menciptakannya.
Ketiga, sistem ekonomi yang kapitalistik. Sistem ini menjadikan siapa pun tidak segan terlibat dalam penjualan narkoba. Halal haram tidak menjadi standar mereka dalam bermuamalah, mereka hanya mengejar keuntungan berlimpah. Terlebih, sistem ekonomi kapitalisme selalu saja menciptakan kemiskinan dan kesenjangan. Kondisi ini menjadikan banyak pihak terpaksa terlibat karena dorongan kebutuhan. Bertambah miris tatkala ibu rumah tangga ikut terlibat dalam penjualan narkoba demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Keempat, sistem sanksi yang lemah dan tidak menjerakan. Sering kali bandar narkoba hanya dihukum ringan. Sebut saja mantan napi bandar narkoba M. Riduan J.B. Corebima yang juga seorang mantan anggota DPRD Bintan hanya dijerat setahun penjara oleh Majelis Hakim PN Tanjung Pinang. Kemudian ada juga yang hanya dihukum rehabilitasi tanpa dipidana, padahal pengguna, pengedar, maupun bandar sama-sama melakukan kejahatan. Islam memang mengakui adanya rehabilitasi bagi pengguna, tetapi bukan berarti para pengguna bebas dari sanksi pidana.
Selain itu, bukan lagi satu rahasia jika hukum di negeri ini tajam ke bawah tumpul ke atas. Kasus pun diusut dengan metode tebang pilih. Budaya sogok menyogok menjadikan kasus narkoba makin sulit diberantas. Apalagi bukan sekadar rumor jika banyak oknum aparat penegak hukum yang justru terlibat dalam melindungi sindikat narkoba.
Kelima, sistem politik pemerintahan demokrasi hanya akan menghimpun para oligarki yang tidak memedulikan nasib anak bangsa. Mereka sibuk menghimpun kekayaan dan melindungi kekuasaannya. Siapa pun yang bisa memberikan mereka cuan, akan dilindungi dan tidak peduli ia bandar narkoba ataupun bandar judi yang telah jelas merusak bangsa. Alhasil, banyak para pebisnis barang haram merasa lebih aman berbisnis di negeri ini.
Dari uraian tersebut, bisa kita simpulkan bahwa merajalelanya narkoba adalah permasalahan sistemis. Persoalan ini tidak bisa dibenahi hanya dari satu sisi. Seluruhnya harus diselesaikan secara terpadu dan simultan. Mulai dari sistem kehidupannya, pendidikannya, ekonominya, hingga hukum dan politik pemerintahannya.
Akar persoalan sulitnya memberantas narkoba bisa dikembalikan kepada tidak diterapkannya hukum Allah ta’ala. Sistem kehidupan, ekonomi, hingga politik, bertolak belakang dengan Islam. Wajar saja persoalan tidak akan selesai sebab mengandalkan akal manusia semata.
Sebagai agama yang paripurna, Islam telah memiliki sejumlah mekanisme untuk mengatur kehidupan umat manusia, termasuk memberantas bisnis haram seperti narkoba. Negara akan bersungguh-sungguh dalam memberantas narkoba hingga tuntas sebab itulah tugasnya, yaitu melindungi umat dari segala macam mara bahaya.
Sistem kehidupan yang berbasis akidah akan menjadikan rakyatnya hidup dengan ketakwaan. Jangankan melirik narkoba yang telah jelas haram, mereka akan terus berupaya beramal saleh yang bermanfaat bagi diri dan umat. Begitu pun dengan sistem pendidikan yang berbasis akidah, menjadikan anak didik matang dalam berpikir sehingga dengan kecerdasannya, ia justru akan menciptakan teknologi yang dapat membantu kehidupan manusia.
Lalu sistem ekonomi Islam yang menstandarkan muamalah pada yang halal saja, menjadikan semua orang menjauhi bisnis haram. Sistem ekonomi Islam pun akan menghilangkan kemiskinan sebab tata kelolanya berbasis pada kemaslahatan umat. Alhasil, tidak akan ada yang terpaksa melakukan maksiat hanya karena butuh untuk makan.
Hal demikian ditopang dengan sistem politik pemerintahan yang berfungsi sebagai pengurus dan pelindung umat. Negara menjamin kebutuhan dasar umat, mulai dari pangan, papan, sandang, pendidikan, keamanan, hingga kesehatan. Semua itu menjadikan rakyatnya sejahtera dan hidup dalam kebahagiaan. Tidak akan ada yang stres hingga harus menggunakan narkoba untuk menghilangkannya.
Kemudian sistem sanksi yang menjerakan, menjadikan orang-orang rusak—mereka yang bebal terhadap syariat—makin sedikit. Hukuman bagi mereka sangat menjerakan. Dalam Islam, hukuman bagi pengedar dan bandar narkoba masuk hukum takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi (hakim). Sanksi takzir bisa berbeda-beda sesuai tingkat kesalahannya.
Hukuman pengguna narkoba yang baru berbeda dengan pengguna lama. Hukuman juga bisa berbeda bagi pengedar narkoba atau bahkan pemilik pabrik narkoba. Takzir dapat sampai pada tingkatan hukuman mati. (Shiddiq al-Jawi, Hukum Seputar Narkoba dalam Fikih Islam).
Dalam tataran implementasi, Islam membutuhkan dukungan tiga pilar dalam memberantas narkoba agar tuntas terselesaikan, yakni individu, masyarakat, dan negara. Individu yang paham syariat dibarengi dengan kontrol masyarakat, lalu dipayungi oleh penerapan hukum Islam oleh negara, akan menjadikan kehidupan umat berbangsa dan bernegara diliputi ketenteraman. Bukan hanya narkoba yang hilang tapi juga segala jenis bisnis haram akan turut lenyap.